Rahasia di Rumah Maduku

Rahasia di Rumah Maduku

Esana Gulpinar
Sinopsis [PROSES CETAK] Pemesanan hubungi : 089521748128 Suamiku meninggal setelah satu bulan poligami. (Mistery kematian Farhan)

Bagikan Cerita ini :

Bab 1

Kabar duka datang dari rumah maduku. Sudah satu bulan, suamiku yang juga suaminya tidak pulang dan memilih tinggal di kediaman istri keduanya. Kini pulang-pulang tinggallah nama.
“Mpok! Mpok!” Teriak Mak Sumi, tetanggaku sebelah rumah.
“Ada apa Mak, teriak-teriak begitu. Masih pagi ini,” jawabku sedikit kesal. Takut kalau suaranya sampai membangunkan Aliya.
Aku sedang menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Jika Aliya sampai bangun, maka pekerjaan ini akan tertunda entah sampai kapan.
“Maaf, maaf. Tapi ini urgent Mpok! Urgent! Penting banget!” Tambahnya tak kalah heboh.
“Iye iye. Ada apa Mak, memangnya ada yang lebih penting dari rejeki nomplok?” Aku bergurau.
“Ya jelas ada. Banyak yang lebih penting dari sekedar duit,” ucap Mak Sumi. Lagaknya ia mulai akan berceramah. Aku segera mencegah dengan menanyakan tujuannya heboh pagi-pagi.
“Itu Mpok, si anu ….” Mak Sumi tergagap. Ia mendadak pucat. Aku mulai memasang wajah tidak tenang.
“Anu apa Mak, jangan gagap begitu. Aku enggak paham.”
“Anu, Mpok. Anuuu.”
“Iya, anu apa Mak? Anu siapa, kenapa?” Aku mulai tidak sabar.
Mak Sumi terdiam, dia berkali-kali menarik napas dalam. Setelah merasa tenang, dia melanjutkan ucapannya.
“Anu Mpok, anuu. Suamimu ….” Mak Sumi diam lagi.
“Suamiku? Ada apa sama Mas Farhan, Mak? Ada apa, cepat kasih tau aku. Jangan bikin penasaran gitu to.” Mendadak aku jadi khawatir sama Mas Farhan.
Laki-l*ki yang pernah sangat aku cintai, tapi tega menduakanku dengan sahabatku sendiri, saat aku sedang koma setelah melahirkan Aliya.
Aku hampir meregang nyawa di rumah sakit karena melahirkan anaknya. Eh, dia malah nyambal terong di rumah.
“Ya Allah, itu Mpok. Maafkan suamimu itu, karena sekarang dia sudah berpulang. Baru saja tadi fajar aku mendapatkan kabarnya,” ucap Mak Sumi. Ia bernapas lega setelah berhasil mengatakannya. Meski masih sedikit ngos-ngosan.
‘Astaqfirullah hal adzim, innalilahi wa innailaihi roji’un.’ batinku.
“Ah, yang bener Mak. Sepertinya dia itu sehat-sehat saja. Orang kemarin aku masih sempet lihat dia lagi uwu uwuan sama bini barunya.” Aku masih tidak percaya. Karena kemarin aku masih melihatnya beradegan romantis sama si Ami, bini barunya itu.
“Bener Ati, baru tadi pagi aku mendengarnya dari pamanmu. Waktu aku lagi nyangkul di ladang. Aku saja kaget, malah semalem aku masih lihat si Farhan suamimu itu, minum di warungnya Bang Somat,” jelas Mak Sumi. Sepertinya ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aku ingin memastikannya, tapi tiba-tiba rombongan ibu-ibu membawa baskom mengalihkan perhatianku.
“Ibu-ibu, kalian mau pada kemana!?” seruku, membuat ibu-ibu itu berhenti.
“Eh, Hayati! Kenapa kamu masih santai-santai! Si Farhan, suamimu itu meninggal.”
Deg!
Jantungku seperti meloncat keluar. Suamiku, Mas Farhan. Ia meninggal, benarkah?
Ibu-ibu tadi sudah berlalu pergi. Mak Sumi juga pamit mau melayat.
“Ya sudah Hayati, kamu yang sabar ya. Aku pamit dulu, mau melayat,” ucap Mak Sumi. Aku hanya diam, kemudian mengangguk.
Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Mas Farhan yang meninggal, tapi aku yang seperti kehilangan nyawa.
Cucian yang belum selesai kujemur aku tinggal begitu saja, biar saja nanti aku jemur lagi.
Sampai di dalam rumah, gawai yang aku letakkan di samping televisi tidak berhenti berbunyi.
Aku mendekatinya, kemudian meraih benda pipih itu di tangan.
Banyak sekali panggilan tidak terjawab dari ibu mertuaku, ada juga beberapa panggilan dari Aminah. Sahabatku yang kini telah menjadi maduku.
“Halo.” Aku angkat telepon dari ibu mertuaku.
“Halo, Hayati. Cepatlah datang ke rumah Aminah. Maafkanlah anak Ibu, Nduk. Suamimu, Nak Farhan sudah berpulang ke Rahmatullah.” Ibu mertuaku berucap dengan suara sengau.
Aku diam, masih belum siap berkata-kata.
“Nduk, kamu masih di sana?” tanya mertuaku. Karena ucapannya belum juga kujawab.
“Masih, Bu.” Aku berhasil menggerakkan lidahku yang terasa kelu.
“Cepat ke sini, Nduk. Ibu tunggu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambungan terputus. Ternyata benar, Mas Farhan telah berpulang.
***
Next?

Bab 2

Haruskah aku memaafkannya? Sedangkan luka yang ia torehkan sampai sekarang masih menganga.

Dia sudah berpulang, aku tahu. Tapi bisakah itu menjadi alasan?

Bukankah itu memang pantas untuknya, bahkan kematiannya tidak cukup untuk membayar luka dan penghinaan yang aku tanggung.

Harusnya aku bahagia mendengar kabar ini, tapi kenapa aku justru seperti ini. Aku terluka, benarkah aku masih mencintainya? Pria yang telah tega mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri.

Tidak! Aku tidak mau memaafkannya.

***

Ingatanku berputar pada kejadian satu setengah bulan yang lalu.

Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit, tubuhku dipasangi banyak sekali selang. Sakit itulah satu hal yang aku ingat.

Luka operasi sesar masih terasa. Di ruangan ini aku sendirian. Tidak ada siapapun, di mana suamiku?

Sekali lagi, aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Kosong, benar-benar tidak ada siapapun di sana.

Dua jam aku sendirian, sampai akhirnya suster masuk ke ruanganku.

“Mbak Hayati, Mbak sudah bangun? Sebentar saya panggilkan dokter,” ucapnya, kemudian keluar.

Aku kembali sendirian di ruangan ini, tidak lama kemudian suster yang tadi sudah kembali. Ia tidak sendirian, melainkan seorang dokter bersamanya.

‘Bayu?’ Batinku.

Aku terkejut melihat dokter yang menanganiku adalah Bayu, pria yang dulu aku tolak karena aku sudah jadian dengan Mas Farhan. Dia sudah jadi dokter hebat sekarang.

Setelah memeriksa kondisiku, dia mengatakan hal yang mengejutkan untukku.

“Bagaimana keadaanku, Dok?”

“Alhamdulillah, ada peningkatan. Besok kamu sudah boleh pulang. Semuanya sudah stabil, tapi kamu masih butuh istirahat setelah koma selama tujuh hari,” tutur Bayu. Sukses membuat mataku melotot.

“Koma?” Aku tidak percaya.

“Benar, Hayati. Sekarang kamu istirahatlah, aku masih banyak kerjaan. Permisi.” Bayu pamit undur diri.

Dia memang laki-laki yang patut aku acungi jempol. Meskipun aku pernah menolaknya, dia sama sekali tidak menaruh dendam padaku.

“Suster, di mana suami saya suster?” tanyaku pada suster yang sedang mengganti botol infus.

“Kami sudah menghubunginya, Mbak. Sudah empat hari ini, tidak ada satupun keluarga Mbak yang datang menjenguk, Mbak,” kata suster itu dengan nada miris.

“Apa benar begitu, Suster?” Mataku berkaca-kaca.

“Benar, Mbak. Maaf jika informasi yang saya berikan membuat hati Mbak sakit. Mungkin keluarga Mbak sedang sibuk. Jadi tidak sempat menjenguk.” Suster itu menenangkanku.

Sayangnya aku bukan anak-anak. Yang akan diam saja setelah diberi permen.

Sejak pagi sampai menjelang sore, aku tidak melihat ada tanda-tanda suamiku akan datang menjenguk.

Bertanya dengan suster, namun hanya jawaban yang sama yang ia berikan. Hal itu membuat hatiku semakin sakit, lebih sakit daripada luka operasiku.

Karena rasa penasaran, apa yang membuat mereka sampai tidak sempat datang menjengukku, aku memaksa dokter untuk mengijinkanku pulang hari ini juga.

“Sus, saya ingin bicara dengan Dokter,” kataku pada suster yang membersihkan ruanganku.

“Baik, Mbak. Saya panggilkan dulu.” Sister itu pergi.

Aku menunggu agak lama di ruangan ini.

Ceklek.

Bayu masuk ke ruanganku. Dia langsung menanyakan keperluanku.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Aku ingin pulang sekarang, Dok,” ucapku penuh penekanan.

“Tapi, kondisimu belum benar-benar pulih.”

“Aku ingin pulang, lagipula aku sudah sehat!” bentakku tanpa sadar.

“Tapi ….”

“Tolong, Bayu. Aku harus segera pulang.” Aku memohon.

Akhirnya Bayu mengijinkan, dengan syarat tanganku tetap diinfus. Aku menyetujuinya.

***

Setiap wanita akan merasa was was sepertiku. Apa sebutan yang pantas untuk keluarga, yang membiarkan salah satu anggota keluarganya yang sedang koma di rumah sakit tanpa ada satu orang pun yang menjaga.

Sedangkan, bayinya di bawa pulang?

Aku menolak diantar ambulan, karena akan mengundang perhatian saat aku datang.

Aku memilih naik taksi, bersama seorang suster yang menemaniku. Awalnya aku menolak ditemani, tapi karena pihak rumah sakit yang mengancam akan mencabut ijinku, maka aku pun mau ditemani.

Aku dibuat terkejut oleh banyak kejutan yang keluargaku sendiri buat. Aku koma, dan mereka berpesta?

***

Next?

Bab 3

Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.
Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.
Hatiku mulai dilanda was-was.
Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.
Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.
Rasa marah menguasaiku.
Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku.
“Mas, Farhan!” Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.
Semua tamu menatapku. Mereka yang mengenalku bergidik ngeri, sedang yang tidak mengenalku menatap kebingungan.
Di atas pelaminan, Mas Farhan dan Ami menatapku dengan wajah pucat. Kenapa terkejut? Aku hanya koma, bukan mayat yang bangkit dari kubur.
“Ha-Hayati.” Mas Farhan tergagap. Aku langsung menamparnya.
Plak!
Plak!
Plak!
Tamparan aku layangkan bertubi-tubi. Mas Farhan diam saja. Wajahnya sampai babak belur karena tamparanku.
Tidak ada yang menghentikanku, semua orang masih terlalu terkejut dengan kehadiranku.
“Kenapa kamu tega, Mas! Kenapa? Istrimu ini belum mati. Aku hanya sedang koma, Mas. Aku koma, bukan mati!” Aku memukul-mukul dada Mas Farhan.
“Maafkan Mas, Dik. Mas terpaksa melakukan ini,” jawabnya sambil terisak.
“Terpaksa? Hahaha! Siapa yang memaksamu, Mas. Siapa?” Aku kalap.
“Sudah Hayati, kami pikir kamu akan mati. Dokter bilang harapan kamu hidup itu tinggal sedikit. Jadi jangan salahkan Mas Farhan yang memilih menikahiku.” Aminah tersenyum licik.
“Diam kamu, jal*ng!” Aku menjambak rambut Ami, sampai dia meringis kesakitan. Hiasan di kepalanya lepas semua, bahkan ada beberapa yang menusuk tanganku.
Aku tidak menyerah, menyeretnya turun dari kursi tempat ia bersanding dengan Mas Farhan. Mendorongnya sampai jatuh di lantai.
“Sabar, Dik. Sabar,” ucap Mas Farhan memelukku.
Aku berontak, kudorong tubuhnya hingga tersungkur.
Orang-orang menatapku heran, aku sendiri tidak percaya. Darimana mendapatkan kekuatan sehebat itu, padahal kondisiku yang masih sakit.
Botol infusku terlepas, perban di perutku sedikit koyak. Saat ingin memukul Ami, aku melihat darah keluar dari pangkal kaki Ami.
“Jangan-jangan, dia ….” Aku jatuh pingsan.
***
“Oeek oeeek oeek!”
“Oeek oeeek oeek!”
“Oeek oeek oeek!”
Tangisan Aliya menyadarkanku. Aku segera menghampiri anak semata wayangku. Aku menggendongnya.
“Cup cup cup, Sayang. Cup, jangan menangis.” Aku goyang-goyanhkan tubuhnya.
“Oeek oeek oeek!”
“Cup cup cup.”
Aliya susah sekali ditenangkan hari ini, apakah dia bersedih karena kepergian bapaknya? Entah.
Aku coba berkali-kali menyusuinya, tapi ia tidak kunjung berhenti.
Baru ketika aku membawanya keluar kamar, ia baru berhenti menangis. Ia mulai mau aku susui.
Kubawa Aliya dekat jendela. Sinar matahari yang mulai naik menyinari wajahnya. Mungkin ia rindu cayaha, itulah sebabnya dia menangis karena di kamar memang sedikit gelap.
“Mpok Ati! Kamu tidak melayat ke rumah suamimu?” tanya Mpok Nur yang baru saja pulang melayat.
“Belum, Mpok. Nggak ada yang jagain Aliya. Tidak baik membawa bayi berziarah. Katanya nanti bisa kena sawan,” sahutku jujur.
“Oalah, ya sudah Mpok. Mari, aku pulang dulu.”
“Hati-hati,” jawabku sambil menganggukkan kepala.
Mpok Nur berlalu, tempatku berdiri memang tampak dari luar. Tidak heran jika tetangga lewat, mereka akan menyapa.
Aku menunggu Mak Sumi pulang, karena hanya pada Mak Sumi lah aku merasa aman menitipkan Aliya.
Aliya juga tidak terlalu rewel jika bersama Mak Sumi.
Sambil menunggu Mak Sumi pulang, aku  lanjutkan menjemur baju yang tadi belum selesai, sambil menggendong dan menyusui Aliya.
Tidak lama kemudian, Mak Sumi pulang dari rumah Ami. Setelah menyimpan baskom di rumahnya, Mak Sumi langsung menghampiriku.
“Hayati, mana aku jagakan anakmu. Keburu siang, tidak elok seorang istri datang terlambat.” Nasihat Mak Sumi padaku.
“Iya, Mak. Apakah Mak sudah tahu, apa sebab Mas Farhan meninggal?”
“Sudah Ati, dia keracunan alkohol yang dicampur-campur. Tidak tahu dicampur apa, tapi dia langsung mati di tempat. Mulutnya mengeluarkan busa. Mak tidak terlalu paham, tapi begitu yang mak dengar samar-samar,” jelas Mak Sumi.
Aku sedikit terkejut, karena selama ini Mas Farhan bukan laki-laki pemabuk.
‘Sebenarnya apa yang telah terjadi padamu, Mas. Kamu mendadak berubah menjadi orang yang sangat asing di mataku.’ Batinku sedikit nelangsa.
***
Next?

Bab 4

Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?

Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.

Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.

Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami.

“Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu,” seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang.

“Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman.” Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temennya ikut menimpali.

“Iya bener. Inget nggak Ati, apa yang kamu ucapkan pas nikahan suamimu!” timpal Elma. Akhir-akhir ini Elma adalah teman baik Ami. Aku tidak merasa heran jika mulutnya sebegitu tidak disaring.

Tak kuhiraukan semua yang mereka ucapkan. Mereka bersikap seolah akulah yang harus bertanggungjawab atas kematian Mas Farhan.

Padahal, jika ada orang yang harus dimintai pertanggungjawaban, itu adalah Ami. Karena selama satu bulan ini, Mas Farhan selalu bersamanya, tidak sekalipun ia mengunjungiku.

Satu bulan juga, Mas Farhan tidak memberiku nafkah. Termasuk pada Aliya. Ia larut dalam kehidupan dengan istri barunya.

Namun, tetap aku yang disalahkan atas kematiannya. Aneh sekali. Aku jadi iba pada pemikiran dangkal orang-orang.

***

Di depan rumah Ami berkibar bendera kuning. Di sana sudah ramai, bapak-bapak sibuk membuat keranda bambu di depan rumah Pak To’at. Rumah Pak To’at tepat di samping rumah Ami.

Aku berjalan mendekat, semua orang langsung melihat ke arahku dengan ekspresi yang berbeda-beda.

Aku tak acuh, kuteruskan langkahku sampai di depan pintu.

“Hayati, sini Nduk,” panggil ibu mertuaku sambil melambaikan tangannya.

Aku mendekat, kemudian duduk di sampingnya.

Di hadapanku Mas Farhan terbujur kaku. Tubuhnya sudah terbalut kain kafan, selendang menutup tubuhnya.

Ami terisak di samping Ibu. Semua orang sibuk menenangkannya. Beberapa sibuk mengomentari aku yang tidak menitikkan air mata.

Memangnya apalagi yang harus kutangisi? Jika aku sudah menganggapnya mati sejak ia mulai mendua.

“Mas Farhan, Pernikahan kita baru seumur jagung. Kenapa kamu harus meninggalkanku, Mas. hiks hiks,” ucap Ami yang masih saja terisak. Aku menatapnya kosong.

Tidak ada lagi iba yang tersisa untuknya.

Drama itu belumlah berakhir. Saat jenazah Mas Farhan dimasukkan ke dalam keranda. Untuk dibawa dan di salatkan di masjid terdekat, Ami berteriak histeris.

“Jangan! Jangan bawa Mas Farhan pergi. Jangan.” Ia berlari mengejar jenazah Mas Farhan.

“Ibu, tolong hentikan mereka. Ibu, bawa Mas Farhan kembali.”

“Mas Farhan!” Ami berteriak histeris. Kulihat perutnya sedikit buncit, ia sepertinya sudah hamil tiga bulan.

Aku menggeleng pelan, tidak menyangka ia tega mengkhianatiku. Jadi sejak kapan mereka berselingkuh, dan terlibat zina. Aku mengusap dadaku.

‘Sabar sabar.’ lirihku dalam hati.

Ami masih meraung-raung. Beberapa orang yang menenangkannya sampai kewalahan.

“Ini semua karena kamu, Hayati!” Ami menatapku garang. Membuatku sempat bergidik karenanya.

Ami berjalan ke arahku, kakinya menghentak-hentak karena marah.

“Ini salahmu! Coba saja kamu tidak menyumpahi dia mati. Maka suamiku tidak akan pergi. Aku tidak akan menjanda, Ati!” teriaknya marah tepat di wajahku.

“Wanita lakn*t! Rasakan ini!”

Plak!

Ami menampar wajahku, mataku melebar tidak percaya. Ia cukup berani dengan berbuat senekat ini.

“Kenapa melotot? Tidak terima? Sini tampar wajahku kalau kamu tidak terima. Kalau perlu sumpahi aku sekalian. Supaya bisa cepat menyusul Mas Farhan. Hahaha.”

Aku masih diam. Tidak ingin menambah keributan di rumah ini. Meskipun telingaku panas, tanganku mengepal kuat, dan dadaku bergemuruh hebat.

“Sabar ya , Mbak Ati. Aku tahu di sini Mbak ati enggak salah.” Seseorang menepuk pundakku, menyalurkan kekuatan untuk menguatkanku.

Dia adalah Bu Isma. Istri Pak RT di tempatku tinggal.

Aku, Ami, dan Mas Farhan memang tinggal di RT yang sama. Jadi Bu Isma juga saksi dari segala yang terjadi.

Dulunya, aku dan Ami memang sahabat dekat. Ami dan Mas Farhan bekerja di kantor yang sama, aku tidak tahu sejak kapan mereka mulai menjalin hubungan. Aku bahkan tidak pernah curiga setiap Mas Farhan mengantar Ami pulang.

Itu semua karena aku dan Ami adalah sahabat, jadi tak pernah terbersit mereka akan tega melakukan ini.

Mungkin inilah hadiahku, sebagai wanita yang lalai dalam menjaga suaminya dari dekapan wanita lain.

***

Bab 5

Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.

Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.

Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.

Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.

Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.

Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.

Mas Farhan telah meninggalkanku sejak dia memutuskan untuk tidur bersama Ami.

***

Tok tok tok.

Aku berjalan ke depan, siapa yang bertamu sepagi ini.

Kuintip dari jendela, melihat Mak Sumi yang datang. Aku pun membuka pintu.

“Masuk, Mak,” ucapku, membuka pintu lebih lebar. Mak Sumi pun Masuk.

“Ada apa, Mak datang pagi-pagi,” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa Mpok. Ini, cuma mau antar bubur merah saja. Kamu kenapa lemas begitu?” Mak Sumi selalu tahu perasaanku.

“Tidak ada apa-apa, Mak.” Aku berbohong.

“Sini, cerita sama Mak. Jangan dipendam sendiri. Nggak baik buat kesehatan kamu, Mpok,” Mak Sumi membujukku.

“Tidak, Mak. Aku baik-baik saja.”

“Apa gara-gara di tuduh orang-orang, kalau kamu penyebab Si Farhan meninggal?”

Jleb.

Perkataan Mak Sumi benar sekali. Tapi aku enggan mengiyakan.

“Tidak Mak. Aku baik-baik saja. Aku hanya masih mengantuk, hehehe.”

“Oalah, Mpok! Mpok! Ya udah. Kalau gitu pulang dulu ya. Jangan lupa, nanti di makan buburnya.” Mak Sumi akhirnya pulang.

Aku kembali ke belakang untuk membereskan pekerjaan rumah.

***

Dor dor dor.

Berisik pintu rumahku di gedor-gedor. Emosi aku membuka pintu, karena Aliya hampir saja bangun karena suara itu.

“Ami?” Aku terkejut melihat Ami berdiri di depan pintu.

“Heh, Ati! Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi janda karena doa-doamu! Keterlaluan!” Sumpah serapah keluar dari mulutnya.

“Apa maksudmu? Pelankan suaramu, Aliya sedang tidur,” tegasku.

“Alah, semua orang juga sudah tahu. Kalau kamu tidak pernah mau terima Pernikahanku sama Mas Farhan. Itulah sebabnya kamu doain dia mati, tepat di hari pernikahan kami!”

“Lalu?”

“Lalu? Kamu nggak sadar, Mas Farhan mati itu karena kamu!”

“Aku? Hahaha. Ami Ami, sudah satu bulan Mas Farhan tidak pulang ke sini. Jadi kalaupun ada yang harus disalahkan itu, ya kamu!” Aku mulai terpancing kata-katanya. Dia sama sekali tidak sadar di mana posisinya sebagai istri kedua.

“Dasar murah*n! Wanita jal@ng! Benar-benar nggak tahu diri ya kamu!” Ami hampir saja menamparku, untung segera kutangkis.

“Kamu nggak punya kaca? Yang pelakor itu, kamu! Bayi yang kamu kandung itu, entah itu anak siapa. Nikah juga baru satu bulan, eh, perut sudah ngebuncit aja.” Aku mulai kesal dengan tingkah Ami. Ngapain juga, dia datang ke sini hanya untuk memaki diriku saja. Mempermalukan diri sendiri.

Warga mulai berbondong-bondong datang ke rumahku. Semua itu karena suara Ami yang sangat keras. Kelelawar pun bisa bangun kalau mendengar suaranya.

Ami terlihat kesal, dia mau menamparku lagi dengan tangan satunya. Aku masih dengan sigap menangkis. Kini dua tangannya ada dalam genggamanku.

“Ya Allah, ada apa ini, Mpok Ati. Kenapa madumu ini udah ngamuk pagi-pagi.” tanya Bu Ida. Salah satu tetanggaku.

“Entahlah, Bu. Enggak waras dia, nuduh aku penyebab Mas Farhan meninggal. Nyalahin aku karena dia jadi janda. Memangnya dia saja yang jadi janda!” timpalku kesal.

Ami semakin mempelototkan matanya.

“Kurang ajar kamu Ati!”

“Oeeek oeek oeek!”

Aliya bangun, semua ini gara-gara Ami.

“Oeek oeek oeek!”

Kesal, kudorong tubuh Ami ke luar. Kututup pintu dan menguncinya. Aku tidak mau, wanita yang telah merebut suamiku itu masuk dan mengganggu tidur Aliyaku.

Dor dor dor!

Pintu kembali digedor. Aku tidak peduli.

“Keluar kamu Hayati! Jangan jadi pengecut! Keluar kamu!”

“Hayati!”

Ami masih tidak berhenti mengumpat di luar. Kubiarkan saja, buang-buang tenaga.

“Oeek oeek oeek!”

Aku berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, tangis Aliya semakin keras. Belum genap dua bulan ia lahir di dunia. Ia harus melihat ibunya menderita.

Pertama karena aku yang di tinggal nikah lagi, kemudian ditinggal mati. Tidak cukup itu, aku masih dianggap sebagai penyebab kematian Mas Farhan.

Sakit hatiku. Mereka yang jahat, tapi kenapa aku yang dituduh penjahat. Ini sangat tidak adil.

Segera kugendong Aliya. Ternyata dia mengompol, kuletakkan kembali di atas kasur, kemudian mengganti popoknya.

‘Aliya sayang, hidup ini tidak adil, Nak. Kelak jika kamu dewasa. Ibu harap kamu tidak bernasib sama seperti Ibu. Kamu harus bahagia, anakku.’ ucapku dalam hati.

Kuciumi wajah putriku, kemudian menidurkannya di ayunan.

***

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Rahasia di Rumah Maduku

Rahasia di Rumah Maduku

Esana Gulpinar

Bab 1

Kabar duka datang dari rumah maduku. Sudah satu bulan, suamiku yang juga suaminya tidak pulang dan memilih tinggal di kediaman istri keduanya. Kini pulang-pulang tinggallah nama.
“Mpok! Mpok!” Teriak Mak Sumi, tetanggaku sebelah rumah.
“Ada apa Mak, teriak-teriak begitu. Masih pagi ini,” jawabku sedikit kesal. Takut kalau suaranya sampai membangunkan Aliya.
Aku sedang menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Jika Aliya sampai bangun, maka pekerjaan ini akan tertunda entah sampai kapan.
“Maaf, maaf. Tapi ini urgent Mpok! Urgent! Penting banget!” Tambahnya tak kalah heboh.
“Iye iye. Ada apa Mak, memangnya ada yang lebih penting dari rejeki nomplok?” Aku bergurau.
“Ya jelas ada. Banyak yang lebih penting dari sekedar duit,” ucap Mak Sumi. Lagaknya ia mulai akan berceramah. Aku segera mencegah dengan menanyakan tujuannya heboh pagi-pagi.
“Itu Mpok, si anu ….” Mak Sumi tergagap. Ia mendadak pucat. Aku mulai memasang wajah tidak tenang.
“Anu apa Mak, jangan gagap begitu. Aku enggak paham.”
“Anu, Mpok. Anuuu.”
“Iya, anu apa Mak? Anu siapa, kenapa?” Aku mulai tidak sabar.
Mak Sumi terdiam, dia berkali-kali menarik napas dalam. Setelah merasa tenang, dia melanjutkan ucapannya.
“Anu Mpok, anuu. Suamimu ….” Mak Sumi diam lagi.
“Suamiku? Ada apa sama Mas Farhan, Mak? Ada apa, cepat kasih tau aku. Jangan bikin penasaran gitu to.” Mendadak aku jadi khawatir sama Mas Farhan.
Laki-l*ki yang pernah sangat aku cintai, tapi tega menduakanku dengan sahabatku sendiri, saat aku sedang koma setelah melahirkan Aliya.
Aku hampir meregang nyawa di rumah sakit karena melahirkan anaknya. Eh, dia malah nyambal terong di rumah.
“Ya Allah, itu Mpok. Maafkan suamimu itu, karena sekarang dia sudah berpulang. Baru saja tadi fajar aku mendapatkan kabarnya,” ucap Mak Sumi. Ia bernapas lega setelah berhasil mengatakannya. Meski masih sedikit ngos-ngosan.
‘Astaqfirullah hal adzim, innalilahi wa innailaihi roji’un.’ batinku.
“Ah, yang bener Mak. Sepertinya dia itu sehat-sehat saja. Orang kemarin aku masih sempet lihat dia lagi uwu uwuan sama bini barunya.” Aku masih tidak percaya. Karena kemarin aku masih melihatnya beradegan romantis sama si Ami, bini barunya itu.
“Bener Ati, baru tadi pagi aku mendengarnya dari pamanmu. Waktu aku lagi nyangkul di ladang. Aku saja kaget, malah semalem aku masih lihat si Farhan suamimu itu, minum di warungnya Bang Somat,” jelas Mak Sumi. Sepertinya ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aku ingin memastikannya, tapi tiba-tiba rombongan ibu-ibu membawa baskom mengalihkan perhatianku.
“Ibu-ibu, kalian mau pada kemana!?” seruku, membuat ibu-ibu itu berhenti.
“Eh, Hayati! Kenapa kamu masih santai-santai! Si Farhan, suamimu itu meninggal.”
Deg!
Jantungku seperti meloncat keluar. Suamiku, Mas Farhan. Ia meninggal, benarkah?
Ibu-ibu tadi sudah berlalu pergi. Mak Sumi juga pamit mau melayat.
“Ya sudah Hayati, kamu yang sabar ya. Aku pamit dulu, mau melayat,” ucap Mak Sumi. Aku hanya diam, kemudian mengangguk.
Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Mas Farhan yang meninggal, tapi aku yang seperti kehilangan nyawa.
Cucian yang belum selesai kujemur aku tinggal begitu saja, biar saja nanti aku jemur lagi.
Sampai di dalam rumah, gawai yang aku letakkan di samping televisi tidak berhenti berbunyi.
Aku mendekatinya, kemudian meraih benda pipih itu di tangan.
Banyak sekali panggilan tidak terjawab dari ibu mertuaku, ada juga beberapa panggilan dari Aminah. Sahabatku yang kini telah menjadi maduku.
“Halo.” Aku angkat telepon dari ibu mertuaku.
“Halo, Hayati. Cepatlah datang ke rumah Aminah. Maafkanlah anak Ibu, Nduk. Suamimu, Nak Farhan sudah berpulang ke Rahmatullah.” Ibu mertuaku berucap dengan suara sengau.
Aku diam, masih belum siap berkata-kata.
“Nduk, kamu masih di sana?” tanya mertuaku. Karena ucapannya belum juga kujawab.
“Masih, Bu.” Aku berhasil menggerakkan lidahku yang terasa kelu.
“Cepat ke sini, Nduk. Ibu tunggu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambungan terputus. Ternyata benar, Mas Farhan telah berpulang.
***
Next?

Bab 2

Haruskah aku memaafkannya? Sedangkan luka yang ia torehkan sampai sekarang masih menganga.

Dia sudah berpulang, aku tahu. Tapi bisakah itu menjadi alasan?

Bukankah itu memang pantas untuknya, bahkan kematiannya tidak cukup untuk membayar luka dan penghinaan yang aku tanggung.

Harusnya aku bahagia mendengar kabar ini, tapi kenapa aku justru seperti ini. Aku terluka, benarkah aku masih mencintainya? Pria yang telah tega mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri.

Tidak! Aku tidak mau memaafkannya.

***

Ingatanku berputar pada kejadian satu setengah bulan yang lalu.

Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit, tubuhku dipasangi banyak sekali selang. Sakit itulah satu hal yang aku ingat.

Luka operasi sesar masih terasa. Di ruangan ini aku sendirian. Tidak ada siapapun, di mana suamiku?

Sekali lagi, aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Kosong, benar-benar tidak ada siapapun di sana.

Dua jam aku sendirian, sampai akhirnya suster masuk ke ruanganku.

“Mbak Hayati, Mbak sudah bangun? Sebentar saya panggilkan dokter,” ucapnya, kemudian keluar.

Aku kembali sendirian di ruangan ini, tidak lama kemudian suster yang tadi sudah kembali. Ia tidak sendirian, melainkan seorang dokter bersamanya.

‘Bayu?’ Batinku.

Aku terkejut melihat dokter yang menanganiku adalah Bayu, pria yang dulu aku tolak karena aku sudah jadian dengan Mas Farhan. Dia sudah jadi dokter hebat sekarang.

Setelah memeriksa kondisiku, dia mengatakan hal yang mengejutkan untukku.

“Bagaimana keadaanku, Dok?”

“Alhamdulillah, ada peningkatan. Besok kamu sudah boleh pulang. Semuanya sudah stabil, tapi kamu masih butuh istirahat setelah koma selama tujuh hari,” tutur Bayu. Sukses membuat mataku melotot.

“Koma?” Aku tidak percaya.

“Benar, Hayati. Sekarang kamu istirahatlah, aku masih banyak kerjaan. Permisi.” Bayu pamit undur diri.

Dia memang laki-laki yang patut aku acungi jempol. Meskipun aku pernah menolaknya, dia sama sekali tidak menaruh dendam padaku.

“Suster, di mana suami saya suster?” tanyaku pada suster yang sedang mengganti botol infus.

“Kami sudah menghubunginya, Mbak. Sudah empat hari ini, tidak ada satupun keluarga Mbak yang datang menjenguk, Mbak,” kata suster itu dengan nada miris.

“Apa benar begitu, Suster?” Mataku berkaca-kaca.

“Benar, Mbak. Maaf jika informasi yang saya berikan membuat hati Mbak sakit. Mungkin keluarga Mbak sedang sibuk. Jadi tidak sempat menjenguk.” Suster itu menenangkanku.

Sayangnya aku bukan anak-anak. Yang akan diam saja setelah diberi permen.

Sejak pagi sampai menjelang sore, aku tidak melihat ada tanda-tanda suamiku akan datang menjenguk.

Bertanya dengan suster, namun hanya jawaban yang sama yang ia berikan. Hal itu membuat hatiku semakin sakit, lebih sakit daripada luka operasiku.

Karena rasa penasaran, apa yang membuat mereka sampai tidak sempat datang menjengukku, aku memaksa dokter untuk mengijinkanku pulang hari ini juga.

“Sus, saya ingin bicara dengan Dokter,” kataku pada suster yang membersihkan ruanganku.

“Baik, Mbak. Saya panggilkan dulu.” Sister itu pergi.

Aku menunggu agak lama di ruangan ini.

Ceklek.

Bayu masuk ke ruanganku. Dia langsung menanyakan keperluanku.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Aku ingin pulang sekarang, Dok,” ucapku penuh penekanan.

“Tapi, kondisimu belum benar-benar pulih.”

“Aku ingin pulang, lagipula aku sudah sehat!” bentakku tanpa sadar.

“Tapi ….”

“Tolong, Bayu. Aku harus segera pulang.” Aku memohon.

Akhirnya Bayu mengijinkan, dengan syarat tanganku tetap diinfus. Aku menyetujuinya.

***

Setiap wanita akan merasa was was sepertiku. Apa sebutan yang pantas untuk keluarga, yang membiarkan salah satu anggota keluarganya yang sedang koma di rumah sakit tanpa ada satu orang pun yang menjaga.

Sedangkan, bayinya di bawa pulang?

Aku menolak diantar ambulan, karena akan mengundang perhatian saat aku datang.

Aku memilih naik taksi, bersama seorang suster yang menemaniku. Awalnya aku menolak ditemani, tapi karena pihak rumah sakit yang mengancam akan mencabut ijinku, maka aku pun mau ditemani.

Aku dibuat terkejut oleh banyak kejutan yang keluargaku sendiri buat. Aku koma, dan mereka berpesta?

***

Next?

Bab 3

Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.
Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.
Hatiku mulai dilanda was-was.
Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.
Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.
Rasa marah menguasaiku.
Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku.
“Mas, Farhan!” Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.
Semua tamu menatapku. Mereka yang mengenalku bergidik ngeri, sedang yang tidak mengenalku menatap kebingungan.
Di atas pelaminan, Mas Farhan dan Ami menatapku dengan wajah pucat. Kenapa terkejut? Aku hanya koma, bukan mayat yang bangkit dari kubur.
“Ha-Hayati.” Mas Farhan tergagap. Aku langsung menamparnya.
Plak!
Plak!
Plak!
Tamparan aku layangkan bertubi-tubi. Mas Farhan diam saja. Wajahnya sampai babak belur karena tamparanku.
Tidak ada yang menghentikanku, semua orang masih terlalu terkejut dengan kehadiranku.
“Kenapa kamu tega, Mas! Kenapa? Istrimu ini belum mati. Aku hanya sedang koma, Mas. Aku koma, bukan mati!” Aku memukul-mukul dada Mas Farhan.
“Maafkan Mas, Dik. Mas terpaksa melakukan ini,” jawabnya sambil terisak.
“Terpaksa? Hahaha! Siapa yang memaksamu, Mas. Siapa?” Aku kalap.
“Sudah Hayati, kami pikir kamu akan mati. Dokter bilang harapan kamu hidup itu tinggal sedikit. Jadi jangan salahkan Mas Farhan yang memilih menikahiku.” Aminah tersenyum licik.
“Diam kamu, jal*ng!” Aku menjambak rambut Ami, sampai dia meringis kesakitan. Hiasan di kepalanya lepas semua, bahkan ada beberapa yang menusuk tanganku.
Aku tidak menyerah, menyeretnya turun dari kursi tempat ia bersanding dengan Mas Farhan. Mendorongnya sampai jatuh di lantai.
“Sabar, Dik. Sabar,” ucap Mas Farhan memelukku.
Aku berontak, kudorong tubuhnya hingga tersungkur.
Orang-orang menatapku heran, aku sendiri tidak percaya. Darimana mendapatkan kekuatan sehebat itu, padahal kondisiku yang masih sakit.
Botol infusku terlepas, perban di perutku sedikit koyak. Saat ingin memukul Ami, aku melihat darah keluar dari pangkal kaki Ami.
“Jangan-jangan, dia ….” Aku jatuh pingsan.
***
“Oeek oeeek oeek!”
“Oeek oeeek oeek!”
“Oeek oeek oeek!”
Tangisan Aliya menyadarkanku. Aku segera menghampiri anak semata wayangku. Aku menggendongnya.
“Cup cup cup, Sayang. Cup, jangan menangis.” Aku goyang-goyanhkan tubuhnya.
“Oeek oeek oeek!”
“Cup cup cup.”
Aliya susah sekali ditenangkan hari ini, apakah dia bersedih karena kepergian bapaknya? Entah.
Aku coba berkali-kali menyusuinya, tapi ia tidak kunjung berhenti.
Baru ketika aku membawanya keluar kamar, ia baru berhenti menangis. Ia mulai mau aku susui.
Kubawa Aliya dekat jendela. Sinar matahari yang mulai naik menyinari wajahnya. Mungkin ia rindu cayaha, itulah sebabnya dia menangis karena di kamar memang sedikit gelap.
“Mpok Ati! Kamu tidak melayat ke rumah suamimu?” tanya Mpok Nur yang baru saja pulang melayat.
“Belum, Mpok. Nggak ada yang jagain Aliya. Tidak baik membawa bayi berziarah. Katanya nanti bisa kena sawan,” sahutku jujur.
“Oalah, ya sudah Mpok. Mari, aku pulang dulu.”
“Hati-hati,” jawabku sambil menganggukkan kepala.
Mpok Nur berlalu, tempatku berdiri memang tampak dari luar. Tidak heran jika tetangga lewat, mereka akan menyapa.
Aku menunggu Mak Sumi pulang, karena hanya pada Mak Sumi lah aku merasa aman menitipkan Aliya.
Aliya juga tidak terlalu rewel jika bersama Mak Sumi.
Sambil menunggu Mak Sumi pulang, aku  lanjutkan menjemur baju yang tadi belum selesai, sambil menggendong dan menyusui Aliya.
Tidak lama kemudian, Mak Sumi pulang dari rumah Ami. Setelah menyimpan baskom di rumahnya, Mak Sumi langsung menghampiriku.
“Hayati, mana aku jagakan anakmu. Keburu siang, tidak elok seorang istri datang terlambat.” Nasihat Mak Sumi padaku.
“Iya, Mak. Apakah Mak sudah tahu, apa sebab Mas Farhan meninggal?”
“Sudah Ati, dia keracunan alkohol yang dicampur-campur. Tidak tahu dicampur apa, tapi dia langsung mati di tempat. Mulutnya mengeluarkan busa. Mak tidak terlalu paham, tapi begitu yang mak dengar samar-samar,” jelas Mak Sumi.
Aku sedikit terkejut, karena selama ini Mas Farhan bukan laki-laki pemabuk.
‘Sebenarnya apa yang telah terjadi padamu, Mas. Kamu mendadak berubah menjadi orang yang sangat asing di mataku.’ Batinku sedikit nelangsa.
***
Next?

Bab 4

Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?

Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.

Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.

Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami.

“Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu,” seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang.

“Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman.” Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temennya ikut menimpali.

“Iya bener. Inget nggak Ati, apa yang kamu ucapkan pas nikahan suamimu!” timpal Elma. Akhir-akhir ini Elma adalah teman baik Ami. Aku tidak merasa heran jika mulutnya sebegitu tidak disaring.

Tak kuhiraukan semua yang mereka ucapkan. Mereka bersikap seolah akulah yang harus bertanggungjawab atas kematian Mas Farhan.

Padahal, jika ada orang yang harus dimintai pertanggungjawaban, itu adalah Ami. Karena selama satu bulan ini, Mas Farhan selalu bersamanya, tidak sekalipun ia mengunjungiku.

Satu bulan juga, Mas Farhan tidak memberiku nafkah. Termasuk pada Aliya. Ia larut dalam kehidupan dengan istri barunya.

Namun, tetap aku yang disalahkan atas kematiannya. Aneh sekali. Aku jadi iba pada pemikiran dangkal orang-orang.

***

Di depan rumah Ami berkibar bendera kuning. Di sana sudah ramai, bapak-bapak sibuk membuat keranda bambu di depan rumah Pak To’at. Rumah Pak To’at tepat di samping rumah Ami.

Aku berjalan mendekat, semua orang langsung melihat ke arahku dengan ekspresi yang berbeda-beda.

Aku tak acuh, kuteruskan langkahku sampai di depan pintu.

“Hayati, sini Nduk,” panggil ibu mertuaku sambil melambaikan tangannya.

Aku mendekat, kemudian duduk di sampingnya.

Di hadapanku Mas Farhan terbujur kaku. Tubuhnya sudah terbalut kain kafan, selendang menutup tubuhnya.

Ami terisak di samping Ibu. Semua orang sibuk menenangkannya. Beberapa sibuk mengomentari aku yang tidak menitikkan air mata.

Memangnya apalagi yang harus kutangisi? Jika aku sudah menganggapnya mati sejak ia mulai mendua.

“Mas Farhan, Pernikahan kita baru seumur jagung. Kenapa kamu harus meninggalkanku, Mas. hiks hiks,” ucap Ami yang masih saja terisak. Aku menatapnya kosong.

Tidak ada lagi iba yang tersisa untuknya.

Drama itu belumlah berakhir. Saat jenazah Mas Farhan dimasukkan ke dalam keranda. Untuk dibawa dan di salatkan di masjid terdekat, Ami berteriak histeris.

“Jangan! Jangan bawa Mas Farhan pergi. Jangan.” Ia berlari mengejar jenazah Mas Farhan.

“Ibu, tolong hentikan mereka. Ibu, bawa Mas Farhan kembali.”

“Mas Farhan!” Ami berteriak histeris. Kulihat perutnya sedikit buncit, ia sepertinya sudah hamil tiga bulan.

Aku menggeleng pelan, tidak menyangka ia tega mengkhianatiku. Jadi sejak kapan mereka berselingkuh, dan terlibat zina. Aku mengusap dadaku.

‘Sabar sabar.’ lirihku dalam hati.

Ami masih meraung-raung. Beberapa orang yang menenangkannya sampai kewalahan.

“Ini semua karena kamu, Hayati!” Ami menatapku garang. Membuatku sempat bergidik karenanya.

Ami berjalan ke arahku, kakinya menghentak-hentak karena marah.

“Ini salahmu! Coba saja kamu tidak menyumpahi dia mati. Maka suamiku tidak akan pergi. Aku tidak akan menjanda, Ati!” teriaknya marah tepat di wajahku.

“Wanita lakn*t! Rasakan ini!”

Plak!

Ami menampar wajahku, mataku melebar tidak percaya. Ia cukup berani dengan berbuat senekat ini.

“Kenapa melotot? Tidak terima? Sini tampar wajahku kalau kamu tidak terima. Kalau perlu sumpahi aku sekalian. Supaya bisa cepat menyusul Mas Farhan. Hahaha.”

Aku masih diam. Tidak ingin menambah keributan di rumah ini. Meskipun telingaku panas, tanganku mengepal kuat, dan dadaku bergemuruh hebat.

“Sabar ya , Mbak Ati. Aku tahu di sini Mbak ati enggak salah.” Seseorang menepuk pundakku, menyalurkan kekuatan untuk menguatkanku.

Dia adalah Bu Isma. Istri Pak RT di tempatku tinggal.

Aku, Ami, dan Mas Farhan memang tinggal di RT yang sama. Jadi Bu Isma juga saksi dari segala yang terjadi.

Dulunya, aku dan Ami memang sahabat dekat. Ami dan Mas Farhan bekerja di kantor yang sama, aku tidak tahu sejak kapan mereka mulai menjalin hubungan. Aku bahkan tidak pernah curiga setiap Mas Farhan mengantar Ami pulang.

Itu semua karena aku dan Ami adalah sahabat, jadi tak pernah terbersit mereka akan tega melakukan ini.

Mungkin inilah hadiahku, sebagai wanita yang lalai dalam menjaga suaminya dari dekapan wanita lain.

***

Bab 5

Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.

Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.

Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.

Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.

Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.

Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.

Mas Farhan telah meninggalkanku sejak dia memutuskan untuk tidur bersama Ami.

***

Tok tok tok.

Aku berjalan ke depan, siapa yang bertamu sepagi ini.

Kuintip dari jendela, melihat Mak Sumi yang datang. Aku pun membuka pintu.

“Masuk, Mak,” ucapku, membuka pintu lebih lebar. Mak Sumi pun Masuk.

“Ada apa, Mak datang pagi-pagi,” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa Mpok. Ini, cuma mau antar bubur merah saja. Kamu kenapa lemas begitu?” Mak Sumi selalu tahu perasaanku.

“Tidak ada apa-apa, Mak.” Aku berbohong.

“Sini, cerita sama Mak. Jangan dipendam sendiri. Nggak baik buat kesehatan kamu, Mpok,” Mak Sumi membujukku.

“Tidak, Mak. Aku baik-baik saja.”

“Apa gara-gara di tuduh orang-orang, kalau kamu penyebab Si Farhan meninggal?”

Jleb.

Perkataan Mak Sumi benar sekali. Tapi aku enggan mengiyakan.

“Tidak Mak. Aku baik-baik saja. Aku hanya masih mengantuk, hehehe.”

“Oalah, Mpok! Mpok! Ya udah. Kalau gitu pulang dulu ya. Jangan lupa, nanti di makan buburnya.” Mak Sumi akhirnya pulang.

Aku kembali ke belakang untuk membereskan pekerjaan rumah.

***

Dor dor dor.

Berisik pintu rumahku di gedor-gedor. Emosi aku membuka pintu, karena Aliya hampir saja bangun karena suara itu.

“Ami?” Aku terkejut melihat Ami berdiri di depan pintu.

“Heh, Ati! Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi janda karena doa-doamu! Keterlaluan!” Sumpah serapah keluar dari mulutnya.

“Apa maksudmu? Pelankan suaramu, Aliya sedang tidur,” tegasku.

“Alah, semua orang juga sudah tahu. Kalau kamu tidak pernah mau terima Pernikahanku sama Mas Farhan. Itulah sebabnya kamu doain dia mati, tepat di hari pernikahan kami!”

“Lalu?”

“Lalu? Kamu nggak sadar, Mas Farhan mati itu karena kamu!”

“Aku? Hahaha. Ami Ami, sudah satu bulan Mas Farhan tidak pulang ke sini. Jadi kalaupun ada yang harus disalahkan itu, ya kamu!” Aku mulai terpancing kata-katanya. Dia sama sekali tidak sadar di mana posisinya sebagai istri kedua.

“Dasar murah*n! Wanita jal@ng! Benar-benar nggak tahu diri ya kamu!” Ami hampir saja menamparku, untung segera kutangkis.

“Kamu nggak punya kaca? Yang pelakor itu, kamu! Bayi yang kamu kandung itu, entah itu anak siapa. Nikah juga baru satu bulan, eh, perut sudah ngebuncit aja.” Aku mulai kesal dengan tingkah Ami. Ngapain juga, dia datang ke sini hanya untuk memaki diriku saja. Mempermalukan diri sendiri.

Warga mulai berbondong-bondong datang ke rumahku. Semua itu karena suara Ami yang sangat keras. Kelelawar pun bisa bangun kalau mendengar suaranya.

Ami terlihat kesal, dia mau menamparku lagi dengan tangan satunya. Aku masih dengan sigap menangkis. Kini dua tangannya ada dalam genggamanku.

“Ya Allah, ada apa ini, Mpok Ati. Kenapa madumu ini udah ngamuk pagi-pagi.” tanya Bu Ida. Salah satu tetanggaku.

“Entahlah, Bu. Enggak waras dia, nuduh aku penyebab Mas Farhan meninggal. Nyalahin aku karena dia jadi janda. Memangnya dia saja yang jadi janda!” timpalku kesal.

Ami semakin mempelototkan matanya.

“Kurang ajar kamu Ati!”

“Oeeek oeek oeek!”

Aliya bangun, semua ini gara-gara Ami.

“Oeek oeek oeek!”

Kesal, kudorong tubuh Ami ke luar. Kututup pintu dan menguncinya. Aku tidak mau, wanita yang telah merebut suamiku itu masuk dan mengganggu tidur Aliyaku.

Dor dor dor!

Pintu kembali digedor. Aku tidak peduli.

“Keluar kamu Hayati! Jangan jadi pengecut! Keluar kamu!”

“Hayati!”

Ami masih tidak berhenti mengumpat di luar. Kubiarkan saja, buang-buang tenaga.

“Oeek oeek oeek!”

Aku berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, tangis Aliya semakin keras. Belum genap dua bulan ia lahir di dunia. Ia harus melihat ibunya menderita.

Pertama karena aku yang di tinggal nikah lagi, kemudian ditinggal mati. Tidak cukup itu, aku masih dianggap sebagai penyebab kematian Mas Farhan.

Sakit hatiku. Mereka yang jahat, tapi kenapa aku yang dituduh penjahat. Ini sangat tidak adil.

Segera kugendong Aliya. Ternyata dia mengompol, kuletakkan kembali di atas kasur, kemudian mengganti popoknya.

‘Aliya sayang, hidup ini tidak adil, Nak. Kelak jika kamu dewasa. Ibu harap kamu tidak bernasib sama seperti Ibu. Kamu harus bahagia, anakku.’ ucapku dalam hati.

Kuciumi wajah putriku, kemudian menidurkannya di ayunan.

***

Tertarik Dengan Buku : Rahasia di Rumah Maduku ?

Rahasia di Rumah Maduku

Rahasia di Rumah Maduku

Esana Gulpinar