Rumah Impian

Esana Gulpinar
Sinopsis Ada beberapa kisah dalam hidup ini yang tidak akan pernah benar-benar berakhir. Kisah ini salah satunya.

Bagikan Cerita ini :

Bab 1

Denting Sendok Tetangga

[Mas, punya uang tidak? Ibu sudah tidak masak sejak kemarin. Kita semua lapar. Kalau Mas punya uang, tolong kirimin ke rumah ya?]

Pening, langsung mendera kepala Ardian begitu membaca pesan yang datang dari nomor Budenya. Ia tahu pasti adik pertamanya yang mengirimkan itu, karena di keluarganya tidak ada yang memiliki handphone selain dirinya.

Benda pipih yang ada di tangannya pun ia beli secara bekas. Ia korbankan gaji pertamanya untuk membeli handphone. Semua itu ia lakukan agar orang rumah bisa menghubunginya dengan mudah.

Ardian bekerja di sebuah Pabrik tahu. Gajinya hanya satu juta delapan ratus per bulan. Upah yang sangat minim, karena itu masih harus terpotong biaya kos, makan, sabun, dan semua keperluan lainnya.

[Mas, bagaimana? Kenapa hanya dibaca?]

Masuk pesan susulan dari adiknya. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan ia sendiri juga belum makan sejak pagi. Bekerja dengan perut kosong, bersyukhur ia tidak pingsan saat mengangkat wadah berisi tahu yang besar-besar.

[Mas juga tidak ada, Dik.]

Terpaksa ia mengetik pesan itu dan mengirimnya. Tidak tega, tapi apa daya?

Ia tidak memiliki uang sepeserpun. Hanya sedikit beras yang tersisa, ia irit irit supaya cukup sampai waktu gajian tiba.

Tring!

Bel masuk berbunyi, ia bergegas menyimpan handponenya ke dalam loker kemudian masuk ke dalam gedung.

Sementara di belahan bumi yang lain, Ratusan ribu meter dari tempatnya bekerja. Adik sulung Adrian yang bernama Nina hanya mampu tercenung setelah membaca balasan dari kakaknya.

Saat ini ia sudah tidak punya harapan lagi. Perut yang kian melilit semakin terasa sakit. Ia pergi meninggalkan rumah Budenya dengan langkah lunglai. Dari jalan ia bisa mendengar adik-adiknya menangis karena kelaparan.

Diam diam Nina menghapus air matanya. Jalanan sepi, sehingga tidak ada satu pun orang yang melihatnya menangis. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menarik napas berkali-kali untuk menetralkan suaranya.

“Assalamu’alaikum ….” Salam ia ucapkan saat membuka pintu rumahnya.

Melihat ia pulang, Ibu dan adik adiknya langsung berbinar.

“Bagaimana, Nduk? Apa Masmu punya uang?” tanya sang Ibu. Nina hanya menggeleng samar.

Mata Khadijah kembali sendu. Sekarang ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Sekilas matanya melirik suaminya yang tidur sejak pagi. Sementara delapan anaknya menangis karena kelaparan.

Meminjam pada tetangga? Ia bahkan sudah merasa malu akibat hutang suaminya yang bertumpuk. Kini ia hanya berharap ada rezeki yang datang dari Tuhan.

Ditengah rasa lapar yang mendera keluarga Khadijah, terdengar bunyi piring dan sendok yang beradu di rumah adiknya. Saat itu pula aroma bakso dengan bumbunya yang khas menguar kemana-mana. Khadijah yang mencium baunya hanya mampu menelan ludah. Jangankan bakso, ia bisa membeli beras dan garam saja rasanya sudah bersyukhur.

“Bu, baunya kok enak banget. Itu bau apa ya?” tanya si kecil. Anaknya yang nomor enam.

Mulutnya bungkam mendengar pertanyaan polos itu. Bagaimana caranya menjelaskan bahwa itu adalah aroma bakso yang sangat lezat? Makanan yang tidak pernah keluarganya makan?

“Bu … ini bau apa?”

“Ibu tidak tau, Sayang. Kamu nggak tidur?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Berharap anaknya berhenti bertanya dan tidur agar tidak berhenti merengek.

“Lapar, Bu. Nggak bisa tidur.”

“Iya, Bu. Lapar.”

“Sabar ya, Nak. Nanti kalau Ibu sudah dapat uang, Ibu akan masak nasi untuk kita makan bersama. Sabar dulu, ya.”

“Tapi sampai kapan, Bu?”

“Sampai Tuhan memberikan kita makanan.”

“Memangnya Tuhan bakal ngasih kita uang ya, Bu?” Khadijah tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.

“Iya Sayang. Tuhan akan memberi kita rezeki melalui seseorang. Jadi kita harus sabar menunggu kedatangan seseorang tersebut.”

“Iya, Bu.”

Tepat saat itu juga, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Apakah itu adalah seseorang yang mereka tunggu?

Bab 2

Masak Air

 

Khadijah begitu semangat saat membuka pintu rumahnya. Ia pikir yang datang adalah seseorang yang akan memberinya pekerjaan. Sehingga ia dapat membelikan beras untuk anaknya.

Tapi ternyata dia salah. Teman Nino, saudara kembar Nina mengantar buku catatan. Ia pun kembali dengan wajah melas sambil memegang buku catatan putranya.

“Ibu, apa yang datang tadi adalah seseorang yang Tuhan kirim?” tanya Wirda. Putri kecilnya yang sejak tadi terus saja bertanya. Dengan berat hati ia mengangguk. Berbohong.

“Kalau begitu, Ibu akan pergi masak, dong?”

“Iya, Sayang. Ibu akan masak sekarang.” Ia pun pergi ke belakang. Mencuci panci, kemudian mengisinya dengan air.

Ia mulai sibuk mengambil kayu bakar di belakang rumahnya, ia kumpulkan untuk kemudian dipakai sebagai bahan bakar.

Cukup lama sampai akhirnya ia berhasil menyalakan api. Diletakannya panci berisi air di atas kompor tanah liat.
“Bu, udah matang belum nasinya?” Anaknya datang dengan membawa piring kosong di tangan. Serasa ingin mennagis melihat keadaan anaknya.

“Belum, Sayang. Kamu tunggu di dalam ya. Nanti kalau sudah matang Ibu panggil.”

“Kok, lama banget sih Bu. Biasanya kan cepat banget matangnya.”

“Nggak tahu, Sayang. Mungkin karena beras yang kita masak sangat spesial. Jadi butuh waktu lebih lama untuk matang.”

“Pasti rasanya lebih enak ya, Bu?”

“Iya. Sudah sana masuk. Tiduran aja dulu, ya.”

Hal sulit juga dialami Ardian. Sejak mendapat pesan dari adiknya ia jadi tidak tenang. Pikirannya tidak fokus, kerjanya pun ikut kacau.

“Ardian!” teriakan keras dari atasan membuatnya berjengkit kaget.

“Ya, Pak?”

“Kalau kerja yang bener, dong! Ngalamun aja. Lihat ke depan, semuanya kosong karena nungguin kamu. Cepat angkat!”

“I-iya, Pak.” Ardian segera menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak mau sampai bermasalah hingga berujung pemecatan.

Hari ini terasa sangat berat untuknya. Sepanjang perjalanan pulang ia hanya melamun, hatinya galau, pikirannya kalut. Jika terus seperti ini keluarganya akan terus kelaparan. Gajinya tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sampailah ia pada sebuah pertigaan. Di sana ia bertemu dengan teman kerjanya yang pulang menggunakan sepeda motor.

“Hey, Ardian! Ayo bareng.” Temannya sambil tersenyum.

Tanpa pikir panjang Ardian langsung membonceng temannya itu. Sepanjang jalan keduanya terus bercerita. Tepatnya Anton terus bertanya, sedangkna Ardian menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

“Jadi kamu kekurangan penghasilan? Kulihat kamu suka pergi ke perpustakaan setiap hari libur. Apa kamu bisa menulis?” pertanyaan Anton membuatnya mengernyit heran.

‘Bagaimana Anton bisa tahu ia sering pergi ke perpustakaan?’ batinnya heran.
“Bagaimana kamu bisa tau?” Ia bertanya dari pada penasaran.

“Aku gitu loh, An. Tiap hari kerjaanku nongkrong di angkringan depan perpus. Ya, waktu itu aku nggak sengaja lihat kamu masuk ke perpustakaan. Aku liat nggak satu dua kali, tapi hampir setiap hari libur. Kecuali minggu lalu, habis gajian aku nggak lihat kamu ke perpus. Pasti mudik, ya?” Ia tidak menyangka Anton bisa tahu sebanyak itu. Meski itu kebetulan, secara tidak langsung Anton memperhatikannya.

“Iya, Ton. Aku mudik, bisanya pulang juga kalau habis gajian. Mau nggak pulang, kok kangen.’

“Ya wajar, An. Namanya juga sama keluarga. Aku beruntung tidak harus merantau seperti kamu untuk bisa mendapatkan rezeki. Jadi, bagaimana bisa nulis tidak?”

“Nulis apa Ton? Kalau cuma A B C D ya, bisa lah Ton.”

“Hahaha!” Anton malah tertawa mendengar jawabannya.

“Awas, Ton!” seru Ardian begitu melihat motor salah jalur dari arah berlawanan. Anton yang tidak siap tidak sempat mengelak. Kecelakaan pun tidak bisa dihindari.

Bruak!

Bab 3

Seseorang Itu

 

Berjam-jam berlalu. Air yang tadi ia masak sudah hampir seutuhnya menguap. Ia ingin menangis dengan keadaan ini. Semua Ibu ingin anaknya tumbuh dengan baik dan sehat, tapi ia bahkan tidak bisa memberi mereka makan?

Luka tersendiri bagi seorang Ibu jika melihat anaknya sampai kelaparan. Ia mengangkat panci dari atas kompor. Langit sudah mulai gelap saat ia kembali ke dalam rumah. Anak-anaknya tertidur karena lelah menunggu.

‘Ya Allah, kasihan mereka. Tolong berikan hamba jalan, hamba tidak tega melihat mereka terus-menerus kelaparan. Hamba mohon,’ batinnya mengusap peluh dikening. Tubuhnya berkeringat karena terlalu lama ada di depan kompor.

Tok tok tok!

Pintu rumahnya diketuk. Lagaknya ada tamu yang datang. Harap-harap cemas ia berlari ke depan. Kini di hadapannya berdiri seorang wanita seumurannya datang sambil menenteng keranjang cucian.

“Assalamu’alaikum, Bu Ijah,” sapa Bu Mirna ramah.

“Wa’alaikumsalam, Bu. Ada perlu apa?” tanyanya basa-basi.

“Ini, Bu. Mau laundri bajunya anak-anak. Aku capek banget kerja sampai malam. Jadi enggak sempat, deh nyuciin bajunya anak-anak,” tutur tamunya itu. Bu Mirna memang seorang wanita singgle parent yang harus bekerja banting tulang.

Pekerjaanya adalah menyanyi dari tempat hajatan satu ketempat hajatan lainnya. Tidak heran jika ia selalu pulang malam, terkadang saat job-nya banyak, ia bisa pulang hingga dini hari. Apalagi jika tempat hajatannya jauh.

“Oh, iya Bu. Boleh boleh,” jawabnya senang. Akhirnya seseorang yang ia tunggu datang juga. Anaknya tidak akan kelaparan lagi setelah ini.

“Wah, bisa cepat enggak ya, Bu? Soalnya keburu bajunya anak-anak habis.”

“Insyaallah, bisa Bu Mirna. Apalagi cuaca sedang panas seperti ini.”

“Bener juga ya, Bu. Oh iya Bu Ijah, ini aku punya sedikit makanan. Tadi dapat banyak sekali, dikasih sama yang punya hajatan. Bisa dikasih untuk anak-anak ya, Bu. Bilang aja oleh-olehku pulang cepat, hahaha. Jarang-jarang, loh Bu aku bisa pulang jam segini. Alhamdulillah, bisa main sama anak-anak.”

“Waah, terima kasih ya Bu Marni. Semoga bisa pulang cepet terus, anaknya pasti seneng kalau ibunya di rumah.”

“Iya, Bu. Bener banget. Semoga di masa depan aku bisa dapat pekerjaan yang lebih baik. Maksudnya yang kerjanya di rumah aja, bareng sama anak-anak.”

“Amin, amin.”

“Ya udah ya, Bu. Aku langsung pulang saja ya, nggak sabar mau main sama anak-anak.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

“Sama-sama!” seru Bu Mirna sambil terus berjalan menjauh. Khadijah menggeleng pelan, ia bersyukhur karena selama ini ia bisa terus bersama anak-anaknya.

Adzan magrib berkumandang, ia membangunkan anak-anaknya untuk salat magrib kemudian makan makanan pemberian Bu Marni. Apa yang Bu Marni berikan cukup banyak. Makanan itu akan cukup untuk mengganjal perutnya semalaman.

Khadijah sedang menyantap makanan bersama-sama. Tiba-tiba suaminya terbangun karena suara sendok yang beradu.

Khadijah panik, ia takut suaminya akan mengamuk. Suaminya tidak pernah suka jika orang lain memberi keluarga mereka makanan. Ia selalu mengatakan bahwa makanan itu sudah dimasuki sihir untuk membuat kelurganya tersiksa.

Khadijah tidak pernah percaya. Baginya setiap makanan yang datang adalah rezeki yang Tuhan berikan. Orang-orang itu hanya sebagai perantara saja.

“Makanan dari siapa?” Suara berat itu mengagetkan Nina dan adik-adinya, sontak saja mereka menghentikan aktivitas makannya. Duduk dengan perasaan takut jika ayahnya mengamuk seperti hari-hari sebelumnya.

“Makanan dari siapa!”

“Aaaaa!”

Prang!

Prang!

Plak!

Bugh!

Bab 4

Drama

Plak!

Tamparan berkali-kali mengenai wajah Khadijah. Wanita itu tersungkur, wajahnya lebam, darah mengalir di keningnya yang sempat terantuk ujung meja. Nina dan adik-adiknya menangis. Mereka ingin memberontak, tapi nyali selalu menciut sebelum beraksi.

Nino, anak ketiga Khadijah. Anak yang duduk di bangku SMU itu menatap Ibunya dengan tatapan nanar. Di matanya terpancar amarah yang begitu hebat pada sang Ayah. Ia sedih, kecewa, mungkin marah. Sebagai seorang laki-laki, perilaku ayahnya sama sekali tidak layak untuk dicontoh.

Tubuh kurusnya bangkit, ia hampiri sang Ibu. Kemudian memeluknya. Pelan ia bantu ibunya bangkit, mendudukkannya di atas dipan. Cekatan sekali ia membersihkan darah yang mengalir di wajah Ibunya. Setelah bersih, anak itu keluar memetik satu batang daun Yodium. Ia oleskan getah ke luka sang Ibu.

Setelah puas mengamuk, suaminya pergi entah kemana. Mungkin berkumpul sambil mabuk-mabukkan bersama teman-temannya.

“Bu, udah baikan?” tanya Nino.

“Ibu baik-baik saja, Nak,” jawab ibunya pelan.

“Ibu kenapa, sih masih bertahan sama Ayah? Aku tahu, sejak aku kecil dia selalu kasar sama Ibu. Kenapa Ibu bertahan?” Nino bertanya heran. Entah Ibunya itu sabar atau bodoh, tapi yang jelas Ibu selalu mempertahankan Ayah.

“Jaga bicaramu, Nak. Dia itu Ayahmu.”

“Tapi, Bu_”

“Sudah, Ibu mau mencuci pakaian anak-anak Bu Marni. Kalau besok kering, kita bisa pakai uangnya buat beli beras. Kita juga belum ada pesanan pasir lagi, kan?”

“Belum, Bu.” Nino tertunduk lesu. Sudah satu minggu tidak ada lagi orang yang mau membeli pasir yang ia ambil dari sungai.

“Ya sudah, tetap semangat yaa. Nanti pasti ada yang beli,” ucap ibunya sambil lalu.

Setelah kepergian ibunya ia kembali pada adik-adiknya. Di sana kakaknya sedang membereskan makanan yang berantakan di tanah. Nina dan Nino sudah duduk di banku SMU tapi sampai detik ini mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya.

Dulu saat ia masih kecil, entah di usia berapa ia tak sanggup mengingatnya. Ayahnya memang temperamen, tapi tidak separah saat ini. Kini ayahnya terlihat abai dan tidak peduli. Padahal dulu, setiap ayahnya pergi pulangnya akan membawa banyak makanan untuk dirinya, Nina, Adrian, juga Sinta.

Saat itu ibunya sedang hamil besar, sementara adiknya masih berusia tiga tahun. Itu benar, ia dan kakaknya berjarak 3 tahun. Begitupun adik-adiknya yang lain.

Nino tidak ingat sejak kapan semua hal buruk ini berawal. Saat mulai duduk di bangku sekolah dasar, ia kakak juga adik-adiknya sering pergi memulung.mengambil barang bekas di setiapjalan juga kotak-kotak sampah.

Keluarganya semakin tidak harmonis kala itu. Hanya ibunya yang tahu, Ibu enggan bercerita pada anak-anak seperti dirinya. Dulu saat ia kecil, Ibunya juga berjualan di pasar juga berkeliling setiap sore sampai ia duduk di banku SMP. Ibu tidak lagi berjualan di pasar. Lagi-lagi ia tidak pernah tahu apa alasannya. Rahasia itu seolah rapi disembunyikan.

Saat kecil rumah yang ia tempati cukup bagus. Ada kaca-kacanya di depan. Tapi saat itu, ia terkejut melihat rumah yang menghilang bagian depannya saat ia baru saja pulang sekolah. Hingga kini hanya gubuk reot yang ditempai keluarganya. Apa alasannya ia tidak pernah tahu.

Dulu di rumahnya banyak sekali payung-payung baru, ember baru, lemari baru. Ayahnya adalah pedagang perabotan rumah. Tapi semuanya menghilang, ia tidak pernah tahu apa yang membuat ayahnya tidak berjualan lagi.

Dulu ayahnya adalah orang yang duduk paling lama setelah shalat. Yang ia tahu ayahnya jebolan pesantren selama bertahun-tahun. Tapi kini, ia bahkan tidak pernah melihat ayahnya mengambil air wudhu.

Tanpa sadar Nino menangis. Ia segera meninggalkan saudara-saudaranya masuk ke kamar. Ia laki-laki, ia tidak boleh menangis di hadapan adik-adiknya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa keluarganya seperti ini?

Bab 5

Secercah Harap

 

“Ar, maaf ya. Gara-gara aku kaki kamu jadi nggak bisa jalan tanpa tongkat untuk sementara,” ucap Anton. Ardian tersenyum samar.

 

“Tidak apa, Ton. Masih untung kita selamat,” jawabnya. Tabrakan motor yang terjadi membuat kakinya tertimpa motor keras. Mau tak mau ia harus berjalan menggunakan tongkat untuk sementara. Sama halnya dengan Anton. Pria itu malah lebih parah, sebelah tangannya dipasang gif.

 

Ardian tidak memiliki uang sepeserpun, tetapi untung saja ada BPJS yang menanggungnya. Malam itu keluarga Anton mengantarnya pulang ke kos-kosan. Sebelum itu mereka mampir ke ATM untuk mentanfer uang kepada Ibunya.

 

Anton yang meminjaminya uang 200 ribu. Ardian sempat meminta pinjaman sebelum kecelakaan. Kini ia bisasedikit tenang karena Ibu dan adiknya tidak akan kelaparan lagi.

 

Besok ia tidak bisa berangkat bekerja, malam ini ia ingin beristirahat. Tapi otaknya tertarik memikirkan tawaran anton untuk menulis novel.

 

Laki-laki itu bilang jika ia bisa membuat novel dan mengunggahnya di aplikasi hijau maka akan ada kemungkinan dirinya bisa mendapatkan uang lebih. Apalagi jika cerita itu diminati banyak orang, ia bisa membantu melunasi hutang-hutang ayahnya. Sehingga uang hasil buruh cuci ibunya bisa digunakan untuk makan. Bukan untuk membayar hutang lagi.

 

Meluruskan kakinya di atas kasur tipis, ia meraih handphone yang sedikit retak akibat kecelakaan tadi. Tapi untung saja masih bisa ia gunakan. Ardian langsung menyibukkan dirinya untuk mempelajari tentang aplikasi hijau itu.

 

Semalaman ia berkutat di sana, sampai akhirnya ia mengerti bagaimana cara aplikasi itu beroperasi. Detik itu juga ia mulai menulis novel, ia tuliskan kisah hidupnya di sana. Lelah juga rasa sakit akibat kecelakaan itu membuatnya tertidur. Handphone di tangannya jatuh ke atas kasur.

 

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat seseorang mengetuk pintu rumah Nina. Gadis itu berjalan keluar, membuka pintu, dan melihat anak dari budenya berdiri di sana.

 

“Ada apa, Mbak Fina?”

 

“Masmu kirim dua ratus ribu. Baru saja ia chat di hp ibuku.”

 

“Mas Ardian?”

 

“Iya.”

 

“Terima kasih ya, Mbak. Aku akan beritahu ibuku.”

 

“Sama-sama. Ya sudah, aku langsung pulang ya.”

 

“Iya, Mbak. Terima kasih.”

 

Setelah Fina pergi, Nina langsung mencari Ibunya. Ia berlari ke belakang ingin memberitahu ibunya. Tapi gadis itu tidak menemukan ibunya di dekat sumur.

 

“Ibu!” serunya karena tidak menemukan sang Ibu.

 

“Iyaa!” sahut ibunya. Di sana ia tahu bahwa ibunya sedang ada di ‘belakang’.

 

“Ada apa, Nina?”

 

“Mas Ardi mengirim uang 200 ribu, Bu,” tuturnya bersemangat.

 

“Ya sudah, kamu ambil ya. Nanti belikan beras satu kilo sama telur seperempat. Sisanya kamu simpan dulu. Ibu mau lanjut mencuci.”

 

“Iya, Bu.” Nina pun berlalu. Ia pergi berjalan kaki untuk pergi ke sebuah link yang jaraknya cukup jauh. Lima belas menit ia baru akan sampai di toko yang memiliki link tersebut.

 

Setelah kepergian Nina, Khadijah mulai mencuci pakaian yang baru ia terima. Penuh semangat ia mencuci, berharap besok bisa kering dan dia akan mendapatkan upahnya. Tangannya sangat cekatan, dalam waktu singkat semua pakaian sudah tercuci bersih. Ia menjemurnya di samping rumah. Di sana ada tempat khusus untuk menjemur pakaian pakainan itu.

 

Tanpa peduli dengan pening dan sakit di keningnya, Khadijah memeriksa kembali tempat ia menyimpan pakaian-pakaian yang sudah kering. Ia melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Tadi sore pakaian itu masih dingin, ia tidak bisa mengangkat dan mengantarnya. Setelah dilipat dan di bungkus, ia meletakkannya bersama pakaian dua bungkus pakaian lainnya.

 

Dua bungkus pakaian itu tadinya sudah ia antar ke rumah pemiliknya, sayang sekali rumahnya tutup. Tidak ada siapapun di sana, hal itu pula yang membuat anak-ananya menangis kelaparan. Mungkin ini bagian dariujian kehidupan.

 

“Oeeek … oeeekkk … oeekk ….” Sepertinya Dika menangis. Nino datang sambil menggendong adiknya yang baru berusia dua tahun untuk diberikan padanya.

 

“Bu, Dika nangis terus. Aku nggak tahu kenapa.”

 

“Ya udah sini, kamu bantu Ibu mengisi Air di belakang ya. Tempat wudhunya kosong, setelah selesai kita shalat berjamaah.”

 

“Iya, Bu.” Khadijah tersenyum melihat putranya langsung pergi ke belakang. Ia bersyukhur, meski ia memiliki suami yang begitu kasar, egois, dan arogan. Tapi ia memiliki anak-anak yang begitu menyayanginya. Suatu saat mereka akan memberinya kebahagiaan yang tidak terukur.

 

‘Semoga,’ batinnya penuh harap.

 

Nb : Teruntuk dirimu yang mengatakan cerita ini adalah tahayul dan tidak mungkin terjadi di kehidupan sekarang. Mohon maaf, saya katakan Anda main kurang jauh.

 

‘Hanya karena kisah itu tidak terjadi pada hidupmu, bukan berarti kisah itu tak pernah ada.’

~Arzaderya

4 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Rumah Impian

Esana Gulpinar

Bab 1

Denting Sendok Tetangga

[Mas, punya uang tidak? Ibu sudah tidak masak sejak kemarin. Kita semua lapar. Kalau Mas punya uang, tolong kirimin ke rumah ya?]

Pening, langsung mendera kepala Ardian begitu membaca pesan yang datang dari nomor Budenya. Ia tahu pasti adik pertamanya yang mengirimkan itu, karena di keluarganya tidak ada yang memiliki handphone selain dirinya.

Benda pipih yang ada di tangannya pun ia beli secara bekas. Ia korbankan gaji pertamanya untuk membeli handphone. Semua itu ia lakukan agar orang rumah bisa menghubunginya dengan mudah.

Ardian bekerja di sebuah Pabrik tahu. Gajinya hanya satu juta delapan ratus per bulan. Upah yang sangat minim, karena itu masih harus terpotong biaya kos, makan, sabun, dan semua keperluan lainnya.

[Mas, bagaimana? Kenapa hanya dibaca?]

Masuk pesan susulan dari adiknya. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan ia sendiri juga belum makan sejak pagi. Bekerja dengan perut kosong, bersyukhur ia tidak pingsan saat mengangkat wadah berisi tahu yang besar-besar.

[Mas juga tidak ada, Dik.]

Terpaksa ia mengetik pesan itu dan mengirimnya. Tidak tega, tapi apa daya?

Ia tidak memiliki uang sepeserpun. Hanya sedikit beras yang tersisa, ia irit irit supaya cukup sampai waktu gajian tiba.

Tring!

Bel masuk berbunyi, ia bergegas menyimpan handponenya ke dalam loker kemudian masuk ke dalam gedung.

Sementara di belahan bumi yang lain, Ratusan ribu meter dari tempatnya bekerja. Adik sulung Adrian yang bernama Nina hanya mampu tercenung setelah membaca balasan dari kakaknya.

Saat ini ia sudah tidak punya harapan lagi. Perut yang kian melilit semakin terasa sakit. Ia pergi meninggalkan rumah Budenya dengan langkah lunglai. Dari jalan ia bisa mendengar adik-adiknya menangis karena kelaparan.

Diam diam Nina menghapus air matanya. Jalanan sepi, sehingga tidak ada satu pun orang yang melihatnya menangis. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menarik napas berkali-kali untuk menetralkan suaranya.

“Assalamu’alaikum ….” Salam ia ucapkan saat membuka pintu rumahnya.

Melihat ia pulang, Ibu dan adik adiknya langsung berbinar.

“Bagaimana, Nduk? Apa Masmu punya uang?” tanya sang Ibu. Nina hanya menggeleng samar.

Mata Khadijah kembali sendu. Sekarang ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Sekilas matanya melirik suaminya yang tidur sejak pagi. Sementara delapan anaknya menangis karena kelaparan.

Meminjam pada tetangga? Ia bahkan sudah merasa malu akibat hutang suaminya yang bertumpuk. Kini ia hanya berharap ada rezeki yang datang dari Tuhan.

Ditengah rasa lapar yang mendera keluarga Khadijah, terdengar bunyi piring dan sendok yang beradu di rumah adiknya. Saat itu pula aroma bakso dengan bumbunya yang khas menguar kemana-mana. Khadijah yang mencium baunya hanya mampu menelan ludah. Jangankan bakso, ia bisa membeli beras dan garam saja rasanya sudah bersyukhur.

“Bu, baunya kok enak banget. Itu bau apa ya?” tanya si kecil. Anaknya yang nomor enam.

Mulutnya bungkam mendengar pertanyaan polos itu. Bagaimana caranya menjelaskan bahwa itu adalah aroma bakso yang sangat lezat? Makanan yang tidak pernah keluarganya makan?

“Bu … ini bau apa?”

“Ibu tidak tau, Sayang. Kamu nggak tidur?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Berharap anaknya berhenti bertanya dan tidur agar tidak berhenti merengek.

“Lapar, Bu. Nggak bisa tidur.”

“Iya, Bu. Lapar.”

“Sabar ya, Nak. Nanti kalau Ibu sudah dapat uang, Ibu akan masak nasi untuk kita makan bersama. Sabar dulu, ya.”

“Tapi sampai kapan, Bu?”

“Sampai Tuhan memberikan kita makanan.”

“Memangnya Tuhan bakal ngasih kita uang ya, Bu?” Khadijah tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.

“Iya Sayang. Tuhan akan memberi kita rezeki melalui seseorang. Jadi kita harus sabar menunggu kedatangan seseorang tersebut.”

“Iya, Bu.”

Tepat saat itu juga, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Apakah itu adalah seseorang yang mereka tunggu?

Bab 2

Masak Air

 

Khadijah begitu semangat saat membuka pintu rumahnya. Ia pikir yang datang adalah seseorang yang akan memberinya pekerjaan. Sehingga ia dapat membelikan beras untuk anaknya.

Tapi ternyata dia salah. Teman Nino, saudara kembar Nina mengantar buku catatan. Ia pun kembali dengan wajah melas sambil memegang buku catatan putranya.

“Ibu, apa yang datang tadi adalah seseorang yang Tuhan kirim?” tanya Wirda. Putri kecilnya yang sejak tadi terus saja bertanya. Dengan berat hati ia mengangguk. Berbohong.

“Kalau begitu, Ibu akan pergi masak, dong?”

“Iya, Sayang. Ibu akan masak sekarang.” Ia pun pergi ke belakang. Mencuci panci, kemudian mengisinya dengan air.

Ia mulai sibuk mengambil kayu bakar di belakang rumahnya, ia kumpulkan untuk kemudian dipakai sebagai bahan bakar.

Cukup lama sampai akhirnya ia berhasil menyalakan api. Diletakannya panci berisi air di atas kompor tanah liat.
“Bu, udah matang belum nasinya?” Anaknya datang dengan membawa piring kosong di tangan. Serasa ingin mennagis melihat keadaan anaknya.

“Belum, Sayang. Kamu tunggu di dalam ya. Nanti kalau sudah matang Ibu panggil.”

“Kok, lama banget sih Bu. Biasanya kan cepat banget matangnya.”

“Nggak tahu, Sayang. Mungkin karena beras yang kita masak sangat spesial. Jadi butuh waktu lebih lama untuk matang.”

“Pasti rasanya lebih enak ya, Bu?”

“Iya. Sudah sana masuk. Tiduran aja dulu, ya.”

Hal sulit juga dialami Ardian. Sejak mendapat pesan dari adiknya ia jadi tidak tenang. Pikirannya tidak fokus, kerjanya pun ikut kacau.

“Ardian!” teriakan keras dari atasan membuatnya berjengkit kaget.

“Ya, Pak?”

“Kalau kerja yang bener, dong! Ngalamun aja. Lihat ke depan, semuanya kosong karena nungguin kamu. Cepat angkat!”

“I-iya, Pak.” Ardian segera menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak mau sampai bermasalah hingga berujung pemecatan.

Hari ini terasa sangat berat untuknya. Sepanjang perjalanan pulang ia hanya melamun, hatinya galau, pikirannya kalut. Jika terus seperti ini keluarganya akan terus kelaparan. Gajinya tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sampailah ia pada sebuah pertigaan. Di sana ia bertemu dengan teman kerjanya yang pulang menggunakan sepeda motor.

“Hey, Ardian! Ayo bareng.” Temannya sambil tersenyum.

Tanpa pikir panjang Ardian langsung membonceng temannya itu. Sepanjang jalan keduanya terus bercerita. Tepatnya Anton terus bertanya, sedangkna Ardian menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

“Jadi kamu kekurangan penghasilan? Kulihat kamu suka pergi ke perpustakaan setiap hari libur. Apa kamu bisa menulis?” pertanyaan Anton membuatnya mengernyit heran.

‘Bagaimana Anton bisa tahu ia sering pergi ke perpustakaan?’ batinnya heran.
“Bagaimana kamu bisa tau?” Ia bertanya dari pada penasaran.

“Aku gitu loh, An. Tiap hari kerjaanku nongkrong di angkringan depan perpus. Ya, waktu itu aku nggak sengaja lihat kamu masuk ke perpustakaan. Aku liat nggak satu dua kali, tapi hampir setiap hari libur. Kecuali minggu lalu, habis gajian aku nggak lihat kamu ke perpus. Pasti mudik, ya?” Ia tidak menyangka Anton bisa tahu sebanyak itu. Meski itu kebetulan, secara tidak langsung Anton memperhatikannya.

“Iya, Ton. Aku mudik, bisanya pulang juga kalau habis gajian. Mau nggak pulang, kok kangen.’

“Ya wajar, An. Namanya juga sama keluarga. Aku beruntung tidak harus merantau seperti kamu untuk bisa mendapatkan rezeki. Jadi, bagaimana bisa nulis tidak?”

“Nulis apa Ton? Kalau cuma A B C D ya, bisa lah Ton.”

“Hahaha!” Anton malah tertawa mendengar jawabannya.

“Awas, Ton!” seru Ardian begitu melihat motor salah jalur dari arah berlawanan. Anton yang tidak siap tidak sempat mengelak. Kecelakaan pun tidak bisa dihindari.

Bruak!

Bab 3

Seseorang Itu

 

Berjam-jam berlalu. Air yang tadi ia masak sudah hampir seutuhnya menguap. Ia ingin menangis dengan keadaan ini. Semua Ibu ingin anaknya tumbuh dengan baik dan sehat, tapi ia bahkan tidak bisa memberi mereka makan?

Luka tersendiri bagi seorang Ibu jika melihat anaknya sampai kelaparan. Ia mengangkat panci dari atas kompor. Langit sudah mulai gelap saat ia kembali ke dalam rumah. Anak-anaknya tertidur karena lelah menunggu.

‘Ya Allah, kasihan mereka. Tolong berikan hamba jalan, hamba tidak tega melihat mereka terus-menerus kelaparan. Hamba mohon,’ batinnya mengusap peluh dikening. Tubuhnya berkeringat karena terlalu lama ada di depan kompor.

Tok tok tok!

Pintu rumahnya diketuk. Lagaknya ada tamu yang datang. Harap-harap cemas ia berlari ke depan. Kini di hadapannya berdiri seorang wanita seumurannya datang sambil menenteng keranjang cucian.

“Assalamu’alaikum, Bu Ijah,” sapa Bu Mirna ramah.

“Wa’alaikumsalam, Bu. Ada perlu apa?” tanyanya basa-basi.

“Ini, Bu. Mau laundri bajunya anak-anak. Aku capek banget kerja sampai malam. Jadi enggak sempat, deh nyuciin bajunya anak-anak,” tutur tamunya itu. Bu Mirna memang seorang wanita singgle parent yang harus bekerja banting tulang.

Pekerjaanya adalah menyanyi dari tempat hajatan satu ketempat hajatan lainnya. Tidak heran jika ia selalu pulang malam, terkadang saat job-nya banyak, ia bisa pulang hingga dini hari. Apalagi jika tempat hajatannya jauh.

“Oh, iya Bu. Boleh boleh,” jawabnya senang. Akhirnya seseorang yang ia tunggu datang juga. Anaknya tidak akan kelaparan lagi setelah ini.

“Wah, bisa cepat enggak ya, Bu? Soalnya keburu bajunya anak-anak habis.”

“Insyaallah, bisa Bu Mirna. Apalagi cuaca sedang panas seperti ini.”

“Bener juga ya, Bu. Oh iya Bu Ijah, ini aku punya sedikit makanan. Tadi dapat banyak sekali, dikasih sama yang punya hajatan. Bisa dikasih untuk anak-anak ya, Bu. Bilang aja oleh-olehku pulang cepat, hahaha. Jarang-jarang, loh Bu aku bisa pulang jam segini. Alhamdulillah, bisa main sama anak-anak.”

“Waah, terima kasih ya Bu Marni. Semoga bisa pulang cepet terus, anaknya pasti seneng kalau ibunya di rumah.”

“Iya, Bu. Bener banget. Semoga di masa depan aku bisa dapat pekerjaan yang lebih baik. Maksudnya yang kerjanya di rumah aja, bareng sama anak-anak.”

“Amin, amin.”

“Ya udah ya, Bu. Aku langsung pulang saja ya, nggak sabar mau main sama anak-anak.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

“Sama-sama!” seru Bu Mirna sambil terus berjalan menjauh. Khadijah menggeleng pelan, ia bersyukhur karena selama ini ia bisa terus bersama anak-anaknya.

Adzan magrib berkumandang, ia membangunkan anak-anaknya untuk salat magrib kemudian makan makanan pemberian Bu Marni. Apa yang Bu Marni berikan cukup banyak. Makanan itu akan cukup untuk mengganjal perutnya semalaman.

Khadijah sedang menyantap makanan bersama-sama. Tiba-tiba suaminya terbangun karena suara sendok yang beradu.

Khadijah panik, ia takut suaminya akan mengamuk. Suaminya tidak pernah suka jika orang lain memberi keluarga mereka makanan. Ia selalu mengatakan bahwa makanan itu sudah dimasuki sihir untuk membuat kelurganya tersiksa.

Khadijah tidak pernah percaya. Baginya setiap makanan yang datang adalah rezeki yang Tuhan berikan. Orang-orang itu hanya sebagai perantara saja.

“Makanan dari siapa?” Suara berat itu mengagetkan Nina dan adik-adinya, sontak saja mereka menghentikan aktivitas makannya. Duduk dengan perasaan takut jika ayahnya mengamuk seperti hari-hari sebelumnya.

“Makanan dari siapa!”

“Aaaaa!”

Prang!

Prang!

Plak!

Bugh!

Bab 4

Drama

Plak!

Tamparan berkali-kali mengenai wajah Khadijah. Wanita itu tersungkur, wajahnya lebam, darah mengalir di keningnya yang sempat terantuk ujung meja. Nina dan adik-adiknya menangis. Mereka ingin memberontak, tapi nyali selalu menciut sebelum beraksi.

Nino, anak ketiga Khadijah. Anak yang duduk di bangku SMU itu menatap Ibunya dengan tatapan nanar. Di matanya terpancar amarah yang begitu hebat pada sang Ayah. Ia sedih, kecewa, mungkin marah. Sebagai seorang laki-laki, perilaku ayahnya sama sekali tidak layak untuk dicontoh.

Tubuh kurusnya bangkit, ia hampiri sang Ibu. Kemudian memeluknya. Pelan ia bantu ibunya bangkit, mendudukkannya di atas dipan. Cekatan sekali ia membersihkan darah yang mengalir di wajah Ibunya. Setelah bersih, anak itu keluar memetik satu batang daun Yodium. Ia oleskan getah ke luka sang Ibu.

Setelah puas mengamuk, suaminya pergi entah kemana. Mungkin berkumpul sambil mabuk-mabukkan bersama teman-temannya.

“Bu, udah baikan?” tanya Nino.

“Ibu baik-baik saja, Nak,” jawab ibunya pelan.

“Ibu kenapa, sih masih bertahan sama Ayah? Aku tahu, sejak aku kecil dia selalu kasar sama Ibu. Kenapa Ibu bertahan?” Nino bertanya heran. Entah Ibunya itu sabar atau bodoh, tapi yang jelas Ibu selalu mempertahankan Ayah.

“Jaga bicaramu, Nak. Dia itu Ayahmu.”

“Tapi, Bu_”

“Sudah, Ibu mau mencuci pakaian anak-anak Bu Marni. Kalau besok kering, kita bisa pakai uangnya buat beli beras. Kita juga belum ada pesanan pasir lagi, kan?”

“Belum, Bu.” Nino tertunduk lesu. Sudah satu minggu tidak ada lagi orang yang mau membeli pasir yang ia ambil dari sungai.

“Ya sudah, tetap semangat yaa. Nanti pasti ada yang beli,” ucap ibunya sambil lalu.

Setelah kepergian ibunya ia kembali pada adik-adiknya. Di sana kakaknya sedang membereskan makanan yang berantakan di tanah. Nina dan Nino sudah duduk di banku SMU tapi sampai detik ini mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya.

Dulu saat ia masih kecil, entah di usia berapa ia tak sanggup mengingatnya. Ayahnya memang temperamen, tapi tidak separah saat ini. Kini ayahnya terlihat abai dan tidak peduli. Padahal dulu, setiap ayahnya pergi pulangnya akan membawa banyak makanan untuk dirinya, Nina, Adrian, juga Sinta.

Saat itu ibunya sedang hamil besar, sementara adiknya masih berusia tiga tahun. Itu benar, ia dan kakaknya berjarak 3 tahun. Begitupun adik-adiknya yang lain.

Nino tidak ingat sejak kapan semua hal buruk ini berawal. Saat mulai duduk di bangku sekolah dasar, ia kakak juga adik-adiknya sering pergi memulung.mengambil barang bekas di setiapjalan juga kotak-kotak sampah.

Keluarganya semakin tidak harmonis kala itu. Hanya ibunya yang tahu, Ibu enggan bercerita pada anak-anak seperti dirinya. Dulu saat ia kecil, Ibunya juga berjualan di pasar juga berkeliling setiap sore sampai ia duduk di banku SMP. Ibu tidak lagi berjualan di pasar. Lagi-lagi ia tidak pernah tahu apa alasannya. Rahasia itu seolah rapi disembunyikan.

Saat kecil rumah yang ia tempati cukup bagus. Ada kaca-kacanya di depan. Tapi saat itu, ia terkejut melihat rumah yang menghilang bagian depannya saat ia baru saja pulang sekolah. Hingga kini hanya gubuk reot yang ditempai keluarganya. Apa alasannya ia tidak pernah tahu.

Dulu di rumahnya banyak sekali payung-payung baru, ember baru, lemari baru. Ayahnya adalah pedagang perabotan rumah. Tapi semuanya menghilang, ia tidak pernah tahu apa yang membuat ayahnya tidak berjualan lagi.

Dulu ayahnya adalah orang yang duduk paling lama setelah shalat. Yang ia tahu ayahnya jebolan pesantren selama bertahun-tahun. Tapi kini, ia bahkan tidak pernah melihat ayahnya mengambil air wudhu.

Tanpa sadar Nino menangis. Ia segera meninggalkan saudara-saudaranya masuk ke kamar. Ia laki-laki, ia tidak boleh menangis di hadapan adik-adiknya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa keluarganya seperti ini?

Bab 5

Secercah Harap

 

“Ar, maaf ya. Gara-gara aku kaki kamu jadi nggak bisa jalan tanpa tongkat untuk sementara,” ucap Anton. Ardian tersenyum samar.

 

“Tidak apa, Ton. Masih untung kita selamat,” jawabnya. Tabrakan motor yang terjadi membuat kakinya tertimpa motor keras. Mau tak mau ia harus berjalan menggunakan tongkat untuk sementara. Sama halnya dengan Anton. Pria itu malah lebih parah, sebelah tangannya dipasang gif.

 

Ardian tidak memiliki uang sepeserpun, tetapi untung saja ada BPJS yang menanggungnya. Malam itu keluarga Anton mengantarnya pulang ke kos-kosan. Sebelum itu mereka mampir ke ATM untuk mentanfer uang kepada Ibunya.

 

Anton yang meminjaminya uang 200 ribu. Ardian sempat meminta pinjaman sebelum kecelakaan. Kini ia bisasedikit tenang karena Ibu dan adiknya tidak akan kelaparan lagi.

 

Besok ia tidak bisa berangkat bekerja, malam ini ia ingin beristirahat. Tapi otaknya tertarik memikirkan tawaran anton untuk menulis novel.

 

Laki-laki itu bilang jika ia bisa membuat novel dan mengunggahnya di aplikasi hijau maka akan ada kemungkinan dirinya bisa mendapatkan uang lebih. Apalagi jika cerita itu diminati banyak orang, ia bisa membantu melunasi hutang-hutang ayahnya. Sehingga uang hasil buruh cuci ibunya bisa digunakan untuk makan. Bukan untuk membayar hutang lagi.

 

Meluruskan kakinya di atas kasur tipis, ia meraih handphone yang sedikit retak akibat kecelakaan tadi. Tapi untung saja masih bisa ia gunakan. Ardian langsung menyibukkan dirinya untuk mempelajari tentang aplikasi hijau itu.

 

Semalaman ia berkutat di sana, sampai akhirnya ia mengerti bagaimana cara aplikasi itu beroperasi. Detik itu juga ia mulai menulis novel, ia tuliskan kisah hidupnya di sana. Lelah juga rasa sakit akibat kecelakaan itu membuatnya tertidur. Handphone di tangannya jatuh ke atas kasur.

 

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat seseorang mengetuk pintu rumah Nina. Gadis itu berjalan keluar, membuka pintu, dan melihat anak dari budenya berdiri di sana.

 

“Ada apa, Mbak Fina?”

 

“Masmu kirim dua ratus ribu. Baru saja ia chat di hp ibuku.”

 

“Mas Ardian?”

 

“Iya.”

 

“Terima kasih ya, Mbak. Aku akan beritahu ibuku.”

 

“Sama-sama. Ya sudah, aku langsung pulang ya.”

 

“Iya, Mbak. Terima kasih.”

 

Setelah Fina pergi, Nina langsung mencari Ibunya. Ia berlari ke belakang ingin memberitahu ibunya. Tapi gadis itu tidak menemukan ibunya di dekat sumur.

 

“Ibu!” serunya karena tidak menemukan sang Ibu.

 

“Iyaa!” sahut ibunya. Di sana ia tahu bahwa ibunya sedang ada di ‘belakang’.

 

“Ada apa, Nina?”

 

“Mas Ardi mengirim uang 200 ribu, Bu,” tuturnya bersemangat.

 

“Ya sudah, kamu ambil ya. Nanti belikan beras satu kilo sama telur seperempat. Sisanya kamu simpan dulu. Ibu mau lanjut mencuci.”

 

“Iya, Bu.” Nina pun berlalu. Ia pergi berjalan kaki untuk pergi ke sebuah link yang jaraknya cukup jauh. Lima belas menit ia baru akan sampai di toko yang memiliki link tersebut.

 

Setelah kepergian Nina, Khadijah mulai mencuci pakaian yang baru ia terima. Penuh semangat ia mencuci, berharap besok bisa kering dan dia akan mendapatkan upahnya. Tangannya sangat cekatan, dalam waktu singkat semua pakaian sudah tercuci bersih. Ia menjemurnya di samping rumah. Di sana ada tempat khusus untuk menjemur pakaian pakainan itu.

 

Tanpa peduli dengan pening dan sakit di keningnya, Khadijah memeriksa kembali tempat ia menyimpan pakaian-pakaian yang sudah kering. Ia melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Tadi sore pakaian itu masih dingin, ia tidak bisa mengangkat dan mengantarnya. Setelah dilipat dan di bungkus, ia meletakkannya bersama pakaian dua bungkus pakaian lainnya.

 

Dua bungkus pakaian itu tadinya sudah ia antar ke rumah pemiliknya, sayang sekali rumahnya tutup. Tidak ada siapapun di sana, hal itu pula yang membuat anak-ananya menangis kelaparan. Mungkin ini bagian dariujian kehidupan.

 

“Oeeek … oeeekkk … oeekk ….” Sepertinya Dika menangis. Nino datang sambil menggendong adiknya yang baru berusia dua tahun untuk diberikan padanya.

 

“Bu, Dika nangis terus. Aku nggak tahu kenapa.”

 

“Ya udah sini, kamu bantu Ibu mengisi Air di belakang ya. Tempat wudhunya kosong, setelah selesai kita shalat berjamaah.”

 

“Iya, Bu.” Khadijah tersenyum melihat putranya langsung pergi ke belakang. Ia bersyukhur, meski ia memiliki suami yang begitu kasar, egois, dan arogan. Tapi ia memiliki anak-anak yang begitu menyayanginya. Suatu saat mereka akan memberinya kebahagiaan yang tidak terukur.

 

‘Semoga,’ batinnya penuh harap.

 

Nb : Teruntuk dirimu yang mengatakan cerita ini adalah tahayul dan tidak mungkin terjadi di kehidupan sekarang. Mohon maaf, saya katakan Anda main kurang jauh.

 

‘Hanya karena kisah itu tidak terjadi pada hidupmu, bukan berarti kisah itu tak pernah ada.’

~Arzaderya

Tertarik Dengan Buku : Rumah Impian ?

Rumah Impian

Esana Gulpinar