Gembel Metropolitan

[Playing Victim]

 

“Sudah bangkrut aja masih gaya! Ngapain minum kopi segala. Nggak tahu diri banget. Kerjaan bisanya cuma ngabisin duit suami doang!”

Pagi-pagi telinga sudah dibakar dengan perkataan pedas adik iparku. Hanya karena aku duduk sambil menikmati secangkir kopi sebagai pembuka pagi.

Ia tidak melihat, pagi tadi aku sudah mencuci setumpuk pakaian kotor miliknya dan suaminya yang tukang korupsi itu. Belum lagi cucian piring yang menggunung. Dia pikir aku ini babunya apa.

“Mas Zain aja nggak masalah. Kenapa kamu yang sewot?” jawabku ketus. Enak saja dia bilang aku ini kerjanya ngabisin duit suami doang. Nggak ngaca kalau dia itu parasit dalam rumah tangga kami.

“Gimana nggak sewot. Pagi-pagi bukannya bikin sarapan, malah ongkang-ongkang kaki sambil minum kopi. Enak sekali hidupmu. Berasa jadi ratu ya di rumah ini?” Perkataan Mita semakin pedas. Nggak sadar apa kalau perusahaanku hampir bangkrut karena ulah suaminya.

“Ada apa pagi-pagi ribut?” Indra sang suami Ibu ratu akhirnya datang juga. Pagi ini akan ada drama khas micin di depanku.

“Sayang, di meja makan kok nggak ada makanan? Mas udah laper ini … bentar lagi mau ngelamar kerja,” ucapnya manja sembari mengusap-usap perutnya yang lebih mirip ikan buntal. Buncitnya ngalahin emak-emak hamil sembilan bulan. Aku sampai jijik mendengarnya. Belum lagi tingkahnya, bikin perutku mual saja.

Dua parasit nggak tahu diri memang cocok sekali. Pantas saja mereka berjodoh. Bukannya jodoh itu cerminan diri?

“Lihat aja, Kakak iparmu itu. Kerjanya ongkang-ongkang kaki doang. Biasanya, ‘kan Mbok Nah yang masak. Sekarang kalau dia bangkrut, harusnya dia dong yang masak.” Bibir tebal bergincu merah itu mencibir.

“Enak saja. Ya kamu lah yang masak! Kamu sendiri, ‘kan yang bilang kalau wanita itu kerjanya di kasur, sumur, dan dapur! Sekarang buktiin, dong! Jangan ngomong doang. Atau, jangan-jangan kamu ini bukan wanita, ya?” Aku membalas cibirannya tidak kalah sengit.

Wajahnya langsung berubah merah padam. Kemudian pergi entah mau kemana. Suaminya yang sama-sama nggak jelas itu mengikutinya.

‘Bodo Amat! Kalau perlu pergi yang jauh dari rumah ini.’

Dulu saat aku masih kerja, ia selalu berkata seperti itu padaku. Memakiku habis-habisan saat mengangkat Mbok Nah sebagai pembantu. Kini aku berhentikan Mbok Minah dari rumah ini, dan memindahkannya di rumahku sendiri.

Kupikir setelah tidak ada Mbok Nah ia akan sadar. Setidaknya nggak cuma tidur di kamar, dan mengandalkan uang hasil korupsi suaminya itu.

Nyatanya dia masih saja nggak berubah. Malah memperlakukanku seperti babunya. Sedangkan Ia sibuk nongkrong di mal-mal bersama teman sosialitanya yang nggak jelas itu.

“Adel! Mana makanannya!”

Kuputar bola mata kesal. Kupikir tadi ia sudah enyah entah kemana. Eh, ternyata balik lagi. Kompak pula sama suaminya.

“Iya, mana makanannya! Bukannya tadi kami sudah suruh kamu masak?” timpal Indra.

Lagi-lagi aku hanya memutar bola mata. Bersikap seolah tidak mendengar suara apapun. Biarkan saja anjing terus menggonggong karena kelaparan.

“Adel Zain Atharya. Cepat masak untuk sarapan. Kamu kan sudah nggak kerja, nggak ngurus perusahaan pula. Jangan enak-enakan doang. Mas Indra sudah hampir telat. Nanti dia batal dapat kerjaan!”

“Kamu, ‘kan istrinya. Ngapain nyuruh aku.”

“Kalau kamu nggak mau, aku aduin sama Mas Zain. Lagian kamu tahu sendiri, aku lagi ngurusin Safina. Ia juga hampir telat pergi ke sekolah. Kamu yang ngerti dong sama aku.”

Wuih. Dramatis sekali nada bicaranya. Seolah-olah di sini aku yang salah. Rupanya ia mencoba playing victim denganku. Maaf sayang, kamu bukan tandinganku.

“Aku nggak ngerti sama kamu? Jangan memutar balikkan fakta ya. Setiap hari ker ….”

“Adel Zain Atharya. Bersikap baik sama adik saya. Atau saya ceraikan kamu.” Suara yang sangat familiar kudengar dari ponsel dalam genggaman Indra.

Deg!

“Tapi Mas. Mereka yang ….”

“Kamu jangan mau menang sendiri Adel. Adik iparmu sudah mencuci pakain milikmu juga, ia mengurus suami dan anaknya. Saya, ‘kan lagi nggak di rumah. Harusnya kamu bisa dong, kalau hanya masak doang.”

Apa aku nggak salah dengar. Mita mencucikan baju bajuku? Dia dan Indra memang keterlaluan.

Berani sekali mereka mengadu dombaku dan Mas Zain. Pasti sudah sejak tadi panggilan itu mereka lakukan. Jadi, mereka keluar untuk mengadu sama Mas Zain. Kurang asem, tunggu saja pembalasanku.

Aku bukan wanita bodoh seperti yang mereka kira. Apalagi miskin dan ketergantungan.

Kalian tunggu saja tanggal mainnya.

***

Bersambung ….