Napas Terakhir di Bosphorus

Esana Gulpinar
Sinopsis Kisah inspiratif dari seorang gadis cilik bernama Sarah. Bagaimana perjuangan dan pertemuannya dengan orang-orang hebat di matanya. Gadis kecil yang akhirnya bisa tersenyum setelah sekian penderitaan yang ia lalui. Senyum yang menjadi akhir dari segala bentuk luka yang ia hadapi selama ini.

Bagikan Cerita ini :

Terima kasih telah bersedia membaca tulisan ini. Semoga ada hikmah dari kisah singkat seorang Sarah. Selamat membaca, jangan lupa follow dan subscribe yaa ….

Bab 1

Harusnya saat ini ia bemain, sama seperti anak kebanyakan. Tapi saat anak-anak seusianya sedang sibuk bermain, ia justru sibuk mengais sampah demi sampah di sepanjang jalan.
“Makan cepat-cepat! Habis itu bantuin orangtua.”
“Jangan malas-malasan. Kamu itu anak orang susah! Jangan bersikap seolah kamu anak orang kaya.”
Sarah mempercepat makannya. Setelah sepiring nasi, dan tempe goreng serta, sambal masakan ibunya masuk ke dalam perut. Sarah langsung menyambar karung yang biasa ia pakai, dan menggandeng tangan adiknya yang masih kecil.
Sebelum pergi, gadis usia sepuluh tahun itu melangkah hati-hati mendekati Bapaknya.
“Pak, mau cium tangan.”
“Gak usah. Tangan bapak kotor, langsung pergi saja sana.” Wajah bapaknya seperti menahan marah.
Sarah berlalu, mengabaikan sesak atas penolakan dari sang bapak. Kaki mungil, tanpa alas kaki menelusuri jalanan beraspal. Seketika rasa panas menjalar ke telapak kakinya. Sarah memang tidak memilikinya, satu-satunya alas kaki beda warna yang ia miliki, putus satu minggu yang lalu. Orangtuanya tak mampu membelikan yang baru.
“Kakak … kita mau kemana?”
“Cari barang bekas, Dik.”
“Yee! Kita jalan-jalan ya?”
Adiknya yang belum mengerti apa-apa, justru bersorak girang. Sarah hanya mengangguk agar adiknya bahagia. Jika ia jelaskan sekalipun, adiknya tak akan mengerti, dan menganggap pekerjaan ini sebagai perjalanan yang menyenangkan.
“Kak … mau minum.” Nissa hampir menangis.
“Nanti ya, Dik. Kita kumpulin ini dulu, biar dapat uang banyak. Terus, kita beli es di dekat pasar. Kamu mau, kan?”
“Mau mau mau!”
“Ya udah, kalau begitu jangan nangis ya.” Sarah sadar ucapannya hanya penenang belaka.
Si mungil itu kehausan. Sarah merasa iba pada adiknya, tapi apalah daya uang yang ia punya hanya lima ratus rupiah. Sedang ia tahu harga es paling murah adalah dua ribu. Ia sendiri juga merasa haus. Akibat buru-buru, ia sampai lupa minum setelah makan.
Ia abaikan kerongkongan yang kering kerontang. Tangannya mulai memilah-milah sampah, di tong depan toko paling ramai di kampungnya. Diambil botol, kaleng, kertas, juga apapun yang bisa di jual.
Saat itu, banyak tatapan jijik dan meremehkan ke arahnya. Tetapi, gadis yang masih sangat lugu ini tak terlalu peduli. Ia terus melaksanakan aktivitas, berpindah dari sampah satu ke sampah lainnya.
***
“Kakak haus … hiks hiks.”
“Ayo beli es. Aku haus, Kak.”
Sarah kebingungan, adiknya terus saja merengek, minta dibelikan minuman. Diusap-usap lembut kepala sang adik, sambil terus menyusuri jalan.
“Kak, tunggu bentar.”
Nissa melepaskan diri dari genggaman tangannya, berlari ke arah belakang, berjongkok, kemudian kembali ke samping Sarah.
“Aku dapat uang Kak. Kita beli es yaa?” tanya sang adik memberikan uang lima ratusan.
“I-iya. Ini kakak tambahin. Kita bisa beli es sirup di dekat pasar.”
“Dekat pasar mana, Kak?”
“Penjual es yang sering kita beli di sana.”
Berbekal uang seribu rupiah, dua gadis kecil bersemangat berjalan ke arah pasar. Bayangan rasa segar yang mengaliri kerongkongan kering, terasa begitu menyenangkan.
Langkahnya lebar-lebar, agar bisa segera sampai ke sana. Sesampainya di toko, Sarah mengajak adiknya masuk, dan menyampaikan niatnya membeli es sirup.
“Bu, beli es sirup seribu boleh?”
“Sirup harga dua ribu!”
Sarah terlonjak, kaget karena jawaban yang keras dan sinis. Ia langsung mengajak adiknya pergi. Sarah hampir menangis, karena sikap kasar dari penjual.
“Kakak ga jadi beli?”
“Kita beli di tempat lain ya.”
“Kenapa? Ibu-ibu tadi jahat ya, Kak? Kok teriak-teriak.”
“Engga, di sana esnya habis. Kita beli minuman gelas di sana saja, ya. Mau kan?”
“Iya.”
Setelah perjuangan keras, akhirnya kakak beradik itu bisa minum segelas air dingin. Rasa kering di kerongkongan Sarah sudah hilang, adiknya juga tak merengek lagi.
Sisa air dalam gelas mereka simpan. Siapa tahu akan haus lagi nanti. Mereka sudah tidak punya uang sepeserpun.
Sampai sore menjelang, dua gadis cilik itu baru Berniat pulang ke rumah. Sekarung barang bekas ia bawa dengan napas terengah-engah. Bagi gadis sekecil Sarah, satu karung tanggung memang sangat berat.
Ia beberapa kali berhenti saking beratnya, usaha kerasnya tidak sia-sia. Sarah dan adiknya berhasil sampai ke rumah dengan selamat.
“Assalamualaikum ….”
Sarah masuk ke dalam rumah. Tak ada yang menjawab salamnya, ia letakkan karung di tempat biasa. Saat itu ia mendengar teriakkan di dalam rumah.
“Istri tak tahu diri! Mana uangnya!”
Deg! Ini bukan kali pertama, Sarah melihat ibunya, di perlakukan dengan kasar.
“Ibu … ibu … tadi aku habis jalan-jalan sama Kak Sarah. Jalan-jalan jauh, ke sanaaaa, sana, sana ….” Nissa yang masih sangat kecil justru asik menceritakan tentang jalan-jalan.
Dari jauh Sarah bisa melihat sorot kesedihan di mata ibunya, wanita yang paling ia sayang masih mampu tersenyum dan memeluk Nissa.
“Oh ya? habis jalan-jalan ya?”
“Iya hahaha.”
“Hehe, Adek makan yaa. Ajak kak Sarah juga.”
Nissa berlari ke arah Sarah dan mengajak kakaknya makan. Sarah menurut, ia ambil sepiring nasi serta sayur bayam untuk dimakan berdua bersama sang adik.
***
Setelah isya Sarah berbaring di kamar bersama adiknya. Adiknya sudah tertidur, sedang ia masih terjaga. Hatinya resah hingga ia tak bisa memejamkan mata.
Dari dalam kamar ia bisa mendengar lagi-lagi Bapaknya memarahi sang ibu. Bapak terus saja memaki dan memarahinya, sedang ibu hanya diam. Tak berani melawan, selalu seperti itu.
“Tuhan ….” lirihnya.
Didalam kamar yang minim cahaya, Sarah menangis. Ia tidak tahu sampai kapan keadaan akan terus seperti ini. Teriakan bapak, tamparan, makian dan segala hal yang membuat panas telinganya.
Setelah memanjatkan doa dalam diam, Sarah bersiap untuk menyusul adiknya tidur. Tapi teriakan ibu membuatnya urung.
“Hahhh!”
Prang!
Sarah berlari keluar, mendapati ibu yang tersungkur. Tubuhnya yang kurus mencium tanah yang keras akibat musim kemarau panjang.
“Ibu … hiks hiks.” Sarah berlari memeluk sang ibu.
“Ibu kenapa? Ibu ga apa-apa kan.”
Ibu hanya memeluk Sarah, bapaknya sudah pergi entah kemana.
“Ibu udah makan?”
“Udah sayang, kamu kok belum tidur. Cepat tidur gih. Besok kamu sekolah.”
“Iya Bu.”
Dengan berat hati Sarah meninggalkan sang ibu ke kamar. Rasa lelah sepanjang hari membuatnya terlelap hingga menjelang pagi.
***
“Sarah, bangun nak. Sudah pagi.”
“Iya Bu.”
Sarah menjawab sang ibu, terduduk sebentar, kemudian tidur lagi dalam keadaan tengkurap.
“Loh malah tidur lagi, ayo bangun.”
“Hmmm.”
“Bangun, Sarah. Jangan sampai bapak marah.”
“I-iya Bu.”
Langkahnya sempoyongan ke belakang. Masih dengan mata setengah terpejam Sarah mengambil wudhu dan shalat subuh.
Hari ini, setelah mengambil air dari sungai yang berjarak agak jauh dari rumahnya, Sarah mencuci muka, tangan, dan kakinya. Ia juga menggosok gigi sebelum berganti memakai seragam merah putih yang lusuh.
Mencari sepatunya yang entah ia taruh mana sepulang sekolah kemarin. Sarah berhasil menemukannya di kolong ranjang. Sarah memakainya, sepatu usang yang sobek bagian depan, juga berlubang di bagian pangkal. Sarah tetap bersyukur masih diijinkan sekolah.
Tanpa memikirkan tentang hidupnya, Sarah sangat semangat pergi ke sekolah. Ia bermimpi akan sukses di masa depan dan membahagiakan sang ibu.
_______________
To be continue ….

Bab 2

Masa sekolah dasar harusnya adalah masa paling menyenangkan. Saat yang seharusnya seorang anak bisa belajar sambil bermain. Banyak teman dan hanya mengenal kata bahagia.

Tapi tidak untuk Sarah. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bangkunya. Tangannya tidak berhenti membolak-balik buku pelajaran usang yang ia punya.

Sarah menggambar apa saja yang ingin ia gambar. Saat merasa bosan, ia melihat buku apa saja yang ia bawa untuk pelajaran hari ini.

Kebetulan, hari ini ada pelajaran bahasa Indonesia. Tangannya yang mungil mulai membuka-buka buku tebal yang dipinjamkan oleh pihak sekolah. Ia memilah lembar demi lembar halaman, mencari kalau-kalau ada cerita yang bisa ia baca.

Sayang sekali, semua ceritanya sudah ia baca di hari sebelumnya. Ia mulai kebingungan harus melakukan apa. Soal-soal bahkan sudah ia kerjakan.

Matanya melihat ke halaman. Di sana, teman-teman saling melempar bola voli. Tak jauh dari sana, ia juga melihat segerombol temannya sedang bermain petak umpet.

Apakah Sarah tidak menginginkannya? Bohong sekali. Gadis itu sangat ingin tahu, bagaimana rasanya memegang bola voli. Membayangkan, betapa menyenangkannya bermain petak umpet. Atau sekedar bergurau riang di teras kelas.

Sebagai anak yang tidak pernah diterima oleh sekitarnya, Sarah tidak berdaya. Ia hanya akan menelan mentah-mentah harapannya. Tak pernah membiarkan harapan itu muncul ke permukaan.

Hari ini, setelah tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Gadis itu mendekati teman-temannya yang sedang bergurau di teras.

Sarah berjongkok, sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

“Ehm. Di sini, udah enggak enak, deh. Kita pindah aja, yuk!” ajak salah satu anak yang bernama Riska.

“Iya. Ke sana aja, dekat pohon belimbing.” Dita menunjuk pohon belimbing tiga meter dari tempatnya berdiri.

Serentak anak-anak pun berdiri, termasuk Sarah. Gadis itu mengikuti teman-temannya ke arah pohon belimbing. Anak-anak itu pun mengambil posisi yang nyaman untuk duduk.

Sarah juga duduk. Lagi-lagi Riska kembali berkata, “Ternyata, di sini juga enggak enak. Balik ke sana lagi, yuk.”

“Yuk!” seru mereka serempak.

Sarah juga ikut bangkit. Tapi temannya mencegahnya.

“Sarah, kamu ngapain ikut-ikutan berdiri?”

“Iya. Ngapain kamu ngikutin kita terus?”

“Kita pindah, biar ga deket sama kamu. Eh, malah kamu ikut-ikutan pindah. Udah, kamu di situ aja, jangan ikutan ke sini.”

Sarah diam, saat semua temannya mencaci. Ada genangan di matanya yang siap tumpah, tapi dia menahan. Hal ini bukan kali pertama, tapi Sarah seolah tidak menyerah agar dirinya diterima.

Ia diam, dan kembali duduk di bawah pohon belimbing. Matanya menatap kosong teman-temannya yang kembali bergurau di tempat semula. Ada rasa sakit di hatinya yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya terluka.

Bosan duduk di bawah pohon sendirian. Sarah kembali ke dalam kelas. Ia merasa malu, di luar menjadi tontonan dan bahan pembicaraan satu sekolah.

Gadis itu kembali menekuri meja dan tempat duduknya di kelas. Tak bisa ia tahan airmata yang tadi dibendung, kini ia menangis, terisak. Sampai bel masuk berbunyi menghentikan tangisnya. Dia mengusap air matanya dan bersikap seolah baik-baik saja.

***

Jika kita tak bersalah, pantaskah kita diasingkan? Lalu bagaimana inti dari pendidikan itu sendiri. Jika tempat ini seolah menjadi neraka untuknya. Apakah dia akan menjadi anak yang terdidik di masa depan?

Sarah tak mengerti, sejauh ini ia tak pernah membenci teman-temannya. Hanya saja ia sudah mulai enggan untuk berbaur. Ia lebih suka termenung di dalam. Kelas, atau duduk di teras melihat teman-temannya bermain dengan tatapan kosong.

Dalam hati ia ingin diterima, sama seperti yang lainnya.

Hari ini, dengan semangat yang sama, Sarah kembali berangkat sekolah. Ia tidak berharap banyak, ia hanya ingin, hari ini teman-temannya tidak mengganggunya. Itu saja, ia tidak berharap teman-teman akan bermain dengannya.

Pagi-pagi sekali, ia sudah sampai di kelas. Menyapu barisannya, kemudian duduk di bangkunya yang terletak di pojok kanan, ujung belakang.

Sarah duduk, menunggu gurunya masuk ke kelas. Teman-temannya mulai berdatangan, mereka yang piket pun mulai menyapu.

“Siapa yang piket hari ini.” Sinta berteriak. Ia adalah gadis paling gendut di kelas Empat.

“Sarah, Dewi, Laras, sama Anton.”Gadis menjawab pertanyaan Sinta

“Sarah, udah nyapu belum?” tanya Sinta. Sarah mengangguk.

Sinta melihat barisan Sarah, seolah menyangsikan ucapan Sarah.

“Dewi! Kamu piket hari ini. Malah enak-enak cerita.”

“Nggak, ada sapu.”

“Sapu, kan, ada di dekat meja Sarah. Dari dulu perasaan engga pindah, deh. Kamu mah, alasan aja.”

“Nggak mau, ah. Jijik deket dia.”

Sarah mendengarnya, tapi ia diam saja. Seolah tidak tahu apa-apa.

“Eh, Sarah, ambilin sapunya!” teriak Ria.

“Ini, Ria.” Sarah mengulurkan sapu pada Ria.

Gadis yang bernama Ria menerima sapu yang diberikan Sarah. Kemudian ia memberikannya pada Dewi. Dewi menerimanya, tapi ia mengelapkan ujung yang tadi di pegang Sarah ke baju teman-temannya.

“Ih … jijik.”

“Aaa! Dewi kamu apa-apaan si.”

“Emangnya kalian mau, pegang yang abis dipegang sama Sarah? Nggak mau kan?”

“Ya, tapi ga usah digituin juga.”

Selepas adegan itu, Dewi mulai menyapu.

Sarah bisa mendengar semuanya, lagi-lagi ia tidak ingin peduli. Tangannya bersih, tak ada kotoran di sana. Tapi teman-temannya selalu bersikap seperti itu. Bagi mereka dirinya adalah najis yang haram jika sampai tersentuh.

Setelah menyapu, Dewi mengembalikan sapu dengan melempar ke arah Sarah. Ujung kayunya mengenai kaki mungil Sarah. Gadis itu meringis kesakitan. Sedang Dewi bersikap biasa saja tanpa rasa bersalah.

Sarah menangis. Hari-hari di sekolah selalu seperti itu. Sebenarnya sakit di kakinya bisa ia tahan agar tidak menangis. Tapi ada luka di hatinya yang tidak sanggup ia tahan.

Hari ini Sarah mulai membenci teman-temannya. Sarah bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan pernah mengenal mereka lagi, ia hanya berharap masa-masa ini segera berakhir. Ia tidak ingin di sekolah ini lagi. Ia benci tempat ini.

***

“Tuhan, aku percaya suatu saat aku akan menjadi orang yang sukses. Anak-anakku tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan,” ucapnya lirih

Gadis itu berjalan cepat ke rumahnya. Matahari sangat terik di jam pulang sekolah. Rasa lapar mulai menguliti perutnya.

“Assalamualaikum,” ucapnya saat masuk ke dalam rumah.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Sarah membuka tudungsaji di atas meja, ada sepotong tahu kecap dan sepiring nasi.

“Kakak.” Sarah menoleh. Ia melihat adiknya pulang bersama sang ibu. Sepertinya ibu baru saja pulang dari mencuci di sungai.

Sarah mendekati adiknya. “Iya?”

“Mau makan.”

“Kamu belum makan?”

Nissa menggeleng.

“Ya udah sini.”

Nissa mendekat ke arah sang Kakak, keduanya pun mulai makan bersama. Sedang sang ibu menjemur pakaian di samping rumah.

Di sana, diam-diam sang ibu menitikkan air mata. Tak ada yang tahu, juga tak ada yang peduli. Ia hanya punya harapan, kedua anak gadisnya akan hidup bahagia kelak. Tak seorang ibu pun yang tega melihat anaknya menderita.

________________

To be continue ….

Bab 3

Seperti biasa, Sarah akan segera pergi memulung sepulang sekolah. Ditemani sang adik, ia mulai menelusuri jalan. Tempat yang pertama kali ia tuju adalah sebuah pasar di desa seberang.

Biasanya, ia akan menemukan banyak barang bekas di sepanjang pasar, apalagi saat ini pasar baru saja selesai. Masih banyak penjual-penjual yang sibuk membereskan dagangannya untuk dibawa pulang, kemudian akan dibawa lagi saat hari pasaran tiba.

Sarah dan adiknya pergi dari pasar, mereka menelusuri rel kereta api menuju stasiun yang tidak jauh dari pasar. Rencananya, mereka akan kembali ke pasar saat orang-orang itu sudah selesai membereskan dagangannya.

Dibelakang bangunan peninggalan Belanda di jaman penjajahan itu, ada sekotak besar tempat sampah, yang menjadi pusat pembuangan para pengunjung stasiun.

“Kakak, di sini ada banyak sekali botol susu!” teriak Nissa, yang entah sejak kapan terlepas dari gandengan sang kakak.

Sarah yang sedang memunguti sampah di sepanjang area stasiun, segera berjalan ke arah sang adik. Benar saja, di sana terdapat banyak sekali botol susu, Sarah langsung memungutnya dan memasukkannya ke dalam karung.

“Kak, karungnya udah penuh!” seru Nissa girang. Wajahnya tersenyum membentuk lengkungan manis di bibirnya.

“Iya, kita pulang dulu, yuk. Nanti, balik lagi ke sini,” ajak Sarah. Sang adik menurut. Keduanya pun berjalan mendekati rel kereta.

Saat hendak menyeberang, sebuah kereta terlihat dari arah timur. Sarah mengurungkan niatnya. Menunggu kereta itu berlalu bersama gerbong-gerbong tua yang sangat panjang.

Kereta itu telah lewat, Sarah dan Nissa segera berlari menyebrangi rel kereta. Persis setelah mereka sampai di sisi seberang. Sebuah kereta kembali lewat dari ujung barat.

Kali ini tidak langsung lewat, melainkan berhenti beberapa saat di stasiun. Sarah sempat memperhatikan orang-orang masuk ke dalamnya. Setelah mengangkut setiap penumpang yang ada, kereta itu kembali melaju ke arah timur.

Sarah dan adiknya kembali berjalan, mereka memilih pulang melewati pematang sawah dekat bangunan sekolah tempat ia belajar setiap pagi. Karena lewat sawah-sawah ini akan jauh lebih cepat sampai ke rumah dibandingkan lewat jalan raya.

Tubuh Sarah nampak sempoyongan mengangkut karung yang berukuran lebih besar dari badannya. Sang adik berjalan di depan agar tidak tertinggal oleh langkah Sarah yang jauh lebih cepat.

“Ayo Dik, jalannya ke depan. Jangan berhenti berhenti, Kakak udah capek bawa karungnya,” ujar Sarah dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.

“Iya, Kak. Aku juga capek.” Nissa berjalan pelan.

Brugh! Dentuman karung yang diletakkan secara kasar, membuat Nissa berhenti dan menoleh ke arah kakaknya. Bisa dia lihat, sang kakak sedang menselonjorkan kakinya di tanah. Nissa mendekat.

“Kakak, capek. Kita istirahat dulu sebentar. Nanti kita lanjut lagi jalannya,” ucap Sarah meminta sang adik untuk beristirahat.

“Iya, Nissa juga capek.” Nissa duduk di samping Sarah. Tangannya memainkan daun bambu yang berserakan di samping lahan sawah.

Sarah menghela napas panjang, wajahnya berkeringat, bibirnya pecah-pecah. Mungkin dia kehausan. Sedang Nissa mulai berlari lari, mulutnya mengoceh asal, khas seorang anak kecil.

Naas kaki mungilnya terjerembab ke dalam lubang besar di tanah yang pecah-pecah dan penuh tanaman jagung. Gadis kecil mulai menangis, kakinya tergores tanah yang mengeras akibat kemarau panjang.

“Huaaaa!”

Langkah Sarah gontai menghampiri sang adik, suara tangis Nissa semakin keras.

“Sini.” Sarah mengangkat tubuh adiknya dari lubang, dan menggendongnya ke atas.

“Mana yang sakit?”

“Ini … hiks hiks.”

“Apanya?”

“Kakinya sakit, berdarah. Ada darahnya. Huaaa!” teriak Nissa histeris.

“Mana, sini sini.” Sarah mengusap darah di kaki Nissa dengan kain bajunya. Di tiupnya luka di kaki Nissa sampai tangis sang adik mulai mereda.

“Hiks hiks.”

“Udah, jangan nangis. Ayo kita pulang.”

“Hu’um. Hiks hiks hiks.”

“Berhenti dulu nangisnya.”

“Hu’um.”

Sarah mengambil karung, untuk kemudian ia panggul di bahu. Satu tangannya menggandeng tangan Nissa. Keduanya kembali berjalan menelusuri pematang, kemudian melewati ladang bambu dan lapangan. Setelah sampai di jalan raya, keduanya berbelok ke kanan, ke arah rumahnya.

Di gang menuju rumah, Nissa melepaskan gandengan sang kakak, berlari mendahului untuk sampai di rumah lebih dulu.

Sarah hanya memandang Nissa dengan tatapan kosong. Ia terus berjalan sampai akhirnya ia sampai di rumah. Segera ia keluarkan semua isi karung. Karung ia lipat, kemudian menghampiri sang adik yang sedang minum air putih di dalam.

“Ayo kita pergi lagi, keburu yang di pasar habis,” ajak Sarah setelah menenggak segelas air putih.

“Ayooo!” Nissa berlari penuh semangat. Sepertinya ia sudah lupa dengan luka di kakinya. Sarah mengikuti dari belakang.

Sampai di pasar, tempat itu sudah sepi. Hanya satu dua saja yang masih ada di sana. Sarah dan adiknya menelusuri seluruh pasar. Memunguti kertas-kertas, maupun botol plastik bekas yang tidak terpakai. Jika beruntung, ia akan menemukan potongan besi, tembaga, atau uang kertas yang ada di tumpukan sampah.

Seperti hari ini, Sarah sibuk memunguti kertas-kertas bungkus rokok, juga kardus-kardus bekas di tumpukan sampah. Saat memilah-milah sampah dengan gerakan cepat ia melihat selembar uang dua puluh ribu di sana.

Entah siapa pemiliknya, uang itu ada di tumpukan paling bawah. Mungkin milik pengunjung pasar yang terjatuh. Sarah memungutnya, sesaat kemudian datang seorang ibu-ibu yang akan membakar sampah yang tadi dikaisnya.

“Bu, tadi aku menemukan uang di tumpukan sampah ini.”

“Berapa?”

“Dua puluh ribu.”

“Ya sudah, buat kamu aja. Itu namanya rezeki kamu, mungkin uang itu milik pengunjung yang terjatuh,” ucap ibu-ibu itu setelah melihat uangnya di saku.

Sarah pun pergi menghampiri sang adik yang sibuk berlarian di salah satu los pasar.

“Dik, kakak dapat uang.”

“Mana?”

“Ini!” serunya menunjukkan selembar uang dua puluh ribu.

“Wahhh.”

“Nanti kita bisa beli jajan di warung sana ya?”

“Di mana?”

“Nanti waktu pulang, di deket lapangan SD, yang waktu itu kakak ajakin kamu beli es rujak itu loh.”

“Oh yang itu. Mau mau.” Nissa sangat girang. Wajahnya tidak sabar akan merasakan es rujak seperti yang ia minum dua minggu lalu.

Dua minggu yang lalu Sarah memang mengajak sang adik membeli es di sana. Saat itu, Sarah diberi uang oleh ibunya. Ibu bilang ada rezeki lebih waktu itu.

“Ya udah, kita pulang yuk. Nanti kita beli Es dan istirahat di perbatasan sawah dan lapangan. Kakak udah capek, karungnya juga udah penuh.” Sarah mengajak sang adik segera pulang.

Nissa hanya mengangguk. Berjalan mengikuti sang kakak di belakang.

“Dik, kamu di depan Kakak aja. Biar Kakak ga capek nengokin kamu ke belakang terus,” ucap Sarah. Ia menghentikan langkahnya sebentar, menunggu sang adik berjalan di depan.

Keduanya berjalan pulang, melewati rute yang biasanya. Jika dari pasar, mereka akan langsung menembus jalan tengah yang memisahkan antara dua bangunan kios.

Mereka berjalan lurus melewati sepetak sawah, rel kereta api, kemudian berakhir di lapangan Sekolah dasar.

Dari lapangan ujung utara, mata Sarah berbinar melihat bangunan toko yang terletak di pinggir lapangan bagian tengah.

Rasa dingin yang mengaliri kerongkongan seolah sedang menanti kedatangannya.

_______________

To be continue ….

Bab 4

Harapannya, adalah segera sampai ke toko itu dan membeli es lilin seperti yang ia inginkan.

Tapi kenyataan berkata lain, es lilin yang ia dambakan sudah habis sejak tadi. Ia pun pulang dengan harapan yang hampir pupus.

Harapan itu kembali tumbuh saat Nissa memintanya membeli es krim saja setelah pulang. Di kepalanya mulai ada bayang-bayang es krim yang lezat.

Sampai di rumah, Sarah justru melihat apa yang tidak seharusnya ia lihat. Ibunya dipukuli oleh bapak demi merampas uang lima puluh ribu yang ibu sembunyikan untuk makan malam.

Setelah merampas uang hasil jerih payah ibunya, Sarah melihat laki-laki yang ia sebut sebagai Bapak itu berlalu dan pergi mengendarai motor.

Ada rasa sakit di hati Sarah. Gadis yang selama ini dibesarkan dengan teori nilai-nilai kebaikan. Namun praktek yang ia lihat selalu bertolak belakang. Entah itu di rumah, ataupun di sekolah.

Norma-norma yang selalu diajarkan padanya seolah tak ada artinya.

Ia menghampiri sang ibu yang terdiam dengan wajah yang tak bisa dijelaskan, sedih, kecewa, dan marah. Semuanya mendominasi.

Gadis itu memberikan uang yang tadi ia temukan kepada ibunya. Bisa ia rasakan usapan tangan ibu yang terasa lembut di kepalanya. Kali ini, harapan memakan sebuah es krim benar-benar pupus di kepalanya.

“Sarah, ibu pakai uang ini buat beli beras ya?”

“Iya, Bu. Itu kan udah jadi uang ibu.”

“Kamu ikut engga?”

Sarah mengangguk, ia digandeng ibunya pergi ke toko Bu Ripah, sedangkan Nissa bergelayut manja dalam gendongan Ibu.

Sesaat ia melirik wajah sang ibu, gurat lelah tampak jelas di sana. Dalam hati ia berjanji, tak akan membiarkan sang ibu terluka di hari tuanya.

Tidak lama mereka sudah sampai di toko Bu Ripah, yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Ia melihat ibunya membeli setengah kilo beras dan dua telur. Ibunya membeli dua buah es krim harga dua ribu untuk dirinya dan Nissa.

Harapan yang tadinya pupus, kini terpenuhi tanpa dia harus meminta pada sang ibu. Kebahagiaan langsung merekah di wajah keduanya.

Di rumah, ibu langsung memasak nasi di dapur. Dua telur di dadar dengan bumbu garam. Setelah matang, telur dipotong menjadi dua bagian. Setengah untuk bapaknya, setengah lagi dipotong menjadi tiga. Untuk Ibu, Nissa, juga dirinya.

Terkadang dirinya merasa miris, tapi ia memilih tersenyum. Ia yakin dengan ia tersenyum akan memberi kekuatan kepada sang ibu.

***

Waktu terus bergulir, hari ini ia akan pergi ke sekolah. Semangat yang ia pancarkan masih seperti biasa. Meski terkadang ia malas ke sekolah, akibat perlakuan teman-temannya yang tidak mengenakkan.

Sepasang kaki mungil menapaki jalanan aspal menuju sekolahnya. Tidak terlalu jauh, tapi mampu membuat pegal kaki yang tidak biasa berjalan sejauh itu.

Sarah tersenyum melihat gerbang sekolah yang sudah terlihat dari ujung lapangan. Setengah berlari ia melewati lapangan sepak bola yang sangat luas ini.

Sejak pertama ia masuk ke dalam kelas, semua sudah heboh membicarakan guru baru yang akan mengajar di kelasnya. Dilihat dari wajah teman-temannya, mereka terlihat sangat senang dengan kedatangan guru itu.

“Guru baru!?” seru salah seorang teman Sarah. Sinta namanya.

“Iya.” Firman menjawab.

Mereka kemudian berbisik-bisik. Sarah yang penasaran tentang guru baru yang sedang ramai dibicarakan pun ikut mendekat.

“Ada apa Sinta?” Sarah bertanya, wajahnya sangat berharap dapat jawaban.

“Kepo! Sana, duduk lagi sana! Ntar juga tahu!” sentak Sinta.

Mau tak mau Sarah kembali bungkam, kakinya memilih melangkah menjauhi kerumunan teman-temannya. Ia duduk di bangku menunggu guru datang ke kelasnya.

Pukul tujuh seharusnya kelas sudah masuk, tapi entah kenapa hari ini kelas kosong sampai bel istirahat. Sarah sempat mendengar bahwa gurunya sedang rapat.

Dari bisik-bisik teman-temannya, mereka menduga rapat itu membahas tentang di mana guru baru itu akan di tugaskan. Di kelas empat atau kelas lima. Itulah sebabnya banyak teman-teman Sarah yang sibuk merapal doa agar guru baru itu di tugaskan di kelas mereka.

Lain teman-temannya, lain pula dengan Sarah. Anak itu seolah tidak tertarik siapa guru yang akan mengajar di kelasnya. Yang ia tahu, siapapun guru yang mengajar tidak akan merubah nasibnya di sekolah ini.

Selama pelajaran kosong. Kelas sepi dalam sesaat, dan sesaat kemudian kembali ramai. Terus seperti itu. Teman-temannya sibuk mondar-mandir, sedang dirinya akan diam di kelas saat sedang ramai. Namun ketika sepi, ia akan berdiri di ambang pintu. Kadang ia merasa takut berada di dalam kelas sendirian.

Teman-temannya sudah berkali-kali pergi ke kantin. Saat kembali ke kelas mereka akan membawa berbagai jenis makanan juga minuman. Disaat seperti itu, Sarah lebih memilih duduk di bangkunya dan menelungkupkan wajahnya di meja.

Teman-temannya sering menganggap ia sebagai pengganggu jika duduk di dekat mereka. Sarah tidak menyukai pandangan merendahkan dari teman-temannya.

Sarah memang jarang pergi ke kantin. Anak itu sangat jarang membawa uang saku ke sekolah. Hanya kadang-kadang jika ibunya sedang ada uang lebih saja.

Sekarang masih jam istirahat, saat ini Sarah sedang duduk di tempat duduk memanjang yang terbuat dari batu dan semen di depan kelas. Matanya menerawang jauh hingga menembus lapangan. Jauh di ujung barat, matanya tidak berhenti menerawang.

Di lapangan, teman-teman laki-lakinya sedang bermain sepak bola. Sarah mengalihkan pandangan dan menjatuhkannya di sana. Kadang ia tersenyum melihat mereka saling bersorak saat bola masuk ke gawang. Tapi sesaat kemudian ia kembali merenung.

Merenungkan setiap hal yang ia alami. Memikirkan kenapa ia tidak terlahir sama seperti teman-temannya.

“Tuhan … Ibu bilang, jika seorang anak terus bersikap baik, maka engkau akan menyayanginya.” Sarah berucap lirih. Sangat lirih, hingga hanya dirinya dan Tuhan saja yang bisa mendengar.

“Tuhan … aku ingin seperti mereka. Aku mohon, aku ingin tahu bagaimana rasanya punya teman. Teman yang tulus dan baik. Bukan teman yang hanya tahu cara menyakiti. Bukan teman yang datang dengan alasan lain, selain benar-benar tulus.” Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Hampir sedikit lagi, air itu akan jatuh ke pipinya.

Saat-saat sendu, Sarah tiba-tiba merasa ingin ke kamar mandi untuk membuang hajat kecil.

Setengah berlari ia menuju kamar mandi. Saat ingin berbelok, Sarah melihat jalan sangat ramai dengan anak laki-laki yang sedang menongkrong. Ia merasa takut, dengan terpaksa ia kembali ke kelasnya.

Sebelum pergi, ia sempat mendengar olokan salah satu orang di sana. “Bener, kan kata aku. Kalau dihadang dia ga bakalan berani lewat. Hahaha, dasar pacarnya Gilang.”

“Siapa?” Gilang yang tadinya asik mencoret dinding menanggapi.

“Sarah!”

“Hahaha!”

“Gilang pacarnya Sarah!”

Sarah bisa mendengarnya dengan jelas. Hatinya seperti ditusuk-tusuk benda tak terlihat. Sangat nyeri.

Langkahnya melambat. Ia kembali ke kelasnya dengan gontai.

“Kelas empat masuk!”

“Kelas empat masuk!”

“Sinta! Dina, Adit! Masuuuk!”

Dari jauh Sarah mendengar teriakkan bahwa kelasnya masuk. Meski menahan pipis, ia juga ikut berlari agar bisa sampai ke kelas lebih cepat.

“Permisi, maaf Pak. Saya terlambat,” ucap Sarah sesampainya di pintu.

“Iyaa, silahkan duduk.” Gurunya menjawab lembut.

Sarah langsung duduk di bangkunya. Ia menatap wajah asing di depan, sepertinya guru baru yang sempat jadi buah bibir teman-temanya akan mengajar di kelas ini.

_______________

To be continue ….

Baca juga ;

*Rahasia di Rumah Maduku (Tamat)

*Bekas Lipstik (Tamat)

*Runtuhnya Dinding Keangkuhan (Tamat)

*Gembel Metropolitan (Tamat)

*Ditalak Usai Disentuh (Tamat)

*Istriku Tidak Halal (Tamat)

*Rumah Impian (Tamat)

*Mayat di Pinggir Sungai (Tamat)

Bab 5

Akhirnya, setelah beberapa Minggu kelas ini diajar oleh guru sementara yang juga mengajar di kelas lima. Hari ini kelas ini mendapatkan guru tetap, setelah ditinggal pindah tugas guru sebelumnya.

Sarah yang baru saja duduk mengamati Pak Guru Barunya. Pak guru itu mengenakan celana bahan hitam dan batik warna coklat muda. Di wajahnya ia bisa melihat kewibawaan terpancar dari sana.

“Ekhem.” Pak Guru baru itu berdehem, nyaring sekali suaranya.

Seketika kelas yang tadi hening, kini semakin hening.

“Loh, kok malah pada diam?” Pak guru menatap ke seluruh kelas.

Beberapa anak justru terkikik mendengar ucapan Pak Guru. Guru itu juga tersenyum.

“Halo! Selamat siang anak-anak!”

“Siang, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak.

“Bagaimana, apakah ada yang sudah mengenal saya? Pasti belum, kan?” tanya Pak Guru lagi.

“Sudaaah!” Hampir seluruh kelas berteriak.

“Beluuum!” Minoritas anak yang tidak tahu pun menyahut.

Sekejap kelas mulai rusuh. Suasana kelas baru tenang saat Bapak Guru meletakkan jari telunjuk di bibirnya dan berkata, “Syuttttt!” Kemudian tersenyum.

“Syuttt. Diam diam!” perintah seorang anak pada teman-temannya dengan suara agak berbisik.

Kelas kembali hening. Dalam beberapa detik, keadaan masih bertahan seperti itu.

“Baik. Ekhem! Ekhem! Tes tes!” Kelas ricuh dengan tawa mendengar Pak Guru terus berdehem.

“Tes,” ucap Pak Guru sambil memiringkan kepalanya. Berlagak seolah sedang berada di atas panggung komedi. Sontak anak-anak semakin tergelak.

Sarah yang biasanya diam, kali ini juga ikut tertawa. Untuk pertama kalinya, wajah itu tampak ceria di sekolah.

“Hemmm. Baiklah anak-anak. Mungkin sebagian dari kalian banyak yang sudah tahu dan mengenal saya. Tapi ada juga sebagian yang belum mengenal saya.” Pak Guru mulai serius. Ucapannya berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.

“Bapak ingin tahu, di sini siapa yang belum mengenal saya. Coba angkat tangannya?”

Beberapa anak mulai mengacungkan tangan. Termasuk Sarah.

“Satu, dua, tiga, lima belas. Wah … banyak juga ya. Berarti saya kurang terkenal ini,” ucap Pak Guru sambil mengusap-usap dagunya dengan wajah yang dibuat-buat kecewa.

Keningnya mengerut, ia tampak berpikir. Sementara kelas terus ramai oleh tawa melihat tingkahnya.

“Hemm. Nama saya Bapak Riyandi. Kalian bisa memanggil saya Pak Riyan. Kalian mengerti?” Pak Riyan menaikturunkan alisnya.

“Mengerti, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak, Pak Riyan mengacungkan jempolnya.

“Alamat rumahnya saya, emm … ada yang tahu?”

“Aku tau!”

“Aku juga tau!”

Anak-anak berebut ingin menjawab. Pak Riyan meletakkan telunjuknya di bibir untuk kesekian kali sampai kelas kembali tenang.

“Daripada mereka penasaran.” Pak Riyan menunjukkan anak-anak yang tadi mengacungkan tangan.

“Bapak akan menjawab. Rumah saya jauuuuh sekali. Jika kalian pergi ke re kereta api, dekat stasiun itu kalian lurus aja ke Utara sampai mentok. Kemudian belok ke kiri luruuuuus terus. Depan balai desa. Nah, di situ tuh rumah saya,” jelas Pak Riyan.

“Ohhhhhh.” Anak yang baru tahu ber ‘Oh’ ria.

“Jauh, kan?”

“Dekeeeet!”

“Tenang-tenang. Kalian pasti bingung, kan. Kenapa saya berdiri di sini?” tanya Pak Riyan.

“Iyaaa!” Anak-anak selalu saja kompak dalam menjawab.

“Aku tahu, Pak!” Salah seorang anak berseru.

“Apa coba?” Pak Riyan memicingkan matanya sambil tersenyum.

“Eung … pak Riyan mau ngajar di sini, kan?”

“Siapa bilang?” Pak Riyan terus tersenyum.

“Eungg ….” Anak itu jadi kebingungan.

“Dia benar, saya akan mengajar di sini. Menggantikan Ibu Ana yang pindah tugas. Mulai hari ini saya yang akan mengajar di sini.” Pak Riyan menjelaskan.

“Yeeeee!”

“Loh, kok malah pada senang begitu? Kenapa? Saya ini orangnya galak loh.” Pak Riyan terus saja menggoda anak didik barunya.

“Engga.” Mereka menyangkal.

“Bener loh.”

“Pak Riyan Bohong.”

“Iya, Pak Riyan itu engga galak. Orang aku pernah lihat waktu di … waktu di … wak_”

“Di apa?” Pak Riyan memotong ucapan muridnya.

“Nggak apa-apa Pak. Hehe.” Anak itu akhirnya diam karena merasa malu.

“Oh, iya anak-anak. Karena ini hari pertama Bapak mengajar, kita santai-santai dulu ya. Saya kan sudah perkenalan, sekarang giliran kalian maju satu persatu buat kenalan.” Pak Riyan duduk di kursinya.

Satu persatu anak mulai maju ke depan sesuai nomor absen. Hari ini tidak ada satu pelajaran pun. Setiap anak nampak sangat bahagia.

***

Hari ini, cuaca sangat terik. Setengah hari di sekolah tanpa minum sedikit pun, membuat tenggorokannya juga ikut kering.

Sarah berjalan lemas pulang sekolah. Meskipun begitu, wajahnya terhias senyuman. Entah kenapa, ia merasa guru barunya berbeda.

Sampai di rumah, ia langsung berlari ke belakang. Matanya mencari-cari keberadaan teko plastik, saat menemukannya tubuhnya semakin lemas seketika.

Teko itu kosong, ia beralih mencari panci yang biasa digunakan untuk merebus air. Di sana juga kosong, sepertinya sang ibu tidak sempat memasaknya.

Sarah mengganti pakaiannya, kemudian pergi ke dapur. Di liriknya tumpukan kayu bakar yang tinggal sedikit.

Anak itu mulai mengambil panci dan mengisinya dengan air. Ia menyalakan kayu bakar di dapurnya yang masih menggunakan batu.

Cekatan sekali dirinya, tidak butuh waktu lama kayu-kayu itu sudah menyala. Sarah letakkan panci itu di atasnya. Api semakin besar, membuat dirinya merasakan gerah dua kali lipat.

Asap mengepul, air sudah mendidih. Sarah mengangkatnya, panci besar itu ia letakkan di atas meja. Tempat biasa panci itu diletakkan.

Haus, panas, dan gerah. Itulah yang dirasakan Sarah. Gadis kecil itu duduk dan mengipas-ngipas wajahnya. Semilir angin yang tiba-tiba datang membuatnya mengantuk, sampai tanpa sadar ia tertidur.

“Suruh dia bangun!”

Deg!

Sarah terlonjak kaget. Nissa berdiri di sampingnya.

“Kakak, ayo pergi mulung. Bapak ngamuk.” Nissa berbisik.

“Kenapa ngamuk?” tanya Sarah masih belum tersadar penuh.

“Gara-gara, Kakak pulang sekolah malah tidur.” Nissa menjawab pertanyaannya, masih dengan suara yang berbisik-bisik.

“Ayo, Kak. Nanti Bapak balik ke sini, ngamuk lagi. Tadi aja Ibu di pukul.”

Darah yang mengalir di tubuhnya serasa mendidih. Luka yang ia simpan kian bertumpuk. Ia pergi ke belakang. Buang air kecil yang sejak pagi ditahan, kemudian mencuci mukanya.

“Ibu nggak berguna! Anak udah gede, nggak diajarin rajin. Supaya gedenya sukses. Malah dibiarkan tidur siang-siang.”

Sarah masih mendengar bapaknya yang terus menerus mengomel. Ibunya diam, ia heran. Kenapa ibunya tidak pernah berusaha melawan.

Berat hatinya meninggalkan ibu di rumah. Ia berharap ibunya segera pergi lagi, mencuci dan rumah-rumah tetangga akan lebih baik, daripada dipukuli oleh Bapak di rumah.

Lagi-lagi akan selalu seperti ini. Ia berjalan pelan dibawah terik matahari. Kerongkongan yang mengering, kini sudah terasa sakit.

“Ibu tadi diapain aja sama Bapak, Dik?” tanya Sarah, demi menjawab rasa penasaran dan khawatir di hatinya.

“Ibu dipukul, sama dilempar pake sendal. Terus ibu pergi ke belakang.” jawab Nissa pelan.

“Hmmm.”

Hening.

_______________

To be continue ….

3 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Napas Terakhir di Bosphorus

Esana Gulpinar
Terima kasih telah bersedia membaca tulisan ini. Semoga ada hikmah dari kisah singkat seorang Sarah. Selamat membaca, jangan lupa follow dan subscribe yaa ….

Bab 1

Harusnya saat ini ia bemain, sama seperti anak kebanyakan. Tapi saat anak-anak seusianya sedang sibuk bermain, ia justru sibuk mengais sampah demi sampah di sepanjang jalan.
“Makan cepat-cepat! Habis itu bantuin orangtua.”
“Jangan malas-malasan. Kamu itu anak orang susah! Jangan bersikap seolah kamu anak orang kaya.”
Sarah mempercepat makannya. Setelah sepiring nasi, dan tempe goreng serta, sambal masakan ibunya masuk ke dalam perut. Sarah langsung menyambar karung yang biasa ia pakai, dan menggandeng tangan adiknya yang masih kecil.
Sebelum pergi, gadis usia sepuluh tahun itu melangkah hati-hati mendekati Bapaknya.
“Pak, mau cium tangan.”
“Gak usah. Tangan bapak kotor, langsung pergi saja sana.” Wajah bapaknya seperti menahan marah.
Sarah berlalu, mengabaikan sesak atas penolakan dari sang bapak. Kaki mungil, tanpa alas kaki menelusuri jalanan beraspal. Seketika rasa panas menjalar ke telapak kakinya. Sarah memang tidak memilikinya, satu-satunya alas kaki beda warna yang ia miliki, putus satu minggu yang lalu. Orangtuanya tak mampu membelikan yang baru.
“Kakak … kita mau kemana?”
“Cari barang bekas, Dik.”
“Yee! Kita jalan-jalan ya?”
Adiknya yang belum mengerti apa-apa, justru bersorak girang. Sarah hanya mengangguk agar adiknya bahagia. Jika ia jelaskan sekalipun, adiknya tak akan mengerti, dan menganggap pekerjaan ini sebagai perjalanan yang menyenangkan.
“Kak … mau minum.” Nissa hampir menangis.
“Nanti ya, Dik. Kita kumpulin ini dulu, biar dapat uang banyak. Terus, kita beli es di dekat pasar. Kamu mau, kan?”
“Mau mau mau!”
“Ya udah, kalau begitu jangan nangis ya.” Sarah sadar ucapannya hanya penenang belaka.
Si mungil itu kehausan. Sarah merasa iba pada adiknya, tapi apalah daya uang yang ia punya hanya lima ratus rupiah. Sedang ia tahu harga es paling murah adalah dua ribu. Ia sendiri juga merasa haus. Akibat buru-buru, ia sampai lupa minum setelah makan.
Ia abaikan kerongkongan yang kering kerontang. Tangannya mulai memilah-milah sampah, di tong depan toko paling ramai di kampungnya. Diambil botol, kaleng, kertas, juga apapun yang bisa di jual.
Saat itu, banyak tatapan jijik dan meremehkan ke arahnya. Tetapi, gadis yang masih sangat lugu ini tak terlalu peduli. Ia terus melaksanakan aktivitas, berpindah dari sampah satu ke sampah lainnya.
***
“Kakak haus … hiks hiks.”
“Ayo beli es. Aku haus, Kak.”
Sarah kebingungan, adiknya terus saja merengek, minta dibelikan minuman. Diusap-usap lembut kepala sang adik, sambil terus menyusuri jalan.
“Kak, tunggu bentar.”
Nissa melepaskan diri dari genggaman tangannya, berlari ke arah belakang, berjongkok, kemudian kembali ke samping Sarah.
“Aku dapat uang Kak. Kita beli es yaa?” tanya sang adik memberikan uang lima ratusan.
“I-iya. Ini kakak tambahin. Kita bisa beli es sirup di dekat pasar.”
“Dekat pasar mana, Kak?”
“Penjual es yang sering kita beli di sana.”
Berbekal uang seribu rupiah, dua gadis kecil bersemangat berjalan ke arah pasar. Bayangan rasa segar yang mengaliri kerongkongan kering, terasa begitu menyenangkan.
Langkahnya lebar-lebar, agar bisa segera sampai ke sana. Sesampainya di toko, Sarah mengajak adiknya masuk, dan menyampaikan niatnya membeli es sirup.
“Bu, beli es sirup seribu boleh?”
“Sirup harga dua ribu!”
Sarah terlonjak, kaget karena jawaban yang keras dan sinis. Ia langsung mengajak adiknya pergi. Sarah hampir menangis, karena sikap kasar dari penjual.
“Kakak ga jadi beli?”
“Kita beli di tempat lain ya.”
“Kenapa? Ibu-ibu tadi jahat ya, Kak? Kok teriak-teriak.”
“Engga, di sana esnya habis. Kita beli minuman gelas di sana saja, ya. Mau kan?”
“Iya.”
Setelah perjuangan keras, akhirnya kakak beradik itu bisa minum segelas air dingin. Rasa kering di kerongkongan Sarah sudah hilang, adiknya juga tak merengek lagi.
Sisa air dalam gelas mereka simpan. Siapa tahu akan haus lagi nanti. Mereka sudah tidak punya uang sepeserpun.
Sampai sore menjelang, dua gadis cilik itu baru Berniat pulang ke rumah. Sekarung barang bekas ia bawa dengan napas terengah-engah. Bagi gadis sekecil Sarah, satu karung tanggung memang sangat berat.
Ia beberapa kali berhenti saking beratnya, usaha kerasnya tidak sia-sia. Sarah dan adiknya berhasil sampai ke rumah dengan selamat.
“Assalamualaikum ….”
Sarah masuk ke dalam rumah. Tak ada yang menjawab salamnya, ia letakkan karung di tempat biasa. Saat itu ia mendengar teriakkan di dalam rumah.
“Istri tak tahu diri! Mana uangnya!”
Deg! Ini bukan kali pertama, Sarah melihat ibunya, di perlakukan dengan kasar.
“Ibu … ibu … tadi aku habis jalan-jalan sama Kak Sarah. Jalan-jalan jauh, ke sanaaaa, sana, sana ….” Nissa yang masih sangat kecil justru asik menceritakan tentang jalan-jalan.
Dari jauh Sarah bisa melihat sorot kesedihan di mata ibunya, wanita yang paling ia sayang masih mampu tersenyum dan memeluk Nissa.
“Oh ya? habis jalan-jalan ya?”
“Iya hahaha.”
“Hehe, Adek makan yaa. Ajak kak Sarah juga.”
Nissa berlari ke arah Sarah dan mengajak kakaknya makan. Sarah menurut, ia ambil sepiring nasi serta sayur bayam untuk dimakan berdua bersama sang adik.
***
Setelah isya Sarah berbaring di kamar bersama adiknya. Adiknya sudah tertidur, sedang ia masih terjaga. Hatinya resah hingga ia tak bisa memejamkan mata.
Dari dalam kamar ia bisa mendengar lagi-lagi Bapaknya memarahi sang ibu. Bapak terus saja memaki dan memarahinya, sedang ibu hanya diam. Tak berani melawan, selalu seperti itu.
“Tuhan ….” lirihnya.
Didalam kamar yang minim cahaya, Sarah menangis. Ia tidak tahu sampai kapan keadaan akan terus seperti ini. Teriakan bapak, tamparan, makian dan segala hal yang membuat panas telinganya.
Setelah memanjatkan doa dalam diam, Sarah bersiap untuk menyusul adiknya tidur. Tapi teriakan ibu membuatnya urung.
“Hahhh!”
Prang!
Sarah berlari keluar, mendapati ibu yang tersungkur. Tubuhnya yang kurus mencium tanah yang keras akibat musim kemarau panjang.
“Ibu … hiks hiks.” Sarah berlari memeluk sang ibu.
“Ibu kenapa? Ibu ga apa-apa kan.”
Ibu hanya memeluk Sarah, bapaknya sudah pergi entah kemana.
“Ibu udah makan?”
“Udah sayang, kamu kok belum tidur. Cepat tidur gih. Besok kamu sekolah.”
“Iya Bu.”
Dengan berat hati Sarah meninggalkan sang ibu ke kamar. Rasa lelah sepanjang hari membuatnya terlelap hingga menjelang pagi.
***
“Sarah, bangun nak. Sudah pagi.”
“Iya Bu.”
Sarah menjawab sang ibu, terduduk sebentar, kemudian tidur lagi dalam keadaan tengkurap.
“Loh malah tidur lagi, ayo bangun.”
“Hmmm.”
“Bangun, Sarah. Jangan sampai bapak marah.”
“I-iya Bu.”
Langkahnya sempoyongan ke belakang. Masih dengan mata setengah terpejam Sarah mengambil wudhu dan shalat subuh.
Hari ini, setelah mengambil air dari sungai yang berjarak agak jauh dari rumahnya, Sarah mencuci muka, tangan, dan kakinya. Ia juga menggosok gigi sebelum berganti memakai seragam merah putih yang lusuh.
Mencari sepatunya yang entah ia taruh mana sepulang sekolah kemarin. Sarah berhasil menemukannya di kolong ranjang. Sarah memakainya, sepatu usang yang sobek bagian depan, juga berlubang di bagian pangkal. Sarah tetap bersyukur masih diijinkan sekolah.
Tanpa memikirkan tentang hidupnya, Sarah sangat semangat pergi ke sekolah. Ia bermimpi akan sukses di masa depan dan membahagiakan sang ibu.
_______________
To be continue ….

Bab 2

Masa sekolah dasar harusnya adalah masa paling menyenangkan. Saat yang seharusnya seorang anak bisa belajar sambil bermain. Banyak teman dan hanya mengenal kata bahagia.

Tapi tidak untuk Sarah. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bangkunya. Tangannya tidak berhenti membolak-balik buku pelajaran usang yang ia punya.

Sarah menggambar apa saja yang ingin ia gambar. Saat merasa bosan, ia melihat buku apa saja yang ia bawa untuk pelajaran hari ini.

Kebetulan, hari ini ada pelajaran bahasa Indonesia. Tangannya yang mungil mulai membuka-buka buku tebal yang dipinjamkan oleh pihak sekolah. Ia memilah lembar demi lembar halaman, mencari kalau-kalau ada cerita yang bisa ia baca.

Sayang sekali, semua ceritanya sudah ia baca di hari sebelumnya. Ia mulai kebingungan harus melakukan apa. Soal-soal bahkan sudah ia kerjakan.

Matanya melihat ke halaman. Di sana, teman-teman saling melempar bola voli. Tak jauh dari sana, ia juga melihat segerombol temannya sedang bermain petak umpet.

Apakah Sarah tidak menginginkannya? Bohong sekali. Gadis itu sangat ingin tahu, bagaimana rasanya memegang bola voli. Membayangkan, betapa menyenangkannya bermain petak umpet. Atau sekedar bergurau riang di teras kelas.

Sebagai anak yang tidak pernah diterima oleh sekitarnya, Sarah tidak berdaya. Ia hanya akan menelan mentah-mentah harapannya. Tak pernah membiarkan harapan itu muncul ke permukaan.

Hari ini, setelah tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Gadis itu mendekati teman-temannya yang sedang bergurau di teras.

Sarah berjongkok, sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

“Ehm. Di sini, udah enggak enak, deh. Kita pindah aja, yuk!” ajak salah satu anak yang bernama Riska.

“Iya. Ke sana aja, dekat pohon belimbing.” Dita menunjuk pohon belimbing tiga meter dari tempatnya berdiri.

Serentak anak-anak pun berdiri, termasuk Sarah. Gadis itu mengikuti teman-temannya ke arah pohon belimbing. Anak-anak itu pun mengambil posisi yang nyaman untuk duduk.

Sarah juga duduk. Lagi-lagi Riska kembali berkata, “Ternyata, di sini juga enggak enak. Balik ke sana lagi, yuk.”

“Yuk!” seru mereka serempak.

Sarah juga ikut bangkit. Tapi temannya mencegahnya.

“Sarah, kamu ngapain ikut-ikutan berdiri?”

“Iya. Ngapain kamu ngikutin kita terus?”

“Kita pindah, biar ga deket sama kamu. Eh, malah kamu ikut-ikutan pindah. Udah, kamu di situ aja, jangan ikutan ke sini.”

Sarah diam, saat semua temannya mencaci. Ada genangan di matanya yang siap tumpah, tapi dia menahan. Hal ini bukan kali pertama, tapi Sarah seolah tidak menyerah agar dirinya diterima.

Ia diam, dan kembali duduk di bawah pohon belimbing. Matanya menatap kosong teman-temannya yang kembali bergurau di tempat semula. Ada rasa sakit di hatinya yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya terluka.

Bosan duduk di bawah pohon sendirian. Sarah kembali ke dalam kelas. Ia merasa malu, di luar menjadi tontonan dan bahan pembicaraan satu sekolah.

Gadis itu kembali menekuri meja dan tempat duduknya di kelas. Tak bisa ia tahan airmata yang tadi dibendung, kini ia menangis, terisak. Sampai bel masuk berbunyi menghentikan tangisnya. Dia mengusap air matanya dan bersikap seolah baik-baik saja.

***

Jika kita tak bersalah, pantaskah kita diasingkan? Lalu bagaimana inti dari pendidikan itu sendiri. Jika tempat ini seolah menjadi neraka untuknya. Apakah dia akan menjadi anak yang terdidik di masa depan?

Sarah tak mengerti, sejauh ini ia tak pernah membenci teman-temannya. Hanya saja ia sudah mulai enggan untuk berbaur. Ia lebih suka termenung di dalam. Kelas, atau duduk di teras melihat teman-temannya bermain dengan tatapan kosong.

Dalam hati ia ingin diterima, sama seperti yang lainnya.

Hari ini, dengan semangat yang sama, Sarah kembali berangkat sekolah. Ia tidak berharap banyak, ia hanya ingin, hari ini teman-temannya tidak mengganggunya. Itu saja, ia tidak berharap teman-teman akan bermain dengannya.

Pagi-pagi sekali, ia sudah sampai di kelas. Menyapu barisannya, kemudian duduk di bangkunya yang terletak di pojok kanan, ujung belakang.

Sarah duduk, menunggu gurunya masuk ke kelas. Teman-temannya mulai berdatangan, mereka yang piket pun mulai menyapu.

“Siapa yang piket hari ini.” Sinta berteriak. Ia adalah gadis paling gendut di kelas Empat.

“Sarah, Dewi, Laras, sama Anton.”Gadis menjawab pertanyaan Sinta

“Sarah, udah nyapu belum?” tanya Sinta. Sarah mengangguk.

Sinta melihat barisan Sarah, seolah menyangsikan ucapan Sarah.

“Dewi! Kamu piket hari ini. Malah enak-enak cerita.”

“Nggak, ada sapu.”

“Sapu, kan, ada di dekat meja Sarah. Dari dulu perasaan engga pindah, deh. Kamu mah, alasan aja.”

“Nggak mau, ah. Jijik deket dia.”

Sarah mendengarnya, tapi ia diam saja. Seolah tidak tahu apa-apa.

“Eh, Sarah, ambilin sapunya!” teriak Ria.

“Ini, Ria.” Sarah mengulurkan sapu pada Ria.

Gadis yang bernama Ria menerima sapu yang diberikan Sarah. Kemudian ia memberikannya pada Dewi. Dewi menerimanya, tapi ia mengelapkan ujung yang tadi di pegang Sarah ke baju teman-temannya.

“Ih … jijik.”

“Aaa! Dewi kamu apa-apaan si.”

“Emangnya kalian mau, pegang yang abis dipegang sama Sarah? Nggak mau kan?”

“Ya, tapi ga usah digituin juga.”

Selepas adegan itu, Dewi mulai menyapu.

Sarah bisa mendengar semuanya, lagi-lagi ia tidak ingin peduli. Tangannya bersih, tak ada kotoran di sana. Tapi teman-temannya selalu bersikap seperti itu. Bagi mereka dirinya adalah najis yang haram jika sampai tersentuh.

Setelah menyapu, Dewi mengembalikan sapu dengan melempar ke arah Sarah. Ujung kayunya mengenai kaki mungil Sarah. Gadis itu meringis kesakitan. Sedang Dewi bersikap biasa saja tanpa rasa bersalah.

Sarah menangis. Hari-hari di sekolah selalu seperti itu. Sebenarnya sakit di kakinya bisa ia tahan agar tidak menangis. Tapi ada luka di hatinya yang tidak sanggup ia tahan.

Hari ini Sarah mulai membenci teman-temannya. Sarah bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan pernah mengenal mereka lagi, ia hanya berharap masa-masa ini segera berakhir. Ia tidak ingin di sekolah ini lagi. Ia benci tempat ini.

***

“Tuhan, aku percaya suatu saat aku akan menjadi orang yang sukses. Anak-anakku tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan,” ucapnya lirih

Gadis itu berjalan cepat ke rumahnya. Matahari sangat terik di jam pulang sekolah. Rasa lapar mulai menguliti perutnya.

“Assalamualaikum,” ucapnya saat masuk ke dalam rumah.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Sarah membuka tudungsaji di atas meja, ada sepotong tahu kecap dan sepiring nasi.

“Kakak.” Sarah menoleh. Ia melihat adiknya pulang bersama sang ibu. Sepertinya ibu baru saja pulang dari mencuci di sungai.

Sarah mendekati adiknya. “Iya?”

“Mau makan.”

“Kamu belum makan?”

Nissa menggeleng.

“Ya udah sini.”

Nissa mendekat ke arah sang Kakak, keduanya pun mulai makan bersama. Sedang sang ibu menjemur pakaian di samping rumah.

Di sana, diam-diam sang ibu menitikkan air mata. Tak ada yang tahu, juga tak ada yang peduli. Ia hanya punya harapan, kedua anak gadisnya akan hidup bahagia kelak. Tak seorang ibu pun yang tega melihat anaknya menderita.

________________

To be continue ….

Bab 3

Seperti biasa, Sarah akan segera pergi memulung sepulang sekolah. Ditemani sang adik, ia mulai menelusuri jalan. Tempat yang pertama kali ia tuju adalah sebuah pasar di desa seberang.

Biasanya, ia akan menemukan banyak barang bekas di sepanjang pasar, apalagi saat ini pasar baru saja selesai. Masih banyak penjual-penjual yang sibuk membereskan dagangannya untuk dibawa pulang, kemudian akan dibawa lagi saat hari pasaran tiba.

Sarah dan adiknya pergi dari pasar, mereka menelusuri rel kereta api menuju stasiun yang tidak jauh dari pasar. Rencananya, mereka akan kembali ke pasar saat orang-orang itu sudah selesai membereskan dagangannya.

Dibelakang bangunan peninggalan Belanda di jaman penjajahan itu, ada sekotak besar tempat sampah, yang menjadi pusat pembuangan para pengunjung stasiun.

“Kakak, di sini ada banyak sekali botol susu!” teriak Nissa, yang entah sejak kapan terlepas dari gandengan sang kakak.

Sarah yang sedang memunguti sampah di sepanjang area stasiun, segera berjalan ke arah sang adik. Benar saja, di sana terdapat banyak sekali botol susu, Sarah langsung memungutnya dan memasukkannya ke dalam karung.

“Kak, karungnya udah penuh!” seru Nissa girang. Wajahnya tersenyum membentuk lengkungan manis di bibirnya.

“Iya, kita pulang dulu, yuk. Nanti, balik lagi ke sini,” ajak Sarah. Sang adik menurut. Keduanya pun berjalan mendekati rel kereta.

Saat hendak menyeberang, sebuah kereta terlihat dari arah timur. Sarah mengurungkan niatnya. Menunggu kereta itu berlalu bersama gerbong-gerbong tua yang sangat panjang.

Kereta itu telah lewat, Sarah dan Nissa segera berlari menyebrangi rel kereta. Persis setelah mereka sampai di sisi seberang. Sebuah kereta kembali lewat dari ujung barat.

Kali ini tidak langsung lewat, melainkan berhenti beberapa saat di stasiun. Sarah sempat memperhatikan orang-orang masuk ke dalamnya. Setelah mengangkut setiap penumpang yang ada, kereta itu kembali melaju ke arah timur.

Sarah dan adiknya kembali berjalan, mereka memilih pulang melewati pematang sawah dekat bangunan sekolah tempat ia belajar setiap pagi. Karena lewat sawah-sawah ini akan jauh lebih cepat sampai ke rumah dibandingkan lewat jalan raya.

Tubuh Sarah nampak sempoyongan mengangkut karung yang berukuran lebih besar dari badannya. Sang adik berjalan di depan agar tidak tertinggal oleh langkah Sarah yang jauh lebih cepat.

“Ayo Dik, jalannya ke depan. Jangan berhenti berhenti, Kakak udah capek bawa karungnya,” ujar Sarah dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.

“Iya, Kak. Aku juga capek.” Nissa berjalan pelan.

Brugh! Dentuman karung yang diletakkan secara kasar, membuat Nissa berhenti dan menoleh ke arah kakaknya. Bisa dia lihat, sang kakak sedang menselonjorkan kakinya di tanah. Nissa mendekat.

“Kakak, capek. Kita istirahat dulu sebentar. Nanti kita lanjut lagi jalannya,” ucap Sarah meminta sang adik untuk beristirahat.

“Iya, Nissa juga capek.” Nissa duduk di samping Sarah. Tangannya memainkan daun bambu yang berserakan di samping lahan sawah.

Sarah menghela napas panjang, wajahnya berkeringat, bibirnya pecah-pecah. Mungkin dia kehausan. Sedang Nissa mulai berlari lari, mulutnya mengoceh asal, khas seorang anak kecil.

Naas kaki mungilnya terjerembab ke dalam lubang besar di tanah yang pecah-pecah dan penuh tanaman jagung. Gadis kecil mulai menangis, kakinya tergores tanah yang mengeras akibat kemarau panjang.

“Huaaaa!”

Langkah Sarah gontai menghampiri sang adik, suara tangis Nissa semakin keras.

“Sini.” Sarah mengangkat tubuh adiknya dari lubang, dan menggendongnya ke atas.

“Mana yang sakit?”

“Ini … hiks hiks.”

“Apanya?”

“Kakinya sakit, berdarah. Ada darahnya. Huaaa!” teriak Nissa histeris.

“Mana, sini sini.” Sarah mengusap darah di kaki Nissa dengan kain bajunya. Di tiupnya luka di kaki Nissa sampai tangis sang adik mulai mereda.

“Hiks hiks.”

“Udah, jangan nangis. Ayo kita pulang.”

“Hu’um. Hiks hiks hiks.”

“Berhenti dulu nangisnya.”

“Hu’um.”

Sarah mengambil karung, untuk kemudian ia panggul di bahu. Satu tangannya menggandeng tangan Nissa. Keduanya kembali berjalan menelusuri pematang, kemudian melewati ladang bambu dan lapangan. Setelah sampai di jalan raya, keduanya berbelok ke kanan, ke arah rumahnya.

Di gang menuju rumah, Nissa melepaskan gandengan sang kakak, berlari mendahului untuk sampai di rumah lebih dulu.

Sarah hanya memandang Nissa dengan tatapan kosong. Ia terus berjalan sampai akhirnya ia sampai di rumah. Segera ia keluarkan semua isi karung. Karung ia lipat, kemudian menghampiri sang adik yang sedang minum air putih di dalam.

“Ayo kita pergi lagi, keburu yang di pasar habis,” ajak Sarah setelah menenggak segelas air putih.

“Ayooo!” Nissa berlari penuh semangat. Sepertinya ia sudah lupa dengan luka di kakinya. Sarah mengikuti dari belakang.

Sampai di pasar, tempat itu sudah sepi. Hanya satu dua saja yang masih ada di sana. Sarah dan adiknya menelusuri seluruh pasar. Memunguti kertas-kertas, maupun botol plastik bekas yang tidak terpakai. Jika beruntung, ia akan menemukan potongan besi, tembaga, atau uang kertas yang ada di tumpukan sampah.

Seperti hari ini, Sarah sibuk memunguti kertas-kertas bungkus rokok, juga kardus-kardus bekas di tumpukan sampah. Saat memilah-milah sampah dengan gerakan cepat ia melihat selembar uang dua puluh ribu di sana.

Entah siapa pemiliknya, uang itu ada di tumpukan paling bawah. Mungkin milik pengunjung pasar yang terjatuh. Sarah memungutnya, sesaat kemudian datang seorang ibu-ibu yang akan membakar sampah yang tadi dikaisnya.

“Bu, tadi aku menemukan uang di tumpukan sampah ini.”

“Berapa?”

“Dua puluh ribu.”

“Ya sudah, buat kamu aja. Itu namanya rezeki kamu, mungkin uang itu milik pengunjung yang terjatuh,” ucap ibu-ibu itu setelah melihat uangnya di saku.

Sarah pun pergi menghampiri sang adik yang sibuk berlarian di salah satu los pasar.

“Dik, kakak dapat uang.”

“Mana?”

“Ini!” serunya menunjukkan selembar uang dua puluh ribu.

“Wahhh.”

“Nanti kita bisa beli jajan di warung sana ya?”

“Di mana?”

“Nanti waktu pulang, di deket lapangan SD, yang waktu itu kakak ajakin kamu beli es rujak itu loh.”

“Oh yang itu. Mau mau.” Nissa sangat girang. Wajahnya tidak sabar akan merasakan es rujak seperti yang ia minum dua minggu lalu.

Dua minggu yang lalu Sarah memang mengajak sang adik membeli es di sana. Saat itu, Sarah diberi uang oleh ibunya. Ibu bilang ada rezeki lebih waktu itu.

“Ya udah, kita pulang yuk. Nanti kita beli Es dan istirahat di perbatasan sawah dan lapangan. Kakak udah capek, karungnya juga udah penuh.” Sarah mengajak sang adik segera pulang.

Nissa hanya mengangguk. Berjalan mengikuti sang kakak di belakang.

“Dik, kamu di depan Kakak aja. Biar Kakak ga capek nengokin kamu ke belakang terus,” ucap Sarah. Ia menghentikan langkahnya sebentar, menunggu sang adik berjalan di depan.

Keduanya berjalan pulang, melewati rute yang biasanya. Jika dari pasar, mereka akan langsung menembus jalan tengah yang memisahkan antara dua bangunan kios.

Mereka berjalan lurus melewati sepetak sawah, rel kereta api, kemudian berakhir di lapangan Sekolah dasar.

Dari lapangan ujung utara, mata Sarah berbinar melihat bangunan toko yang terletak di pinggir lapangan bagian tengah.

Rasa dingin yang mengaliri kerongkongan seolah sedang menanti kedatangannya.

_______________

To be continue ….

Bab 4

Harapannya, adalah segera sampai ke toko itu dan membeli es lilin seperti yang ia inginkan.

Tapi kenyataan berkata lain, es lilin yang ia dambakan sudah habis sejak tadi. Ia pun pulang dengan harapan yang hampir pupus.

Harapan itu kembali tumbuh saat Nissa memintanya membeli es krim saja setelah pulang. Di kepalanya mulai ada bayang-bayang es krim yang lezat.

Sampai di rumah, Sarah justru melihat apa yang tidak seharusnya ia lihat. Ibunya dipukuli oleh bapak demi merampas uang lima puluh ribu yang ibu sembunyikan untuk makan malam.

Setelah merampas uang hasil jerih payah ibunya, Sarah melihat laki-laki yang ia sebut sebagai Bapak itu berlalu dan pergi mengendarai motor.

Ada rasa sakit di hati Sarah. Gadis yang selama ini dibesarkan dengan teori nilai-nilai kebaikan. Namun praktek yang ia lihat selalu bertolak belakang. Entah itu di rumah, ataupun di sekolah.

Norma-norma yang selalu diajarkan padanya seolah tak ada artinya.

Ia menghampiri sang ibu yang terdiam dengan wajah yang tak bisa dijelaskan, sedih, kecewa, dan marah. Semuanya mendominasi.

Gadis itu memberikan uang yang tadi ia temukan kepada ibunya. Bisa ia rasakan usapan tangan ibu yang terasa lembut di kepalanya. Kali ini, harapan memakan sebuah es krim benar-benar pupus di kepalanya.

“Sarah, ibu pakai uang ini buat beli beras ya?”

“Iya, Bu. Itu kan udah jadi uang ibu.”

“Kamu ikut engga?”

Sarah mengangguk, ia digandeng ibunya pergi ke toko Bu Ripah, sedangkan Nissa bergelayut manja dalam gendongan Ibu.

Sesaat ia melirik wajah sang ibu, gurat lelah tampak jelas di sana. Dalam hati ia berjanji, tak akan membiarkan sang ibu terluka di hari tuanya.

Tidak lama mereka sudah sampai di toko Bu Ripah, yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Ia melihat ibunya membeli setengah kilo beras dan dua telur. Ibunya membeli dua buah es krim harga dua ribu untuk dirinya dan Nissa.

Harapan yang tadinya pupus, kini terpenuhi tanpa dia harus meminta pada sang ibu. Kebahagiaan langsung merekah di wajah keduanya.

Di rumah, ibu langsung memasak nasi di dapur. Dua telur di dadar dengan bumbu garam. Setelah matang, telur dipotong menjadi dua bagian. Setengah untuk bapaknya, setengah lagi dipotong menjadi tiga. Untuk Ibu, Nissa, juga dirinya.

Terkadang dirinya merasa miris, tapi ia memilih tersenyum. Ia yakin dengan ia tersenyum akan memberi kekuatan kepada sang ibu.

***

Waktu terus bergulir, hari ini ia akan pergi ke sekolah. Semangat yang ia pancarkan masih seperti biasa. Meski terkadang ia malas ke sekolah, akibat perlakuan teman-temannya yang tidak mengenakkan.

Sepasang kaki mungil menapaki jalanan aspal menuju sekolahnya. Tidak terlalu jauh, tapi mampu membuat pegal kaki yang tidak biasa berjalan sejauh itu.

Sarah tersenyum melihat gerbang sekolah yang sudah terlihat dari ujung lapangan. Setengah berlari ia melewati lapangan sepak bola yang sangat luas ini.

Sejak pertama ia masuk ke dalam kelas, semua sudah heboh membicarakan guru baru yang akan mengajar di kelasnya. Dilihat dari wajah teman-temannya, mereka terlihat sangat senang dengan kedatangan guru itu.

“Guru baru!?” seru salah seorang teman Sarah. Sinta namanya.

“Iya.” Firman menjawab.

Mereka kemudian berbisik-bisik. Sarah yang penasaran tentang guru baru yang sedang ramai dibicarakan pun ikut mendekat.

“Ada apa Sinta?” Sarah bertanya, wajahnya sangat berharap dapat jawaban.

“Kepo! Sana, duduk lagi sana! Ntar juga tahu!” sentak Sinta.

Mau tak mau Sarah kembali bungkam, kakinya memilih melangkah menjauhi kerumunan teman-temannya. Ia duduk di bangku menunggu guru datang ke kelasnya.

Pukul tujuh seharusnya kelas sudah masuk, tapi entah kenapa hari ini kelas kosong sampai bel istirahat. Sarah sempat mendengar bahwa gurunya sedang rapat.

Dari bisik-bisik teman-temannya, mereka menduga rapat itu membahas tentang di mana guru baru itu akan di tugaskan. Di kelas empat atau kelas lima. Itulah sebabnya banyak teman-teman Sarah yang sibuk merapal doa agar guru baru itu di tugaskan di kelas mereka.

Lain teman-temannya, lain pula dengan Sarah. Anak itu seolah tidak tertarik siapa guru yang akan mengajar di kelasnya. Yang ia tahu, siapapun guru yang mengajar tidak akan merubah nasibnya di sekolah ini.

Selama pelajaran kosong. Kelas sepi dalam sesaat, dan sesaat kemudian kembali ramai. Terus seperti itu. Teman-temannya sibuk mondar-mandir, sedang dirinya akan diam di kelas saat sedang ramai. Namun ketika sepi, ia akan berdiri di ambang pintu. Kadang ia merasa takut berada di dalam kelas sendirian.

Teman-temannya sudah berkali-kali pergi ke kantin. Saat kembali ke kelas mereka akan membawa berbagai jenis makanan juga minuman. Disaat seperti itu, Sarah lebih memilih duduk di bangkunya dan menelungkupkan wajahnya di meja.

Teman-temannya sering menganggap ia sebagai pengganggu jika duduk di dekat mereka. Sarah tidak menyukai pandangan merendahkan dari teman-temannya.

Sarah memang jarang pergi ke kantin. Anak itu sangat jarang membawa uang saku ke sekolah. Hanya kadang-kadang jika ibunya sedang ada uang lebih saja.

Sekarang masih jam istirahat, saat ini Sarah sedang duduk di tempat duduk memanjang yang terbuat dari batu dan semen di depan kelas. Matanya menerawang jauh hingga menembus lapangan. Jauh di ujung barat, matanya tidak berhenti menerawang.

Di lapangan, teman-teman laki-lakinya sedang bermain sepak bola. Sarah mengalihkan pandangan dan menjatuhkannya di sana. Kadang ia tersenyum melihat mereka saling bersorak saat bola masuk ke gawang. Tapi sesaat kemudian ia kembali merenung.

Merenungkan setiap hal yang ia alami. Memikirkan kenapa ia tidak terlahir sama seperti teman-temannya.

“Tuhan … Ibu bilang, jika seorang anak terus bersikap baik, maka engkau akan menyayanginya.” Sarah berucap lirih. Sangat lirih, hingga hanya dirinya dan Tuhan saja yang bisa mendengar.

“Tuhan … aku ingin seperti mereka. Aku mohon, aku ingin tahu bagaimana rasanya punya teman. Teman yang tulus dan baik. Bukan teman yang hanya tahu cara menyakiti. Bukan teman yang datang dengan alasan lain, selain benar-benar tulus.” Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Hampir sedikit lagi, air itu akan jatuh ke pipinya.

Saat-saat sendu, Sarah tiba-tiba merasa ingin ke kamar mandi untuk membuang hajat kecil.

Setengah berlari ia menuju kamar mandi. Saat ingin berbelok, Sarah melihat jalan sangat ramai dengan anak laki-laki yang sedang menongkrong. Ia merasa takut, dengan terpaksa ia kembali ke kelasnya.

Sebelum pergi, ia sempat mendengar olokan salah satu orang di sana. “Bener, kan kata aku. Kalau dihadang dia ga bakalan berani lewat. Hahaha, dasar pacarnya Gilang.”

“Siapa?” Gilang yang tadinya asik mencoret dinding menanggapi.

“Sarah!”

“Hahaha!”

“Gilang pacarnya Sarah!”

Sarah bisa mendengarnya dengan jelas. Hatinya seperti ditusuk-tusuk benda tak terlihat. Sangat nyeri.

Langkahnya melambat. Ia kembali ke kelasnya dengan gontai.

“Kelas empat masuk!”

“Kelas empat masuk!”

“Sinta! Dina, Adit! Masuuuk!”

Dari jauh Sarah mendengar teriakkan bahwa kelasnya masuk. Meski menahan pipis, ia juga ikut berlari agar bisa sampai ke kelas lebih cepat.

“Permisi, maaf Pak. Saya terlambat,” ucap Sarah sesampainya di pintu.

“Iyaa, silahkan duduk.” Gurunya menjawab lembut.

Sarah langsung duduk di bangkunya. Ia menatap wajah asing di depan, sepertinya guru baru yang sempat jadi buah bibir teman-temanya akan mengajar di kelas ini.

_______________

To be continue ….

Baca juga ;

*Rahasia di Rumah Maduku (Tamat)

*Bekas Lipstik (Tamat)

*Runtuhnya Dinding Keangkuhan (Tamat)

*Gembel Metropolitan (Tamat)

*Ditalak Usai Disentuh (Tamat)

*Istriku Tidak Halal (Tamat)

*Rumah Impian (Tamat)

*Mayat di Pinggir Sungai (Tamat)

Bab 5

Akhirnya, setelah beberapa Minggu kelas ini diajar oleh guru sementara yang juga mengajar di kelas lima. Hari ini kelas ini mendapatkan guru tetap, setelah ditinggal pindah tugas guru sebelumnya.

Sarah yang baru saja duduk mengamati Pak Guru Barunya. Pak guru itu mengenakan celana bahan hitam dan batik warna coklat muda. Di wajahnya ia bisa melihat kewibawaan terpancar dari sana.

“Ekhem.” Pak Guru baru itu berdehem, nyaring sekali suaranya.

Seketika kelas yang tadi hening, kini semakin hening.

“Loh, kok malah pada diam?” Pak guru menatap ke seluruh kelas.

Beberapa anak justru terkikik mendengar ucapan Pak Guru. Guru itu juga tersenyum.

“Halo! Selamat siang anak-anak!”

“Siang, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak.

“Bagaimana, apakah ada yang sudah mengenal saya? Pasti belum, kan?” tanya Pak Guru lagi.

“Sudaaah!” Hampir seluruh kelas berteriak.

“Beluuum!” Minoritas anak yang tidak tahu pun menyahut.

Sekejap kelas mulai rusuh. Suasana kelas baru tenang saat Bapak Guru meletakkan jari telunjuk di bibirnya dan berkata, “Syuttttt!” Kemudian tersenyum.

“Syuttt. Diam diam!” perintah seorang anak pada teman-temannya dengan suara agak berbisik.

Kelas kembali hening. Dalam beberapa detik, keadaan masih bertahan seperti itu.

“Baik. Ekhem! Ekhem! Tes tes!” Kelas ricuh dengan tawa mendengar Pak Guru terus berdehem.

“Tes,” ucap Pak Guru sambil memiringkan kepalanya. Berlagak seolah sedang berada di atas panggung komedi. Sontak anak-anak semakin tergelak.

Sarah yang biasanya diam, kali ini juga ikut tertawa. Untuk pertama kalinya, wajah itu tampak ceria di sekolah.

“Hemmm. Baiklah anak-anak. Mungkin sebagian dari kalian banyak yang sudah tahu dan mengenal saya. Tapi ada juga sebagian yang belum mengenal saya.” Pak Guru mulai serius. Ucapannya berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.

“Bapak ingin tahu, di sini siapa yang belum mengenal saya. Coba angkat tangannya?”

Beberapa anak mulai mengacungkan tangan. Termasuk Sarah.

“Satu, dua, tiga, lima belas. Wah … banyak juga ya. Berarti saya kurang terkenal ini,” ucap Pak Guru sambil mengusap-usap dagunya dengan wajah yang dibuat-buat kecewa.

Keningnya mengerut, ia tampak berpikir. Sementara kelas terus ramai oleh tawa melihat tingkahnya.

“Hemm. Nama saya Bapak Riyandi. Kalian bisa memanggil saya Pak Riyan. Kalian mengerti?” Pak Riyan menaikturunkan alisnya.

“Mengerti, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak, Pak Riyan mengacungkan jempolnya.

“Alamat rumahnya saya, emm … ada yang tahu?”

“Aku tau!”

“Aku juga tau!”

Anak-anak berebut ingin menjawab. Pak Riyan meletakkan telunjuknya di bibir untuk kesekian kali sampai kelas kembali tenang.

“Daripada mereka penasaran.” Pak Riyan menunjukkan anak-anak yang tadi mengacungkan tangan.

“Bapak akan menjawab. Rumah saya jauuuuh sekali. Jika kalian pergi ke re kereta api, dekat stasiun itu kalian lurus aja ke Utara sampai mentok. Kemudian belok ke kiri luruuuuus terus. Depan balai desa. Nah, di situ tuh rumah saya,” jelas Pak Riyan.

“Ohhhhhh.” Anak yang baru tahu ber ‘Oh’ ria.

“Jauh, kan?”

“Dekeeeet!”

“Tenang-tenang. Kalian pasti bingung, kan. Kenapa saya berdiri di sini?” tanya Pak Riyan.

“Iyaaa!” Anak-anak selalu saja kompak dalam menjawab.

“Aku tahu, Pak!” Salah seorang anak berseru.

“Apa coba?” Pak Riyan memicingkan matanya sambil tersenyum.

“Eung … pak Riyan mau ngajar di sini, kan?”

“Siapa bilang?” Pak Riyan terus tersenyum.

“Eungg ….” Anak itu jadi kebingungan.

“Dia benar, saya akan mengajar di sini. Menggantikan Ibu Ana yang pindah tugas. Mulai hari ini saya yang akan mengajar di sini.” Pak Riyan menjelaskan.

“Yeeeee!”

“Loh, kok malah pada senang begitu? Kenapa? Saya ini orangnya galak loh.” Pak Riyan terus saja menggoda anak didik barunya.

“Engga.” Mereka menyangkal.

“Bener loh.”

“Pak Riyan Bohong.”

“Iya, Pak Riyan itu engga galak. Orang aku pernah lihat waktu di … waktu di … wak_”

“Di apa?” Pak Riyan memotong ucapan muridnya.

“Nggak apa-apa Pak. Hehe.” Anak itu akhirnya diam karena merasa malu.

“Oh, iya anak-anak. Karena ini hari pertama Bapak mengajar, kita santai-santai dulu ya. Saya kan sudah perkenalan, sekarang giliran kalian maju satu persatu buat kenalan.” Pak Riyan duduk di kursinya.

Satu persatu anak mulai maju ke depan sesuai nomor absen. Hari ini tidak ada satu pelajaran pun. Setiap anak nampak sangat bahagia.

***

Hari ini, cuaca sangat terik. Setengah hari di sekolah tanpa minum sedikit pun, membuat tenggorokannya juga ikut kering.

Sarah berjalan lemas pulang sekolah. Meskipun begitu, wajahnya terhias senyuman. Entah kenapa, ia merasa guru barunya berbeda.

Sampai di rumah, ia langsung berlari ke belakang. Matanya mencari-cari keberadaan teko plastik, saat menemukannya tubuhnya semakin lemas seketika.

Teko itu kosong, ia beralih mencari panci yang biasa digunakan untuk merebus air. Di sana juga kosong, sepertinya sang ibu tidak sempat memasaknya.

Sarah mengganti pakaiannya, kemudian pergi ke dapur. Di liriknya tumpukan kayu bakar yang tinggal sedikit.

Anak itu mulai mengambil panci dan mengisinya dengan air. Ia menyalakan kayu bakar di dapurnya yang masih menggunakan batu.

Cekatan sekali dirinya, tidak butuh waktu lama kayu-kayu itu sudah menyala. Sarah letakkan panci itu di atasnya. Api semakin besar, membuat dirinya merasakan gerah dua kali lipat.

Asap mengepul, air sudah mendidih. Sarah mengangkatnya, panci besar itu ia letakkan di atas meja. Tempat biasa panci itu diletakkan.

Haus, panas, dan gerah. Itulah yang dirasakan Sarah. Gadis kecil itu duduk dan mengipas-ngipas wajahnya. Semilir angin yang tiba-tiba datang membuatnya mengantuk, sampai tanpa sadar ia tertidur.

“Suruh dia bangun!”

Deg!

Sarah terlonjak kaget. Nissa berdiri di sampingnya.

“Kakak, ayo pergi mulung. Bapak ngamuk.” Nissa berbisik.

“Kenapa ngamuk?” tanya Sarah masih belum tersadar penuh.

“Gara-gara, Kakak pulang sekolah malah tidur.” Nissa menjawab pertanyaannya, masih dengan suara yang berbisik-bisik.

“Ayo, Kak. Nanti Bapak balik ke sini, ngamuk lagi. Tadi aja Ibu di pukul.”

Darah yang mengalir di tubuhnya serasa mendidih. Luka yang ia simpan kian bertumpuk. Ia pergi ke belakang. Buang air kecil yang sejak pagi ditahan, kemudian mencuci mukanya.

“Ibu nggak berguna! Anak udah gede, nggak diajarin rajin. Supaya gedenya sukses. Malah dibiarkan tidur siang-siang.”

Sarah masih mendengar bapaknya yang terus menerus mengomel. Ibunya diam, ia heran. Kenapa ibunya tidak pernah berusaha melawan.

Berat hatinya meninggalkan ibu di rumah. Ia berharap ibunya segera pergi lagi, mencuci dan rumah-rumah tetangga akan lebih baik, daripada dipukuli oleh Bapak di rumah.

Lagi-lagi akan selalu seperti ini. Ia berjalan pelan dibawah terik matahari. Kerongkongan yang mengering, kini sudah terasa sakit.

“Ibu tadi diapain aja sama Bapak, Dik?” tanya Sarah, demi menjawab rasa penasaran dan khawatir di hatinya.

“Ibu dipukul, sama dilempar pake sendal. Terus ibu pergi ke belakang.” jawab Nissa pelan.

“Hmmm.”

Hening.

_______________

To be continue ….

Tertarik Dengan Buku : Napas Terakhir di Bosphorus ?

Napas Terakhir di Bosphorus

Esana Gulpinar