BAB 1 : INDRA
“Wuaduh, panas banget ya Dik cuacanya hari ini,” ucapku sembari menggenggam tangan Meida. Istri baruku.
“Iya, Mas. Untung saja kita bawa mobil. Coba aja kalau enggak, bisa gosong-gosong kulit aku yang putih mulus ini.” Ia menjawab dengan nada manja setengah jijik. Mungkin ia bergidik membayangkan jika kulitnya gosong, dan menghitam.
Aku pun ikut bergidik, tidak sudi jika punya istri hitam dan dekil. Aku sangat tidak rela kalau Meida berubah jelek.
“Benar kamu, Dik. Mas juga nggak akan mau kalau kamu jadi seperti itu.”
“Oh, ya Mas. Rasa-rasanya perut aku ini kok laper banget ya. Kita mampir makan yuk, laper banget nih ….” Bibirnya mengerucut manja.
“Boleh … mau makan apa?”
“Terserah kamu, Mas. Yang penting makan. Soalnya aku udah laper banget.”
“Ya udah, kita makan mie ayam atau bakso di pinggir jalan aja gimana? Lumayan, ngirit dikit ini lagi tanggal tua. Belum gajian, duit Mas lagi tipis-tipisnya.”
“Aduh, jangan mie ayam dong Mas. Lagi nggak pengen yang basah basah. Apalagi yang berkuah.”
“Ohh, kalau gitu gimana kalau makan ayam geprek aja? Murah, paling harga sepuluh ribu atau mahal paling dua puluh ribu.” Aku sangat antusias, karena uang di dompetku hanya tinggal tiga ratus ribu. Sedangkan gajian masih sepuluh hari lagi.
“Nggak mau geprek, Mas.” Ia menjawab sembari menyandarkan punggungnya. Wajahnya terlihat malas.
“Terus maunya makan apa? Nasi goreng mau?” tanyaku.
Meida menggeleng. Itu membuatku sedikit frustasi. Tadi bilangnya terserah, tapi ditawarin apa aja jawabnya nggak mau. Makanan terserah itu apa sih, bingung.
“Terus maunya makan apa, Sayang ….” Aku mencoba bersabar. Resiko punya istri cantik ya begini, nih.
Seingatku istriku yang dulu tidak rewel seperti ini. Tapi ya itu, dekil membuatku tak berselera setiap kali menatapnya. Seketika aku bersyukur akhirnya terbebas darinya.
“Di dekat sini ada restoran yang baru dibuka, Mas. Kata temen-temen aku yang udah pernah ke sana, makanannya enak-enak loh. Menunya juga keren-keren … khas orang elit gitu Mas. Kita makan di sana ya?” Meida bersemangat.
“Tapi, Sayang. Uang Mas kan tinggal sedikit ….”
“Mas, kan masih ada di tabungan.”
“Yang di tabungan buat angsuran mobil bulan depan kan masih kurang Sayang.”
“Nanti pasti dapat lagi, Mas. Aku pengen makan di sana. Janji deh, nanti beli yang paling murah.” Ia memasang wajah melas, aku tidak tega menolaknya.
Akhirnya, meski sedikit dongkol kulajukan mobil ke restoran yang Meida maksud.
Belum lagi saat lampu indikator bensin mobil mulai menyala. Itu artinya bensinnya mulai menipis. Uang tiga ratus tadi akan kembali terpotong untuk membeli bensin.
“Itu Mas restorannya!” Meida menunjukkan restoran kiri jalan, dari tampilan luarnya seperti restoran berkelas.
“Iya, Sayang.”
“Wah, udah nggak sabar buat coba menu andalan di restoran ini. Ayo masuk, Mas.”
“Inget, pesennya yang paling murah aja.”
“Iya Mas, iya …. Santai aja gitu, khawatir banget.”
“Namanya juga tanggal tua,” ucapku berbisik. Malu jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kami.
“Iya, Mas Indra Sayang.”
Aku pasrah saja saat tubuhku ditarik masuk oleh Meida. Begitu masuk, yang pertama kali aku lihat adalah wajah Dira.
Anindira Grizzel, mantan istriku. Kami bercerai dua minggu yang lalu. Sementara usia pernikahanku dengan Meida masuk ke angka satu minggu.
Sialnya lagi, kini aku dan Dira berpapasan.
“Mas, ini bukannya mantan istri kamu si Dira itu kan!?” Meida berseru keras, membuat beberapa orang yang ada di tempat ini menoleh.
“Maaf, kelepasan,” bisiknya merasa bersalah. “Dia ngapain ada di sini, Mas? Bukannya kamu bilang dia itu orang miskin, mana mungkin dia sanggup makan di sini?”
“Ssst. Jangan keras-keras. Palingan dia di sini jadi pelayan. Udah, ayo kita cari tempat duduk saja.”
“Silahkan, Tuan dan Nyonya. Ini buku menunya.” Aku menoleh, ternyata Dira yang memberiku buku menu.
Ah, kupikir dia sudah berubah jadi tajir setelah bercerai denganku seperti ucapannya dulu. Alah, nyatanya masih miskin begini. Mana jadi pelayan lagi.
“Dira?” sapaku basa-basi.
“Iya Mas Indra, ini aku Dira.” Wanita itu tersenyum.
“Oh, kirain kamu udah jadi orang kaya. Ternyata masih melarat saja,” ucapku dengan suara agak keras. Wajah yang tadinya tersenyum ramah, kini berubah pias.
Kasihan.
Next?
2 Tanggapan
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me. https://accounts.binance.com/sk/register-person?ref=OMM3XK51