Terima kasih telah bersedia membaca tulisan ini. Semoga ada hikmah dari kisah singkat seorang Sarah. Selamat membaca, jangan lupa follow dan subscribe yaa ….
Bab 1
Harusnya saat ini ia bemain, sama seperti anak kebanyakan. Tapi saat anak-anak seusianya sedang sibuk bermain, ia justru sibuk mengais sampah demi sampah di sepanjang jalan.
“Makan cepat-cepat! Habis itu bantuin orangtua.”
“Jangan malas-malasan. Kamu itu anak orang susah! Jangan bersikap seolah kamu anak orang kaya.”
Sarah mempercepat makannya. Setelah sepiring nasi, dan tempe goreng serta, sambal masakan ibunya masuk ke dalam perut. Sarah langsung menyambar karung yang biasa ia pakai, dan menggandeng tangan adiknya yang masih kecil.
Sebelum pergi, gadis usia sepuluh tahun itu melangkah hati-hati mendekati Bapaknya.
“Pak, mau cium tangan.”
“Gak usah. Tangan bapak kotor, langsung pergi saja sana.” Wajah bapaknya seperti menahan marah.
Sarah berlalu, mengabaikan sesak atas penolakan dari sang bapak. Kaki mungil, tanpa alas kaki menelusuri jalanan beraspal. Seketika rasa panas menjalar ke telapak kakinya. Sarah memang tidak memilikinya, satu-satunya alas kaki beda warna yang ia miliki, putus satu minggu yang lalu. Orangtuanya tak mampu membelikan yang baru.
“Kakak … kita mau kemana?”
“Cari barang bekas, Dik.”
“Yee! Kita jalan-jalan ya?”
Adiknya yang belum mengerti apa-apa, justru bersorak girang. Sarah hanya mengangguk agar adiknya bahagia. Jika ia jelaskan sekalipun, adiknya tak akan mengerti, dan menganggap pekerjaan ini sebagai perjalanan yang menyenangkan.
“Kak … mau minum.” Nissa hampir menangis.
“Nanti ya, Dik. Kita kumpulin ini dulu, biar dapat uang banyak. Terus, kita beli es di dekat pasar. Kamu mau, kan?”
“Mau mau mau!”
“Ya udah, kalau begitu jangan nangis ya.” Sarah sadar ucapannya hanya penenang belaka.
Si mungil itu kehausan. Sarah merasa iba pada adiknya, tapi apalah daya uang yang ia punya hanya lima ratus rupiah. Sedang ia tahu harga es paling murah adalah dua ribu. Ia sendiri juga merasa haus. Akibat buru-buru, ia sampai lupa minum setelah makan.
Ia abaikan kerongkongan yang kering kerontang. Tangannya mulai memilah-milah sampah, di tong depan toko paling ramai di kampungnya. Diambil botol, kaleng, kertas, juga apapun yang bisa di jual.
Saat itu, banyak tatapan jijik dan meremehkan ke arahnya. Tetapi, gadis yang masih sangat lugu ini tak terlalu peduli. Ia terus melaksanakan aktivitas, berpindah dari sampah satu ke sampah lainnya.
***
“Kakak haus … hiks hiks.”
“Ayo beli es. Aku haus, Kak.”
Sarah kebingungan, adiknya terus saja merengek, minta dibelikan minuman. Diusap-usap lembut kepala sang adik, sambil terus menyusuri jalan.
“Kak, tunggu bentar.”
Nissa melepaskan diri dari genggaman tangannya, berlari ke arah belakang, berjongkok, kemudian kembali ke samping Sarah.
“Aku dapat uang Kak. Kita beli es yaa?” tanya sang adik memberikan uang lima ratusan.
“I-iya. Ini kakak tambahin. Kita bisa beli es sirup di dekat pasar.”
“Dekat pasar mana, Kak?”
“Penjual es yang sering kita beli di sana.”
Berbekal uang seribu rupiah, dua gadis kecil bersemangat berjalan ke arah pasar. Bayangan rasa segar yang mengaliri kerongkongan kering, terasa begitu menyenangkan.
Langkahnya lebar-lebar, agar bisa segera sampai ke sana. Sesampainya di toko, Sarah mengajak adiknya masuk, dan menyampaikan niatnya membeli es sirup.
“Bu, beli es sirup seribu boleh?”
“Sirup harga dua ribu!”
Sarah terlonjak, kaget karena jawaban yang keras dan sinis. Ia langsung mengajak adiknya pergi. Sarah hampir menangis, karena sikap kasar dari penjual.
“Kakak ga jadi beli?”
“Kita beli di tempat lain ya.”
“Kenapa? Ibu-ibu tadi jahat ya, Kak? Kok teriak-teriak.”
“Engga, di sana esnya habis. Kita beli minuman gelas di sana saja, ya. Mau kan?”
“Iya.”
Setelah perjuangan keras, akhirnya kakak beradik itu bisa minum segelas air dingin. Rasa kering di kerongkongan Sarah sudah hilang, adiknya juga tak merengek lagi.
Sisa air dalam gelas mereka simpan. Siapa tahu akan haus lagi nanti. Mereka sudah tidak punya uang sepeserpun.
Sampai sore menjelang, dua gadis cilik itu baru Berniat pulang ke rumah. Sekarung barang bekas ia bawa dengan napas terengah-engah. Bagi gadis sekecil Sarah, satu karung tanggung memang sangat berat.
Ia beberapa kali berhenti saking beratnya, usaha kerasnya tidak sia-sia. Sarah dan adiknya berhasil sampai ke rumah dengan selamat.
“Assalamualaikum ….”
Sarah masuk ke dalam rumah. Tak ada yang menjawab salamnya, ia letakkan karung di tempat biasa. Saat itu ia mendengar teriakkan di dalam rumah.
“Istri tak tahu diri! Mana uangnya!”
Deg! Ini bukan kali pertama, Sarah melihat ibunya, di perlakukan dengan kasar.
“Ibu … ibu … tadi aku habis jalan-jalan sama Kak Sarah. Jalan-jalan jauh, ke sanaaaa, sana, sana ….” Nissa yang masih sangat kecil justru asik menceritakan tentang jalan-jalan.
Dari jauh Sarah bisa melihat sorot kesedihan di mata ibunya, wanita yang paling ia sayang masih mampu tersenyum dan memeluk Nissa.
“Oh ya? habis jalan-jalan ya?”
“Iya hahaha.”
“Hehe, Adek makan yaa. Ajak kak Sarah juga.”
Nissa berlari ke arah Sarah dan mengajak kakaknya makan. Sarah menurut, ia ambil sepiring nasi serta sayur bayam untuk dimakan berdua bersama sang adik.
***
Setelah isya Sarah berbaring di kamar bersama adiknya. Adiknya sudah tertidur, sedang ia masih terjaga. Hatinya resah hingga ia tak bisa memejamkan mata.
Dari dalam kamar ia bisa mendengar lagi-lagi Bapaknya memarahi sang ibu. Bapak terus saja memaki dan memarahinya, sedang ibu hanya diam. Tak berani melawan, selalu seperti itu.
“Tuhan ….” lirihnya.
Didalam kamar yang minim cahaya, Sarah menangis. Ia tidak tahu sampai kapan keadaan akan terus seperti ini. Teriakan bapak, tamparan, makian dan segala hal yang membuat panas telinganya.
Setelah memanjatkan doa dalam diam, Sarah bersiap untuk menyusul adiknya tidur. Tapi teriakan ibu membuatnya urung.
“Hahhh!”
Prang!
Sarah berlari keluar, mendapati ibu yang tersungkur. Tubuhnya yang kurus mencium tanah yang keras akibat musim kemarau panjang.
“Ibu … hiks hiks.” Sarah berlari memeluk sang ibu.
“Ibu kenapa? Ibu ga apa-apa kan.”
Ibu hanya memeluk Sarah, bapaknya sudah pergi entah kemana.
“Ibu udah makan?”
“Udah sayang, kamu kok belum tidur. Cepat tidur gih. Besok kamu sekolah.”
“Iya Bu.”
Dengan berat hati Sarah meninggalkan sang ibu ke kamar. Rasa lelah sepanjang hari membuatnya terlelap hingga menjelang pagi.
***
“Sarah, bangun nak. Sudah pagi.”
“Iya Bu.”
Sarah menjawab sang ibu, terduduk sebentar, kemudian tidur lagi dalam keadaan tengkurap.
“Loh malah tidur lagi, ayo bangun.”
“Hmmm.”
“Bangun, Sarah. Jangan sampai bapak marah.”
“I-iya Bu.”
Langkahnya sempoyongan ke belakang. Masih dengan mata setengah terpejam Sarah mengambil wudhu dan shalat subuh.
Hari ini, setelah mengambil air dari sungai yang berjarak agak jauh dari rumahnya, Sarah mencuci muka, tangan, dan kakinya. Ia juga menggosok gigi sebelum berganti memakai seragam merah putih yang lusuh.
Mencari sepatunya yang entah ia taruh mana sepulang sekolah kemarin. Sarah berhasil menemukannya di kolong ranjang. Sarah memakainya, sepatu usang yang sobek bagian depan, juga berlubang di bagian pangkal. Sarah tetap bersyukur masih diijinkan sekolah.
Tanpa memikirkan tentang hidupnya, Sarah sangat semangat pergi ke sekolah. Ia bermimpi akan sukses di masa depan dan membahagiakan sang ibu.
_______________
To be continue ….
3 Tanggapan
I was examining some of your articles on this website and I think this web site is very informative!
Keep putting up.Blog money
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.
e6vo2l