RAHASIA BESAR DI RAHIM ISTRIKU

Esana Gulpinar
Sinopsis Deskripsi [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] Calon bayi yang kami gadang-gadang akan meramaikan kehidupanku dan Sofia setelah penantian selama tujuh tahun lamanya. Tapi tidak kusangka, istriku itu bahkan tidak pernah hamil. Tapi anehnya perutnya membesar seperti orang hamil. Ia bahkan juga mengalami hal-hal seperti yang dialami oleh wanita hamil kebanyakan. Tapi hari ini, terasa seperti tersambar petir di siang bolong saat Dokter mengatakan bahwa rahim Sofia kosong. Istriku tidak pernah hamil! Benarkah? Ini tidak mungkin! Kemana sebenarnya raibnya kandungan istriku.

Bagikan Cerita ini :

Bab 1

 

“Arggghhh! Mas! Sakit, Mas!”

“Auhh! Maaasss!”

“Mas Adam!”

“Sakiitt!” teriak istriku dari dalam.

“Ya Allah, Sofia. Apakah sekarang waktunya?” Aku yang saat ini sedang mencuci pakaian di belakang rumah melempar begitu saja sepotong baju di tanganku.

“Mas! Aaahhh!” teriak Sofia lagi. Hatiku mulai khawatir. Segera mungkin kubilas tangan dengan air bersih dan segera menghampirinya.

“Ada apa, Dik? Sudah waktunya?” tanyaku cemas. Sungguh pertanyaan yang tidak berguna.

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku bergegas mengambil barang-barang keperluan melahirkan yang memang sudah disiapkan.

“Mas! Aku sudah nggak kuat. Rasanya sakit banget.” Wanita itu terus merintih. Keringat dingin mengucurkan deras di dahi dan pelipis. Bibirnya sedikit pucat, matanya begitu lelah. Dahinya berkerut, mungkin ia menahan sakit yang memang luar biasa.

“Sabar ya, Dik. Ayo mas bantu naik.” Kupapah tubuhnya masuk ke mobil.

Sofia masih terus berteriak kesakitan. Sementara aku sudah memacu mobil dengan kecepatan yang lumayan. Sesekali kuusap keringat yang mengucur di wajahnya menggunakan satu tangan.

“Mas, sakit banget. Ya Allah ….”

“Sabar, Dik. Bentar lagi sampai kok.” Kucoba untuk menenangkannya.

“Ya Allah, Mas ….”

“Iya, Dik. Sabar ….” Rasanya tidak tega melihatnya seperti itu. Ingin sekali memacu mobil dengan kecepatan tinggi, tapi aku takut membuatnya semakin kesakitan karena guncangan yang kuat. Maklum, karena jalanan menuju rumah sakit terdekat sedang mengalami perbaikan. Terpaksa melewati jalan alternatif yang masih terbuat dari bebatuan.

“Mas! Sakit ….” rengeknya lagi.

“Iya Sayang, kita udah sampai.”

Suster dengan cepat tanggap membantuku memindahkan tubuh Sofia dari mobil ke kursi roda. Setelahnya ia diangkat ke atas brankar, kemudian dibawa masuk ke dalam ruang khusus untuk melahirkan.

Aku setengah berlari mengikuti sembari terus menggenggam tangan Sofia.

Seorang dokter masuk dan langsung mengecek keadaan Sofia.

“Belum buka. Sepertinya masih harus menunggu. Belum ada tanda-tanda sama sekali.” Dokter mengutarakan keadaan Sofia.

“Tidak mungkin, Dok. Istri saya sudah sangat kesakitan. Bagaimana mungkin belum waktunya,” omelku tidak terima. Selain tidak tega melihat Sofia yang sangat kesakitan, aku juga sudah tidak sabar menanti kelahiran bayi yang sudah kami tunggu-tunggu selama tujuh tahun lamanya.

“Memang belum waktunya, Pak.”

“Tapi, Dok. Bagaimana bisa? Istri saya sudah sangat kesakitan begitu.”

“Sebentar, kami akan memeriksanya lebih lanjut.” Dokter itu meminta salah seorang suster untuk menyiapkan suatu alat.

“Alat itu, untuk apa Dok?” tanyaku penasaran.

“USG Pak. Kita harus mengecek bagaimana keadaan bayi di dalam rahim istri Bapak.”

“Tidak. Saya tidak mengijinkan istri saya melakukan USG. Tidak,” ucapku cepat.

“Maaf, Pak. Ini harus dilakukan. Jika tidak, kami tidak akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Khawatir, Ibu Sofia mendapatkan penanganan yang tidak tepat,” jelas Dokter itu sabar. Tapi tetap saja, aku tidak boleh mengijinkan mereka melakukan USG. Aku tidak mau mereka melihat bayiku.

Selama kehamilan Sofia, kami tidak pernah memeriksakannya ke Dokter. Kami bahkan merahasiakannya, karena itu adalah peraturan yang diberikan oleh orang punya yang kami datangi. Bahkan untuk kelahiran bayi yang ia kandung, mereka melarang kami meminta bantuan siapapun. Tapi aku sama sekali tidak tega melihat Sofia yang terus kesakitan.

“Jangan di-USG, Dok,” cegahku lagi.

“Tapi, Pak.”

“Mas, aku sudah nggak kuat. Rasanya sakit banget.” Sofia menitikkan setetes air mata di pipinya.

“Baiklah, Dok. Silahkan.”

Dokter itu bernapas lega setelah kuijinkan memeriksa Sofia dengan alat itu. Dalam hati aku hanya berharap, semoga tidak terjadi hal buruk pada Sofia dan bayi di rahimnya karena telah melanggar kesepakatan orang pintar.

“Astaghfirullah ….” Dokter itu terkejut menatapku.

“Ada apa, Dok? Bayi saya baik-baik saja kan?” tanyaku khawatir. Sementara Sofia hanya menatap datar.

“Ra-rahim istri Bapak kosong. Tidak ada bayi di dalamnya.” Dokter itu gemetar.

Sementara aku, rasanya sudah seperti disambar listrik saja. Mengejutkan.

“Tidak mungkin. Perut sebesar itu tidak mungkin kosong. Istriku hamil, mana mungkin rahimnya kosong,” protesku tidak terima.

“Alatnya pasti rusak!” tambahku lagi.

“Tidak, Pak. Alatnya masih bagus, tadi baru saja dipakai untuk mengecek pasien lain.”

“Tidak! Tidak mungkin. Rahimnya tidak mungkin kosong.”

‘Ya Tuhan, dimana bayiku ….’

Bersambung ….

Bab 2

Benarkah Sofia tidak pernah hamil? Rasanya masih sulit untuk kupercaya. Aku masih yakin pasti ada yang salah dengan hasil USG-nya.

“Adam.” Seseorang memanggilku. Aku yang tadinya mondar-mandir di koridor pun berhenti, dan menoleh ke asal suara.

“Maya, Amanda? Kalian ada di sini?” tanyaku heran. Pasalnya aku tidak sempat menghubungi siapapun saat membawa Sofia ke sini. Bahkan aku belum menghubungi siapapun karena masih terlalu kaget dengan pernyataan Dokter.

“Ah iya. Tadi aku dan Amanda datang ke rumah. Tapi kata satpam yang jaga, kalian pergi ke rumah sakit. Bagaimana Sofia? Bayinya juga? Laki-laki atau perempuan?” Kepalaku mengangguk, meski semakin pusing dengan pertanyaan Maya yang beruntun.

Maya adalah sahabat Sofia dari kecil, sementara di sampingnya adalah Amanda. Dia sahabatku sejak kecil, akan tetapi dia juga bersahabat dengan Sofia sejak masih jadi mahasiswa baru. Berkat Amanda pula aku bisa mengenal wanita sebaik dan secantik Sofia.

Dulu Amanda mengenalkanku pada Sofia dan Maya, di hari pertama aku langsung jatuh hati pada paras Sofia. Cinta itu semakin tumbuh saat mendapati perlakuannya yang lembut, serta baik. Aku sangat beruntung, karena bisa mendapatkan wanita yang jadi primadona kampus pada masanya.

“Hey, Adam. Kenapa diam saja?” Amanda menepuk bahuku pelan. Wanita itu tersenyum, cantik.

“Oh, eh. Maaf maaf. Sofia baik, meski tadi sempat histeris karena kesakitan. Sekarang dia sedang istirahat, dokter memberinya obat penenang,” jawabku sambil tertunduk lesu.

“Histeris? Tapi bayinya selamat, ‘kan?” Maya tak kalah histeris saat bertanya. “Eh, maaf. Aku terlalu bersemangat mendengar kabar Sofia melahirkan.” Wanita itu tersenyum sambil membekap mulutnya.

“Dia belum melahirkan.”

“Loh, bukannya usia kandungan Sofia sudah sembilan bulan?” Amanda menatapku penuh selidik.

“Entahlah. Harusnya memang sudah waktunya melahirkan. Tapi Dokter mengatakan ia belum waktunya. Bahkan saat dilakukan pemeriksaan USG, Dokter bilang kalau bayinya tidak ada. Yang artinya Sofia tidak pernah hamil,” jelasku.

“Mana mungkin? Perutnya membesar, dia bahkan juga bertingkah layaknya orang hamil. Aku tidak percaya. Ini aneh.” Maya menatapku, aku hanya mengangkat bahu heran.

“Aku juga tidak percaya. Aku yakin pasti ada yang salah dengan alat USG-nya. Alatnya pasti rusak,” kekeuh aku tidak terima. Nanti akan kubawa Sofia periksa ke dokter lain.

“Eh, bentar.” Amanda menarikku menjauh dari keramaian. Maya juga mengikuti.

“Ada apa? Kenapa membawaku ke sini?” tanyaku heran dengan sikapnya.

“Sofia hamil karena obat dari orang pintar yang kami rekomendasikan, ‘kan?” tanya Amanda.

“Iya. Lalu?”

“Bukannya nggak boleh dibawa ke rumah sakit ya? Bukankah harus melahirkan di dukun beranak. Itu salah satu syarat yang diwajibkan kan?” Maya menimpali.

“Kupikir hanya tidak boleh ikut prosedur pemeriksaan kandungan saja. Jadi saat melahirkan, kubawa ke rumah sakit. Karena aku mau Sofia dan calon anakku mendapatkan penanganan yang baik. Dengan fasilitas yang memadai.” Jujur saja aku memang menginginkan yang terbaik untuk Sofia.

“Aduh, Adam. Harusnya kamu ikutin semua peraturan yang ada.” Amanda memutar bola matanya.

“Yah mau gimana lagi. Jaman sekarang keberadaan dukun beranak juga sudah sangat langka. Aku harus bawa Sofia kemana lagi.” Inilah alasan lain kenapa aku nekat membawa Sofia ke sini.

“Kamu kan bisa tanya sama aku, Dam. Aku tau dimana kamu bisa dapat dukun beranak untuk menolong Sofia.” Maya terlihat sedikit kecewa. Mungkin ia cemas dengan keadaan sahabatnya.

“Baiklah. Setelah ini aku tidak akan membawanya ke Dokter lagi. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang. Sofia terus menerus kesakitan, jika dia bangun nanti aku takut dia akan histeris lagi.” Kuusap peluh di dahiku. Keadaan ini benar-benar membuat otakku jadi buntu.

“Kamu tenang aja dulu. Duduk deh, minum dulu.” Kuterima uluran air mineral botol dari tangan Amanda.

“Terima kasih.” Benar saja, hati dan otakku sedikit tenang setelah minum beberapa tegukan.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku setelah terdiam cukup lama.

“Bagaimana kalau kamu datangi lagi orang pintarnya. Siapa tau dia punya solusi untuk masalah yang kamu hadapi sekarang. Biar bagaimanapun kamu kan sudah melanggar peraturan yang ada.” Maya menyarankan.

Dia benar, aku harus datangi orang pintar itu. Dia harus menjelaskan kenapa hasil USG mengatakan bayi Sofia tidak ada. Memangnya apa yang dikandung oleh Sofia, apakah dia mengandung bayi gaib? Ada-ada saja.

“Ya udah, aku akan pergi ke rumah Ki Alam Surya sekarang juga. Tapi ….” belum sempat kuselesaikan kalimatku, Maya dan Amanda sudah memotongnya.

“Kami akan menjaga Sofia di sini. Cepat pergi, dan bawakan obat untuk sahabat kita.” Mereka berdua kompak mengangguk.

“Baiklah. Aku pergi dulu.”

“Semangat Adam. Jangan khawatirkan Sofia, dia akan aman bersama kami.”

Kuusap wajah kasar, sebelum akhirnya mengangguk dan pergi.

***

Jarak rumah sakit ke rumah Ki Alam Surya cukup jauh. Karena ia tinggal di kota seberang yang daerahnya masih penuh dengan hutan dan tanah kosong.

Hari sudah mulai gelap saat aku sampai di sana. Entah kenapa amarahku mendadak meluap-luap ketika sampai di depan pintu Ki Alam Surya.

“Assalamualaikum!” teriakku dari luar.

“Ki Alam Surya! Keluar kamu!” Teriakku sambil terus menggedor-gedor pintu rumahnya.

“Keluar!”

“Ki! Keluar!”

Tubuh gempal dan sedikit bungkuk. Rambut dan jenggot panjangnya sudah mulai beruban. Ada lingkaran hitam di sekitar mata, bibirnya juga hitam gelap. “Ada apa?” tanya suara itu garang.

“A-Anu Ki ….”

Bersambung ….

Bab 3

“Anu anu. Ada apa?” tanya pria di depanku dengan suara serak.

Kenapa dia yang marah? Harusnya aku yang marah, istriku hampir mati di rumah sakit karena ulahnya. Keterlaluan sekali orang pintar ini.

“Apa yang Ki Alam Surya lakukan pada istriku?” tanyaku dengan nada serendah mungkin. Tidak ingin membuat keributan dengan orang yang menurutku sedikit aneh ini. Kalau bukan karena Sofia, malas sekali aku datang lagi ke tempat ini.

“Apa maksudmu? Aku bahkan tidak bertemu dengan istrimu lagi sejak sepuluh bulan yang lalu.” Pria itu menggeleng. Eksresi wajahnya seolah sedang meledekku. Ingin sekali kutendang saja wajah menyebalkan itu.

“Kalau begitu, apa yang Aki lakukan padanya sepuluh bulan yang lalu? Aki bilang dia akan hamil, perutnya memang membesar seperti orang hamil. Tapi kenapa hasil USG mengatakan bahwa Sofia tidak pernah hamil. Jadi bayi apa yang dia kandung?” tanyaku geram. Ia bukannya takut, malah tertawa dengan keras.

Dia benar-benar aneh. Situasi segenting sekarang, bisa-bisanya dia tertawa.

“Siapa namamu?” tanyanya setelah puas terbahak-bahak.

“Aki nanya siapa namaku?” Aku semakin kesal dibuatnya.

“Iya. Siapa namamu? Kamu pikir aku akan ingat dengan semua client yang datang ke sini? Orang-orang yang datang ke sini itu sangat banyak. Aku tidak mungkin ingat semua namanya.” Ki Alam Surya memuntahkan sirih dari mulutnya tepat di depanku. Benar-benar tidak sopan.

“Adam. Namaku Adam,” jawabku sembari menahan mual akibat ulah Ki Alam Surya yang meludah sembarangan. Dia menjijikkan sekali.

“Adam … Adam. Ayo masuk.”

“Mau ngapain?”

“Masuk aja dulu. Lagian sebentar lagi gelap. Jangan berdiri di luar rumah. Pamali,” ucapnya sambil melangkah masuk.

Aku masih enggan masuk ke dalam sana. Alhasil aku hanya berdiri mematung di depan pintu. Pamali katanya? Aku bahkan tidak percaya dengan hal-hal aneh seperti itu.

“Hey. Ayo masuk!” seru pria itu kembali keluar.

“Hemmm.”

“Masuk, bukankah kamu ingin obat untuk istrimu?”

“Iya, Ki.”

“Kalau begitu masuklah. Aku akan memberikannya untukmu.”

***

Ini adalah kali kedua aku masuk ke dalam rumah Ki Alam Surya. Penampakannya sangat menyeramkan, itulah sebabnya aku enggan masuk ke rumah ini. Kalau bukan karena Sofia yang kritis, aku berjanji tidak akan datang ke tempat ini lagi.

“Mana obatnya Ki?” tanyaku tak sabar.

Pria itu baru saja keluar dari salah satu ruangan. Di tangannya ada sebuah kotak, ia melangkah ke arahku.

“Diam! Aku sudah menyiapkan obat ini sejak lama.”

“Sejak lama?” Aku semakin heran. Artinya dia tau apa-apa saja yang akan terjadi pada Sofia. Tapi kenapa dia tidak memberikannya langsung bersamaan dengan obat penyubur Sofia. Sepuluh bulan lalu.

Kenapa baru diberikan sekarang? Merepotkan saja.

“Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak memberikan ini pada saat pertama kalian datang? Karena aku tidak mau, ramuan ini tertukar dengan ramuan penyubur. Karena jika sampai tertukar, obatnya akan sangat fatal sekali.” Ki Alam Surya menjelaskan.

Dia seperti dukun saja. Selalu tau apa saja isi otakku.

“Baiklah Ki.” Aku mengalah. Tidak ingin banyak bertanya dan protes lagi. Biar bagaimanapun aku membutuhkan solusi dari orang aneh ini.

“Berikan ramuan ini pada istrimu. Setiap dia merasa kesakitan. Campurkan bubuk ramuan ini ke dalam minumannya.” Ki Alam Surya memberikan sekantong ramuan, berisi bungkusan-bungkusan kecil.

“Iya, Ki.”

“Dan ingat. Jangan pernah membawa istrimu ke rumah sakit. Bawa dia ke dukun beranak saja. Rumah sakit tidak akan mengerti dengan baik bagaimana kandungan istrimu. Karena kehamilannya tidak akan sama dengan kehamilan pada umumnya. Bayi yang ia kandung otu luar biasa, anugerah langsung dari Tuhan.” Aku tidak begitu mengerti dengan maksud ucapannya. Bukankah semua bayi itu anugerah?

Entahlah. Yang terpenting sekarang aku sudah dapat ramuannya, dan aku harus segera pergi dari tempat ini.

“Satu lagi, jangan kaget jika usia kandungan istrimu lebih lama. Itu wajar, karena memang begitu prosesnya. Dia hamil anak istimewa. Pelangganku ada yang pernah mengalami apa yang istrimu alami. Dan mereka baik-baik saja. Anaknya juga sehat dan pintar.”

“Baiklah Ki. Kalau begitu aku pergi dulu.

Langit benar-benar gelap sekarang. Aku harus melewati hutan yang cukup panjang untuk sampai ke kota tempat aku tinggal. Tanpa penerangan selain lampu mobil, juga jalan berbatu yang cukup mengerikan.

Setengah perjalanan. Tepatnya di tengah hutan, mobilku tiba-tiba berhenti dan macet. Sekilas alu melihat bayangan putih melintas di depan mobil.

Jantungku nyaris melompat dari tempatnya, wajahku kebas, dan seluruh tubuhku membeku.

“Haa! Mbak Kun!!!”

Bersambung ….

Bab 4

“Auhh … kenapa badanku sakit semua. Ngomong-ngomong aku ada di mana sekarang?” gumamku pelan.

Semalaman Aku terjebak di tengah hutan. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku terbangun. Saat itu aku sadar, bahwa semalaman aku tidur di mobil. Lebih tepatnya pingsan saat melihat bayangan putih melintas depan mobil.

Demi mengingat kejadian semalam, aku bergegas mengecek mobil. Ternyata tidak apa-apa.

“Tidak ada masalah. Tapi kenapa semalam tiba-tiba macet yaa. Duh, horor banget ini hutan.” Aku bergegas masuk, dan menyalakan mobil.

Ingin rasanya segera meluncur dengan kecepatan tinggi, sayang sekali. Kondisi jalan yang tidak memungkinkan membuatku terpaksa menyetir pelan dengan tubuh gemetar ketakutan.

***

Rumah sakit. Rasanya tempat ini tidak pernah lenggang. Dari saat aku pergi hingga kini kembali tempat ini tetap saja sesak dengan orang-orang berekspresi macam-macam.

Misalkan di pintu gerbang tadi, aku melihat segerombolan orang sedang tersenyum riang meninggalkan rumah sakit. Mungkin salah satu anggota keluarganya dinyatakan sembuh. Hingga mereka bisa bersama-sama lagi.

Tetapi ada juga yang menangis, meraung histeris, mungkin salah satu keluarga yang dirawat dinyatakan telah berpulang. Itu terbukti saat mobil pengantar jenazah berjalan beriringan dengan mobil mereka.

Aku menepikan perasaan haru dan sedih melihat semuanya. Karena hatiku sendiri sedang kalut. Kupercepat langkah menunju ke ruang tempat Sofia dirawat.

Di depan ruangan dapat kulihat Maya dan Amanda duduk bersandar ke dinding. Mereka berdua tampak lelah. Aku jadi merasa tidak enak, telah merepotkan keduanya.

“Adam! Akhirnya kamu ke sini juga. Gimana? Kamu baik-baik saja?” tanya Amanda cemas. Wanita itu mengecek setiap inci tubuhku dengan matanya, tak berselang ia bernapas lega setelah tau aku baik-baik saja.

“Aku baik. Bagaimana Sofia? Dia baik-baik saja?” tanyaku khawatir.

“Adam … Sofia belum sadar sampai sekarang,” jawab Maya. Amanda mengangguk membenarkan.

“Hufft. Kalian, sudah makan? Aku membeli dua bungkus nasi goreng, buat kalian yah.” Kusodorkan kantong plastik di tanganku. Amanda menerimanya dengan senyuman, hal itu membuatku sedikit lega.

“Maaf ya, cuma nasi goreng. Aku buru-buru sekali tadi,” tambahku merasa tak enak.

“Nasi goreng ini udah bagus banget loh, Dam. Kamu yang tenang ya. Jangan merasa sungkan sama kita, kami kan sahabat Sofia. Tentu kami ingin memberikan yang terbaik untuk dia.” Itu suara Maya. Sahabat masa kecil Sofia itu tersenyum menenangkan.

Aku bahagia, melihat istriku begitu beruntung mendapatkan dua sahabat seperti mereka.

“Ya udah, kalian makan yah. Aku masuk dulu, mau nemenin Sofia. Kasian dia sendirian di dalam.”

“Iya, Dam. Aku sama Maya sekalian mau pamit pulang yah. Mau istirahat. Nanti, kalau ada waktu, kami mampir ke sini lagi. Salam buat Sofia yah. Kita sayang sama dia.”

“Iya Manda. Hati-hati di jalan.”

“Oke. Baik-baik yah. Kita pulang dulu, bye ….”

***

Baru saja masuk ke ruang Sofia, aku merasakan hawa aneh menyelimuti ruangan itu. Mendekat, kuamati wajah ayu yang kini terlihat pucat. Wanita yang begitu sempurna di mataku terlihat tidak berdaya.

“Sofia, maafkan Mas ya Sayang. Kamu jadi tersiksa seperti ini, karena merasa tidak sempurna jika belum memiliki anak. Mas merasa gagal meyakinkan kamu, bahwa kamu lebih dari sempurna bagi Mas meski tanpa adanya seorang anak di antara kita.” Kugenggam tangannya erat. Berharap dia bisa merasakan kehadiranku di sisinya.

“Mas ….”

“Sofia ….” Mataku membulat. Ia tersadar. Alhamdulillah ya Allah ….

“Iya Dik. Gimana keadaan kamu? Udah ngerasa baikan?” tanyaku cemas.

Wanita itu diam. Ia memejamkan matanya, keningnya berkerut dalam.

“Kenapa Sayang?”

“Sakit, Mas?”

“Sakit, apanya yang sakit?”

“Perutnya sakit banget, Mas. Arghhh ….”

“Bentar ya, Dik. Kamu yang sabar yaa.” Kuraih gelas yang ada di samping ranjang. Kumasukkan ramuan pemberian Ki Alam Surya ke dalam air mineral yang disediakan pihak rumah sakit.

“Itu apa, Mas?” tanya Sofia di tengah erangannya.

“Ini adalah ramuan pemberian Ki Alam Surya. Dia meminta agar memberikan minuman ini ke kamus setiap kali kamu merasa sakit, Dik. Diminum yah.”

“Iya, Mas.”

“Sini Mas bantu.”

Ia meminum ramuan itu hingga tandas. Wajahnya berangsur cerah untuk beberapa saat, namun ia kembali mengerang kesakitan.

“Argghh. Makin sakit, Mas!”

“Sabar ya, Dik.” Aku mencoba menenangkannya. Ki Alam Surya mengatakan, efek sakitnya tidak akan lama. Ia akan tenang setelahnya.

Nyeri di ulu hati melihat ia kesakitan seperti itu. Apalagi erangan dia lebih hebat dari sebelumnya. Tapi tidak lama, dia kembali tenang dan terlelap. Pingsan.

“Sofia … sampai kapan kamu akan tersiksa seperti ini ….”

Bersambung ….

Bab 5

Keesokan harinya, Sofia benar-benar pulih. Ternyata Ki Alam Surya tidak berbohong. Wanita yang kucintai terlihat sangat segar pagi ini. Dokter pun mengijinkan kami pulang.

Kini kepercayaanku pada Ki Alam Surya kembali lagi setelah tadinya sempat menghilang.

“Mas, kita langsung pula hari ini? Atau kita akan mampir dulu ke suatu tempat?” tanya Sofia saat kami berjalan ke tempat parkir.

“Kamu mau kita mampir dulu? Mau ke mana?” tanyaku lembut. Akan kuturuti kemanapun dia mau, asalkan dia bisa sehat terus seperti sekarang.

“Enggak, sih. Siapa tau Mas pengen pergi. Aku ingin cepat pulang saja, istirahat.” Ia tersenyum. Sungguh aku sangat merindukan senyum indah itu.

“Ya udah, kita pulang. Mas akan temani kamu sampai kamu merasa bosan.”

“Bosan?”

“Iya.”

“Sofia nggak akan pernah bosan sama Mas.”

“Sungguh?”

“Iya dong.” Dia tertawa.

Aku ikut tertawa mendengar tawanya yang begitu renyah. Tawa yang selalu menjadi candu untukku. Sofia memang istriku yang begitu spesial.

“Adam! Sofia!” Teriakan cukup keras menghentikan tawa kami. Saat menoleh, kutemukan sosok Amanda bersama Maya melambai.

“Hai, kalian di sini?” sapaku dan Sofia nyaris bersamaan.

“Iya. Tadinya mau jengukin kamu, tapi kamunya malah mau pulang. Ya udah, syukhur deh. Aku ikut seneng liat kamu sudah sehat dan bisa senyum-senyum lagi. Aihhh bahagia banget. Peluk ….” Maya menghambur ke dalam pelukan Sofia. Dua sahabat itu berpelukan sebentar.

“Makasih ya, May. Kamu memang sahabat baik yang aku punya.” Istriku tersenyum. Ia jelas bahagia memiliki teman sebaik Maya.

“Sama-sama Sofia. Aku juga bahagia banget punya sahabat seperti kamu.”

“Ah, kamu. Selalu yang terbaik.”

“Ekhem! Kalian asik peluk-pelukan. Sayang-sayangan. Seolah dunia milik kalian berdua. Kalian lupa, kalau aku sahabat kalian juga?” Amanda tidak mau kalah. Alhasil ketiganya pun berpelukan.

Melihat pemandangan ini, aku sebagai laki-laki memilih untuk menyingkir dan memberi waktu untuk mereka bertiga saling melepas rindu.

Kuangkat semua perlengkapan milik Sofia dan memasukkannya ke mobil. Setelah semua selesai, pas sekali dengan mereka yang juga selesai melepas rindu dan bergurau.

“Oh iya, Sof. Kita nggak ikut kamu pulang ke rumah yah. Karena, kita lagi ada mau jalan-jalan ke luar. Mau ngajakkin kamu gabung, tapi kamu kan lagi sakit. Nggak apa-apa yah?”

“Nggak apa-apa May. Aku juga perlu banyak istirahat.”

“Kalau begitu, kami pergi dulu ya. Salam buat si Adam.”

“Iya. Kalian have fun yahh!”

Begitulah percakapan singkat mereka yang sempat aku dengar. Sofia beranjak masuk saat dua sahabatnya itu pergi.

***

“Mas, selama aku nggak sadarkan diri. Mas ngapain aja?” tanya Sofia lembut. Suaranya itu memecah keheningan yang ada di antara kami.

“Mas pergi ke rumah Ki Alam Surya.”

“Hah? Ngapain? Oh, ngambil ramuan yang Mas kasih ke aku kemarin?”

“Iya. Sekalian nanyain, kenapa hasil USG kamu dinyatakan tidak ada janinnya.”

“Nggak ada janinnya gimana, Mas? Maksudnya aku dikatakan tidak hamil. Begitu?” Wajah cerahnya mendadak murung.

“Iya, Dik. Tapi Mas yakin itu pasti ada yang salah dengan alatnya. Kamu jangan sedih yaa.”

“Tapi Mas. Gimana kalau itu bener?”

“Ya nggak mungkin dong, Dik. Kalau kamu nggak hamil. Mana mungkin perut kamu besar seperti sekarang? Oh iya, Ki Alam Surya juga bilang, kamu melahirkan di dukun beranak saja. Jangan di rumah sakit. Dia bilang, kamu sedang mengandung bayi yang luar biasa, Dik. Jadi kamu jangan khawatir ya.”

“Bayi spesial?”

“Iya. Udah, kamu nggak usah mikirin itu Dik. Yang penting sekarang kami jaga kesehatan, dan jangan stress yaa.” Kuusap rambutnya lembut. Ia mengangguk.

Sebenarnya aku masih merasa janggal dari kejadian demi kejadian. Tapi, demi menjaga agar Sofia tidak panik. Aku akan menyelidiki semuanya sendiri.

Tidak terasa, akhirnya kami sampai ke rumah. Dengan bantuan Pak Wardi-satpam rumah ini aku memasukkan semua barang-barang Sofia. Kemudian menuntun wanita itu masuk ke kamar.

“Mas ….”

“Iya Sayang?”

“Aku kok tiba-tiba pengen makan sesuatu.”

“Kamu ngidam? Mau makan apa? Biar Mas beliin di luar.”

“Rujak, sama bunga melati.”

“Bunga melati?” Keningku berkerut. Berharap hanya salah dengar.

“Iya Mas. Nggak boleh ya? Sofia pengen banget.”

“Emmm. Boleh kok boleh. Ya udah, kamu istirahat. Biar Mas pergi dulu, nyari apa yang kamu mau.”

“Bener Mas?”

“Iya Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu?”

“Makasih.” Ia memelukku manja.

‘Bunga melati? Ngidamnya aneh banget.’ batinku. Tapi mau tidak mau aku pun pergi untuk mendapatkannya.

‘Bunga melati?’ kuulang sekali lagi.

Bersambung ….

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RAHASIA BESAR DI RAHIM ISTRIKU

Esana Gulpinar

Bab 1

 

“Arggghhh! Mas! Sakit, Mas!”

“Auhh! Maaasss!”

“Mas Adam!”

“Sakiitt!” teriak istriku dari dalam.

“Ya Allah, Sofia. Apakah sekarang waktunya?” Aku yang saat ini sedang mencuci pakaian di belakang rumah melempar begitu saja sepotong baju di tanganku.

“Mas! Aaahhh!” teriak Sofia lagi. Hatiku mulai khawatir. Segera mungkin kubilas tangan dengan air bersih dan segera menghampirinya.

“Ada apa, Dik? Sudah waktunya?” tanyaku cemas. Sungguh pertanyaan yang tidak berguna.

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku bergegas mengambil barang-barang keperluan melahirkan yang memang sudah disiapkan.

“Mas! Aku sudah nggak kuat. Rasanya sakit banget.” Wanita itu terus merintih. Keringat dingin mengucurkan deras di dahi dan pelipis. Bibirnya sedikit pucat, matanya begitu lelah. Dahinya berkerut, mungkin ia menahan sakit yang memang luar biasa.

“Sabar ya, Dik. Ayo mas bantu naik.” Kupapah tubuhnya masuk ke mobil.

Sofia masih terus berteriak kesakitan. Sementara aku sudah memacu mobil dengan kecepatan yang lumayan. Sesekali kuusap keringat yang mengucur di wajahnya menggunakan satu tangan.

“Mas, sakit banget. Ya Allah ….”

“Sabar, Dik. Bentar lagi sampai kok.” Kucoba untuk menenangkannya.

“Ya Allah, Mas ….”

“Iya, Dik. Sabar ….” Rasanya tidak tega melihatnya seperti itu. Ingin sekali memacu mobil dengan kecepatan tinggi, tapi aku takut membuatnya semakin kesakitan karena guncangan yang kuat. Maklum, karena jalanan menuju rumah sakit terdekat sedang mengalami perbaikan. Terpaksa melewati jalan alternatif yang masih terbuat dari bebatuan.

“Mas! Sakit ….” rengeknya lagi.

“Iya Sayang, kita udah sampai.”

Suster dengan cepat tanggap membantuku memindahkan tubuh Sofia dari mobil ke kursi roda. Setelahnya ia diangkat ke atas brankar, kemudian dibawa masuk ke dalam ruang khusus untuk melahirkan.

Aku setengah berlari mengikuti sembari terus menggenggam tangan Sofia.

Seorang dokter masuk dan langsung mengecek keadaan Sofia.

“Belum buka. Sepertinya masih harus menunggu. Belum ada tanda-tanda sama sekali.” Dokter mengutarakan keadaan Sofia.

“Tidak mungkin, Dok. Istri saya sudah sangat kesakitan. Bagaimana mungkin belum waktunya,” omelku tidak terima. Selain tidak tega melihat Sofia yang sangat kesakitan, aku juga sudah tidak sabar menanti kelahiran bayi yang sudah kami tunggu-tunggu selama tujuh tahun lamanya.

“Memang belum waktunya, Pak.”

“Tapi, Dok. Bagaimana bisa? Istri saya sudah sangat kesakitan begitu.”

“Sebentar, kami akan memeriksanya lebih lanjut.” Dokter itu meminta salah seorang suster untuk menyiapkan suatu alat.

“Alat itu, untuk apa Dok?” tanyaku penasaran.

“USG Pak. Kita harus mengecek bagaimana keadaan bayi di dalam rahim istri Bapak.”

“Tidak. Saya tidak mengijinkan istri saya melakukan USG. Tidak,” ucapku cepat.

“Maaf, Pak. Ini harus dilakukan. Jika tidak, kami tidak akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Khawatir, Ibu Sofia mendapatkan penanganan yang tidak tepat,” jelas Dokter itu sabar. Tapi tetap saja, aku tidak boleh mengijinkan mereka melakukan USG. Aku tidak mau mereka melihat bayiku.

Selama kehamilan Sofia, kami tidak pernah memeriksakannya ke Dokter. Kami bahkan merahasiakannya, karena itu adalah peraturan yang diberikan oleh orang punya yang kami datangi. Bahkan untuk kelahiran bayi yang ia kandung, mereka melarang kami meminta bantuan siapapun. Tapi aku sama sekali tidak tega melihat Sofia yang terus kesakitan.

“Jangan di-USG, Dok,” cegahku lagi.

“Tapi, Pak.”

“Mas, aku sudah nggak kuat. Rasanya sakit banget.” Sofia menitikkan setetes air mata di pipinya.

“Baiklah, Dok. Silahkan.”

Dokter itu bernapas lega setelah kuijinkan memeriksa Sofia dengan alat itu. Dalam hati aku hanya berharap, semoga tidak terjadi hal buruk pada Sofia dan bayi di rahimnya karena telah melanggar kesepakatan orang pintar.

“Astaghfirullah ….” Dokter itu terkejut menatapku.

“Ada apa, Dok? Bayi saya baik-baik saja kan?” tanyaku khawatir. Sementara Sofia hanya menatap datar.

“Ra-rahim istri Bapak kosong. Tidak ada bayi di dalamnya.” Dokter itu gemetar.

Sementara aku, rasanya sudah seperti disambar listrik saja. Mengejutkan.

“Tidak mungkin. Perut sebesar itu tidak mungkin kosong. Istriku hamil, mana mungkin rahimnya kosong,” protesku tidak terima.

“Alatnya pasti rusak!” tambahku lagi.

“Tidak, Pak. Alatnya masih bagus, tadi baru saja dipakai untuk mengecek pasien lain.”

“Tidak! Tidak mungkin. Rahimnya tidak mungkin kosong.”

‘Ya Tuhan, dimana bayiku ….’

Bersambung ….

Bab 2

Benarkah Sofia tidak pernah hamil? Rasanya masih sulit untuk kupercaya. Aku masih yakin pasti ada yang salah dengan hasil USG-nya.

“Adam.” Seseorang memanggilku. Aku yang tadinya mondar-mandir di koridor pun berhenti, dan menoleh ke asal suara.

“Maya, Amanda? Kalian ada di sini?” tanyaku heran. Pasalnya aku tidak sempat menghubungi siapapun saat membawa Sofia ke sini. Bahkan aku belum menghubungi siapapun karena masih terlalu kaget dengan pernyataan Dokter.

“Ah iya. Tadi aku dan Amanda datang ke rumah. Tapi kata satpam yang jaga, kalian pergi ke rumah sakit. Bagaimana Sofia? Bayinya juga? Laki-laki atau perempuan?” Kepalaku mengangguk, meski semakin pusing dengan pertanyaan Maya yang beruntun.

Maya adalah sahabat Sofia dari kecil, sementara di sampingnya adalah Amanda. Dia sahabatku sejak kecil, akan tetapi dia juga bersahabat dengan Sofia sejak masih jadi mahasiswa baru. Berkat Amanda pula aku bisa mengenal wanita sebaik dan secantik Sofia.

Dulu Amanda mengenalkanku pada Sofia dan Maya, di hari pertama aku langsung jatuh hati pada paras Sofia. Cinta itu semakin tumbuh saat mendapati perlakuannya yang lembut, serta baik. Aku sangat beruntung, karena bisa mendapatkan wanita yang jadi primadona kampus pada masanya.

“Hey, Adam. Kenapa diam saja?” Amanda menepuk bahuku pelan. Wanita itu tersenyum, cantik.

“Oh, eh. Maaf maaf. Sofia baik, meski tadi sempat histeris karena kesakitan. Sekarang dia sedang istirahat, dokter memberinya obat penenang,” jawabku sambil tertunduk lesu.

“Histeris? Tapi bayinya selamat, ‘kan?” Maya tak kalah histeris saat bertanya. “Eh, maaf. Aku terlalu bersemangat mendengar kabar Sofia melahirkan.” Wanita itu tersenyum sambil membekap mulutnya.

“Dia belum melahirkan.”

“Loh, bukannya usia kandungan Sofia sudah sembilan bulan?” Amanda menatapku penuh selidik.

“Entahlah. Harusnya memang sudah waktunya melahirkan. Tapi Dokter mengatakan ia belum waktunya. Bahkan saat dilakukan pemeriksaan USG, Dokter bilang kalau bayinya tidak ada. Yang artinya Sofia tidak pernah hamil,” jelasku.

“Mana mungkin? Perutnya membesar, dia bahkan juga bertingkah layaknya orang hamil. Aku tidak percaya. Ini aneh.” Maya menatapku, aku hanya mengangkat bahu heran.

“Aku juga tidak percaya. Aku yakin pasti ada yang salah dengan alat USG-nya. Alatnya pasti rusak,” kekeuh aku tidak terima. Nanti akan kubawa Sofia periksa ke dokter lain.

“Eh, bentar.” Amanda menarikku menjauh dari keramaian. Maya juga mengikuti.

“Ada apa? Kenapa membawaku ke sini?” tanyaku heran dengan sikapnya.

“Sofia hamil karena obat dari orang pintar yang kami rekomendasikan, ‘kan?” tanya Amanda.

“Iya. Lalu?”

“Bukannya nggak boleh dibawa ke rumah sakit ya? Bukankah harus melahirkan di dukun beranak. Itu salah satu syarat yang diwajibkan kan?” Maya menimpali.

“Kupikir hanya tidak boleh ikut prosedur pemeriksaan kandungan saja. Jadi saat melahirkan, kubawa ke rumah sakit. Karena aku mau Sofia dan calon anakku mendapatkan penanganan yang baik. Dengan fasilitas yang memadai.” Jujur saja aku memang menginginkan yang terbaik untuk Sofia.

“Aduh, Adam. Harusnya kamu ikutin semua peraturan yang ada.” Amanda memutar bola matanya.

“Yah mau gimana lagi. Jaman sekarang keberadaan dukun beranak juga sudah sangat langka. Aku harus bawa Sofia kemana lagi.” Inilah alasan lain kenapa aku nekat membawa Sofia ke sini.

“Kamu kan bisa tanya sama aku, Dam. Aku tau dimana kamu bisa dapat dukun beranak untuk menolong Sofia.” Maya terlihat sedikit kecewa. Mungkin ia cemas dengan keadaan sahabatnya.

“Baiklah. Setelah ini aku tidak akan membawanya ke Dokter lagi. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang. Sofia terus menerus kesakitan, jika dia bangun nanti aku takut dia akan histeris lagi.” Kuusap peluh di dahiku. Keadaan ini benar-benar membuat otakku jadi buntu.

“Kamu tenang aja dulu. Duduk deh, minum dulu.” Kuterima uluran air mineral botol dari tangan Amanda.

“Terima kasih.” Benar saja, hati dan otakku sedikit tenang setelah minum beberapa tegukan.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku setelah terdiam cukup lama.

“Bagaimana kalau kamu datangi lagi orang pintarnya. Siapa tau dia punya solusi untuk masalah yang kamu hadapi sekarang. Biar bagaimanapun kamu kan sudah melanggar peraturan yang ada.” Maya menyarankan.

Dia benar, aku harus datangi orang pintar itu. Dia harus menjelaskan kenapa hasil USG mengatakan bayi Sofia tidak ada. Memangnya apa yang dikandung oleh Sofia, apakah dia mengandung bayi gaib? Ada-ada saja.

“Ya udah, aku akan pergi ke rumah Ki Alam Surya sekarang juga. Tapi ….” belum sempat kuselesaikan kalimatku, Maya dan Amanda sudah memotongnya.

“Kami akan menjaga Sofia di sini. Cepat pergi, dan bawakan obat untuk sahabat kita.” Mereka berdua kompak mengangguk.

“Baiklah. Aku pergi dulu.”

“Semangat Adam. Jangan khawatirkan Sofia, dia akan aman bersama kami.”

Kuusap wajah kasar, sebelum akhirnya mengangguk dan pergi.

***

Jarak rumah sakit ke rumah Ki Alam Surya cukup jauh. Karena ia tinggal di kota seberang yang daerahnya masih penuh dengan hutan dan tanah kosong.

Hari sudah mulai gelap saat aku sampai di sana. Entah kenapa amarahku mendadak meluap-luap ketika sampai di depan pintu Ki Alam Surya.

“Assalamualaikum!” teriakku dari luar.

“Ki Alam Surya! Keluar kamu!” Teriakku sambil terus menggedor-gedor pintu rumahnya.

“Keluar!”

“Ki! Keluar!”

Tubuh gempal dan sedikit bungkuk. Rambut dan jenggot panjangnya sudah mulai beruban. Ada lingkaran hitam di sekitar mata, bibirnya juga hitam gelap. “Ada apa?” tanya suara itu garang.

“A-Anu Ki ….”

Bersambung ….

Bab 3

“Anu anu. Ada apa?” tanya pria di depanku dengan suara serak.

Kenapa dia yang marah? Harusnya aku yang marah, istriku hampir mati di rumah sakit karena ulahnya. Keterlaluan sekali orang pintar ini.

“Apa yang Ki Alam Surya lakukan pada istriku?” tanyaku dengan nada serendah mungkin. Tidak ingin membuat keributan dengan orang yang menurutku sedikit aneh ini. Kalau bukan karena Sofia, malas sekali aku datang lagi ke tempat ini.

“Apa maksudmu? Aku bahkan tidak bertemu dengan istrimu lagi sejak sepuluh bulan yang lalu.” Pria itu menggeleng. Eksresi wajahnya seolah sedang meledekku. Ingin sekali kutendang saja wajah menyebalkan itu.

“Kalau begitu, apa yang Aki lakukan padanya sepuluh bulan yang lalu? Aki bilang dia akan hamil, perutnya memang membesar seperti orang hamil. Tapi kenapa hasil USG mengatakan bahwa Sofia tidak pernah hamil. Jadi bayi apa yang dia kandung?” tanyaku geram. Ia bukannya takut, malah tertawa dengan keras.

Dia benar-benar aneh. Situasi segenting sekarang, bisa-bisanya dia tertawa.

“Siapa namamu?” tanyanya setelah puas terbahak-bahak.

“Aki nanya siapa namaku?” Aku semakin kesal dibuatnya.

“Iya. Siapa namamu? Kamu pikir aku akan ingat dengan semua client yang datang ke sini? Orang-orang yang datang ke sini itu sangat banyak. Aku tidak mungkin ingat semua namanya.” Ki Alam Surya memuntahkan sirih dari mulutnya tepat di depanku. Benar-benar tidak sopan.

“Adam. Namaku Adam,” jawabku sembari menahan mual akibat ulah Ki Alam Surya yang meludah sembarangan. Dia menjijikkan sekali.

“Adam … Adam. Ayo masuk.”

“Mau ngapain?”

“Masuk aja dulu. Lagian sebentar lagi gelap. Jangan berdiri di luar rumah. Pamali,” ucapnya sambil melangkah masuk.

Aku masih enggan masuk ke dalam sana. Alhasil aku hanya berdiri mematung di depan pintu. Pamali katanya? Aku bahkan tidak percaya dengan hal-hal aneh seperti itu.

“Hey. Ayo masuk!” seru pria itu kembali keluar.

“Hemmm.”

“Masuk, bukankah kamu ingin obat untuk istrimu?”

“Iya, Ki.”

“Kalau begitu masuklah. Aku akan memberikannya untukmu.”

***

Ini adalah kali kedua aku masuk ke dalam rumah Ki Alam Surya. Penampakannya sangat menyeramkan, itulah sebabnya aku enggan masuk ke rumah ini. Kalau bukan karena Sofia yang kritis, aku berjanji tidak akan datang ke tempat ini lagi.

“Mana obatnya Ki?” tanyaku tak sabar.

Pria itu baru saja keluar dari salah satu ruangan. Di tangannya ada sebuah kotak, ia melangkah ke arahku.

“Diam! Aku sudah menyiapkan obat ini sejak lama.”

“Sejak lama?” Aku semakin heran. Artinya dia tau apa-apa saja yang akan terjadi pada Sofia. Tapi kenapa dia tidak memberikannya langsung bersamaan dengan obat penyubur Sofia. Sepuluh bulan lalu.

Kenapa baru diberikan sekarang? Merepotkan saja.

“Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak memberikan ini pada saat pertama kalian datang? Karena aku tidak mau, ramuan ini tertukar dengan ramuan penyubur. Karena jika sampai tertukar, obatnya akan sangat fatal sekali.” Ki Alam Surya menjelaskan.

Dia seperti dukun saja. Selalu tau apa saja isi otakku.

“Baiklah Ki.” Aku mengalah. Tidak ingin banyak bertanya dan protes lagi. Biar bagaimanapun aku membutuhkan solusi dari orang aneh ini.

“Berikan ramuan ini pada istrimu. Setiap dia merasa kesakitan. Campurkan bubuk ramuan ini ke dalam minumannya.” Ki Alam Surya memberikan sekantong ramuan, berisi bungkusan-bungkusan kecil.

“Iya, Ki.”

“Dan ingat. Jangan pernah membawa istrimu ke rumah sakit. Bawa dia ke dukun beranak saja. Rumah sakit tidak akan mengerti dengan baik bagaimana kandungan istrimu. Karena kehamilannya tidak akan sama dengan kehamilan pada umumnya. Bayi yang ia kandung otu luar biasa, anugerah langsung dari Tuhan.” Aku tidak begitu mengerti dengan maksud ucapannya. Bukankah semua bayi itu anugerah?

Entahlah. Yang terpenting sekarang aku sudah dapat ramuannya, dan aku harus segera pergi dari tempat ini.

“Satu lagi, jangan kaget jika usia kandungan istrimu lebih lama. Itu wajar, karena memang begitu prosesnya. Dia hamil anak istimewa. Pelangganku ada yang pernah mengalami apa yang istrimu alami. Dan mereka baik-baik saja. Anaknya juga sehat dan pintar.”

“Baiklah Ki. Kalau begitu aku pergi dulu.

Langit benar-benar gelap sekarang. Aku harus melewati hutan yang cukup panjang untuk sampai ke kota tempat aku tinggal. Tanpa penerangan selain lampu mobil, juga jalan berbatu yang cukup mengerikan.

Setengah perjalanan. Tepatnya di tengah hutan, mobilku tiba-tiba berhenti dan macet. Sekilas alu melihat bayangan putih melintas di depan mobil.

Jantungku nyaris melompat dari tempatnya, wajahku kebas, dan seluruh tubuhku membeku.

“Haa! Mbak Kun!!!”

Bersambung ….

Bab 4

“Auhh … kenapa badanku sakit semua. Ngomong-ngomong aku ada di mana sekarang?” gumamku pelan.

Semalaman Aku terjebak di tengah hutan. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku terbangun. Saat itu aku sadar, bahwa semalaman aku tidur di mobil. Lebih tepatnya pingsan saat melihat bayangan putih melintas depan mobil.

Demi mengingat kejadian semalam, aku bergegas mengecek mobil. Ternyata tidak apa-apa.

“Tidak ada masalah. Tapi kenapa semalam tiba-tiba macet yaa. Duh, horor banget ini hutan.” Aku bergegas masuk, dan menyalakan mobil.

Ingin rasanya segera meluncur dengan kecepatan tinggi, sayang sekali. Kondisi jalan yang tidak memungkinkan membuatku terpaksa menyetir pelan dengan tubuh gemetar ketakutan.

***

Rumah sakit. Rasanya tempat ini tidak pernah lenggang. Dari saat aku pergi hingga kini kembali tempat ini tetap saja sesak dengan orang-orang berekspresi macam-macam.

Misalkan di pintu gerbang tadi, aku melihat segerombolan orang sedang tersenyum riang meninggalkan rumah sakit. Mungkin salah satu anggota keluarganya dinyatakan sembuh. Hingga mereka bisa bersama-sama lagi.

Tetapi ada juga yang menangis, meraung histeris, mungkin salah satu keluarga yang dirawat dinyatakan telah berpulang. Itu terbukti saat mobil pengantar jenazah berjalan beriringan dengan mobil mereka.

Aku menepikan perasaan haru dan sedih melihat semuanya. Karena hatiku sendiri sedang kalut. Kupercepat langkah menunju ke ruang tempat Sofia dirawat.

Di depan ruangan dapat kulihat Maya dan Amanda duduk bersandar ke dinding. Mereka berdua tampak lelah. Aku jadi merasa tidak enak, telah merepotkan keduanya.

“Adam! Akhirnya kamu ke sini juga. Gimana? Kamu baik-baik saja?” tanya Amanda cemas. Wanita itu mengecek setiap inci tubuhku dengan matanya, tak berselang ia bernapas lega setelah tau aku baik-baik saja.

“Aku baik. Bagaimana Sofia? Dia baik-baik saja?” tanyaku khawatir.

“Adam … Sofia belum sadar sampai sekarang,” jawab Maya. Amanda mengangguk membenarkan.

“Hufft. Kalian, sudah makan? Aku membeli dua bungkus nasi goreng, buat kalian yah.” Kusodorkan kantong plastik di tanganku. Amanda menerimanya dengan senyuman, hal itu membuatku sedikit lega.

“Maaf ya, cuma nasi goreng. Aku buru-buru sekali tadi,” tambahku merasa tak enak.

“Nasi goreng ini udah bagus banget loh, Dam. Kamu yang tenang ya. Jangan merasa sungkan sama kita, kami kan sahabat Sofia. Tentu kami ingin memberikan yang terbaik untuk dia.” Itu suara Maya. Sahabat masa kecil Sofia itu tersenyum menenangkan.

Aku bahagia, melihat istriku begitu beruntung mendapatkan dua sahabat seperti mereka.

“Ya udah, kalian makan yah. Aku masuk dulu, mau nemenin Sofia. Kasian dia sendirian di dalam.”

“Iya, Dam. Aku sama Maya sekalian mau pamit pulang yah. Mau istirahat. Nanti, kalau ada waktu, kami mampir ke sini lagi. Salam buat Sofia yah. Kita sayang sama dia.”

“Iya Manda. Hati-hati di jalan.”

“Oke. Baik-baik yah. Kita pulang dulu, bye ….”

***

Baru saja masuk ke ruang Sofia, aku merasakan hawa aneh menyelimuti ruangan itu. Mendekat, kuamati wajah ayu yang kini terlihat pucat. Wanita yang begitu sempurna di mataku terlihat tidak berdaya.

“Sofia, maafkan Mas ya Sayang. Kamu jadi tersiksa seperti ini, karena merasa tidak sempurna jika belum memiliki anak. Mas merasa gagal meyakinkan kamu, bahwa kamu lebih dari sempurna bagi Mas meski tanpa adanya seorang anak di antara kita.” Kugenggam tangannya erat. Berharap dia bisa merasakan kehadiranku di sisinya.

“Mas ….”

“Sofia ….” Mataku membulat. Ia tersadar. Alhamdulillah ya Allah ….

“Iya Dik. Gimana keadaan kamu? Udah ngerasa baikan?” tanyaku cemas.

Wanita itu diam. Ia memejamkan matanya, keningnya berkerut dalam.

“Kenapa Sayang?”

“Sakit, Mas?”

“Sakit, apanya yang sakit?”

“Perutnya sakit banget, Mas. Arghhh ….”

“Bentar ya, Dik. Kamu yang sabar yaa.” Kuraih gelas yang ada di samping ranjang. Kumasukkan ramuan pemberian Ki Alam Surya ke dalam air mineral yang disediakan pihak rumah sakit.

“Itu apa, Mas?” tanya Sofia di tengah erangannya.

“Ini adalah ramuan pemberian Ki Alam Surya. Dia meminta agar memberikan minuman ini ke kamus setiap kali kamu merasa sakit, Dik. Diminum yah.”

“Iya, Mas.”

“Sini Mas bantu.”

Ia meminum ramuan itu hingga tandas. Wajahnya berangsur cerah untuk beberapa saat, namun ia kembali mengerang kesakitan.

“Argghh. Makin sakit, Mas!”

“Sabar ya, Dik.” Aku mencoba menenangkannya. Ki Alam Surya mengatakan, efek sakitnya tidak akan lama. Ia akan tenang setelahnya.

Nyeri di ulu hati melihat ia kesakitan seperti itu. Apalagi erangan dia lebih hebat dari sebelumnya. Tapi tidak lama, dia kembali tenang dan terlelap. Pingsan.

“Sofia … sampai kapan kamu akan tersiksa seperti ini ….”

Bersambung ….

Bab 5

Keesokan harinya, Sofia benar-benar pulih. Ternyata Ki Alam Surya tidak berbohong. Wanita yang kucintai terlihat sangat segar pagi ini. Dokter pun mengijinkan kami pulang.

Kini kepercayaanku pada Ki Alam Surya kembali lagi setelah tadinya sempat menghilang.

“Mas, kita langsung pula hari ini? Atau kita akan mampir dulu ke suatu tempat?” tanya Sofia saat kami berjalan ke tempat parkir.

“Kamu mau kita mampir dulu? Mau ke mana?” tanyaku lembut. Akan kuturuti kemanapun dia mau, asalkan dia bisa sehat terus seperti sekarang.

“Enggak, sih. Siapa tau Mas pengen pergi. Aku ingin cepat pulang saja, istirahat.” Ia tersenyum. Sungguh aku sangat merindukan senyum indah itu.

“Ya udah, kita pulang. Mas akan temani kamu sampai kamu merasa bosan.”

“Bosan?”

“Iya.”

“Sofia nggak akan pernah bosan sama Mas.”

“Sungguh?”

“Iya dong.” Dia tertawa.

Aku ikut tertawa mendengar tawanya yang begitu renyah. Tawa yang selalu menjadi candu untukku. Sofia memang istriku yang begitu spesial.

“Adam! Sofia!” Teriakan cukup keras menghentikan tawa kami. Saat menoleh, kutemukan sosok Amanda bersama Maya melambai.

“Hai, kalian di sini?” sapaku dan Sofia nyaris bersamaan.

“Iya. Tadinya mau jengukin kamu, tapi kamunya malah mau pulang. Ya udah, syukhur deh. Aku ikut seneng liat kamu sudah sehat dan bisa senyum-senyum lagi. Aihhh bahagia banget. Peluk ….” Maya menghambur ke dalam pelukan Sofia. Dua sahabat itu berpelukan sebentar.

“Makasih ya, May. Kamu memang sahabat baik yang aku punya.” Istriku tersenyum. Ia jelas bahagia memiliki teman sebaik Maya.

“Sama-sama Sofia. Aku juga bahagia banget punya sahabat seperti kamu.”

“Ah, kamu. Selalu yang terbaik.”

“Ekhem! Kalian asik peluk-pelukan. Sayang-sayangan. Seolah dunia milik kalian berdua. Kalian lupa, kalau aku sahabat kalian juga?” Amanda tidak mau kalah. Alhasil ketiganya pun berpelukan.

Melihat pemandangan ini, aku sebagai laki-laki memilih untuk menyingkir dan memberi waktu untuk mereka bertiga saling melepas rindu.

Kuangkat semua perlengkapan milik Sofia dan memasukkannya ke mobil. Setelah semua selesai, pas sekali dengan mereka yang juga selesai melepas rindu dan bergurau.

“Oh iya, Sof. Kita nggak ikut kamu pulang ke rumah yah. Karena, kita lagi ada mau jalan-jalan ke luar. Mau ngajakkin kamu gabung, tapi kamu kan lagi sakit. Nggak apa-apa yah?”

“Nggak apa-apa May. Aku juga perlu banyak istirahat.”

“Kalau begitu, kami pergi dulu ya. Salam buat si Adam.”

“Iya. Kalian have fun yahh!”

Begitulah percakapan singkat mereka yang sempat aku dengar. Sofia beranjak masuk saat dua sahabatnya itu pergi.

***

“Mas, selama aku nggak sadarkan diri. Mas ngapain aja?” tanya Sofia lembut. Suaranya itu memecah keheningan yang ada di antara kami.

“Mas pergi ke rumah Ki Alam Surya.”

“Hah? Ngapain? Oh, ngambil ramuan yang Mas kasih ke aku kemarin?”

“Iya. Sekalian nanyain, kenapa hasil USG kamu dinyatakan tidak ada janinnya.”

“Nggak ada janinnya gimana, Mas? Maksudnya aku dikatakan tidak hamil. Begitu?” Wajah cerahnya mendadak murung.

“Iya, Dik. Tapi Mas yakin itu pasti ada yang salah dengan alatnya. Kamu jangan sedih yaa.”

“Tapi Mas. Gimana kalau itu bener?”

“Ya nggak mungkin dong, Dik. Kalau kamu nggak hamil. Mana mungkin perut kamu besar seperti sekarang? Oh iya, Ki Alam Surya juga bilang, kamu melahirkan di dukun beranak saja. Jangan di rumah sakit. Dia bilang, kamu sedang mengandung bayi yang luar biasa, Dik. Jadi kamu jangan khawatir ya.”

“Bayi spesial?”

“Iya. Udah, kamu nggak usah mikirin itu Dik. Yang penting sekarang kami jaga kesehatan, dan jangan stress yaa.” Kuusap rambutnya lembut. Ia mengangguk.

Sebenarnya aku masih merasa janggal dari kejadian demi kejadian. Tapi, demi menjaga agar Sofia tidak panik. Aku akan menyelidiki semuanya sendiri.

Tidak terasa, akhirnya kami sampai ke rumah. Dengan bantuan Pak Wardi-satpam rumah ini aku memasukkan semua barang-barang Sofia. Kemudian menuntun wanita itu masuk ke kamar.

“Mas ….”

“Iya Sayang?”

“Aku kok tiba-tiba pengen makan sesuatu.”

“Kamu ngidam? Mau makan apa? Biar Mas beliin di luar.”

“Rujak, sama bunga melati.”

“Bunga melati?” Keningku berkerut. Berharap hanya salah dengar.

“Iya Mas. Nggak boleh ya? Sofia pengen banget.”

“Emmm. Boleh kok boleh. Ya udah, kamu istirahat. Biar Mas pergi dulu, nyari apa yang kamu mau.”

“Bener Mas?”

“Iya Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu?”

“Makasih.” Ia memelukku manja.

‘Bunga melati? Ngidamnya aneh banget.’ batinku. Tapi mau tidak mau aku pun pergi untuk mendapatkannya.

‘Bunga melati?’ kuulang sekali lagi.

Bersambung ….

Tertarik Dengan Buku : RAHASIA BESAR DI RAHIM ISTRIKU ?

RAHASIA BESAR DI RAHIM ISTRIKU

Esana Gulpinar