Mantan Istri Ternyata Sultan 3

Mantan Istri Ternyata Sultan

Esana Gulpinar
Istri yang kuceraikan dan kuhina habis-habisan dua minggu yang lalu mendadak jadi kaya raya. Rasanya aku tidak percaya, bagaimana bisa dia jadi sultan hanya dalam kurun waktu dua minggu? Mustahil! *** Jangan lupa, follow dan subscribe yaaa. Terima kasih ....

Bagikan Cerita ini :

BAB 1 : INDRA

“Wuaduh, panas banget ya Dik cuacanya hari ini,” ucapku sembari menggenggam tangan Meida. Istri baruku.

“Iya, Mas. Untung saja kita bawa mobil. Coba aja kalau enggak, bisa gosong-gosong kulit aku yang putih mulus ini.” Ia menjawab dengan nada manja setengah jijik. Mungkin ia bergidik membayangkan jika kulitnya gosong, dan menghitam.

Aku pun ikut bergidik, tidak sudi jika punya istri hitam dan dekil. Aku sangat tidak rela kalau Meida berubah jelek.

“Benar kamu, Dik. Mas juga nggak akan mau kalau kamu jadi seperti itu.”

“Oh, ya Mas. Rasa-rasanya perut aku ini kok laper banget ya. Kita mampir makan yuk, laper banget nih ….” Bibirnya mengerucut manja.

“Boleh … mau makan apa?”

“Terserah kamu, Mas. Yang penting makan. Soalnya aku udah laper banget.”

“Ya udah, kita makan mie ayam atau bakso di pinggir jalan aja gimana? Lumayan, ngirit dikit ini lagi tanggal tua. Belum gajian, duit Mas lagi tipis-tipisnya.”

“Aduh, jangan mie ayam dong Mas. Lagi nggak pengen yang basah basah. Apalagi yang berkuah.”

“Ohh, kalau gitu gimana kalau makan ayam geprek aja? Murah, paling harga sepuluh ribu atau mahal paling dua puluh ribu.” Aku sangat antusias, karena uang di dompetku hanya tinggal tiga ratus ribu. Sedangkan gajian masih sepuluh hari lagi.

“Nggak mau geprek, Mas.” Ia menjawab sembari menyandarkan punggungnya. Wajahnya terlihat malas.

“Terus maunya makan apa? Nasi goreng mau?” tanyaku.

Meida menggeleng. Itu membuatku sedikit frustasi. Tadi bilangnya terserah, tapi ditawarin apa aja jawabnya nggak mau. Makanan terserah itu apa sih, bingung.

“Terus maunya makan apa, Sayang ….” Aku mencoba bersabar. Resiko punya istri cantik ya begini, nih.

Seingatku istriku yang dulu tidak rewel seperti ini. Tapi ya itu, dekil membuatku tak berselera setiap kali menatapnya. Seketika aku bersyukur akhirnya terbebas darinya.

“Di dekat sini ada restoran yang baru dibuka, Mas. Kata temen-temen aku yang udah pernah ke sana, makanannya enak-enak loh. Menunya juga keren-keren … khas orang elit gitu Mas. Kita makan di sana ya?” Meida bersemangat.

“Tapi, Sayang. Uang Mas kan tinggal sedikit ….”

“Mas, kan masih ada di tabungan.”

“Yang di tabungan buat angsuran mobil bulan depan kan masih kurang Sayang.”

“Nanti pasti dapat lagi, Mas. Aku pengen makan di sana. Janji deh, nanti beli yang paling murah.” Ia memasang wajah melas, aku tidak tega menolaknya.

Akhirnya, meski sedikit dongkol kulajukan mobil ke restoran yang Meida maksud.

Belum lagi saat  lampu indikator bensin mobil mulai menyala. Itu artinya bensinnya mulai menipis. Uang tiga ratus tadi akan kembali terpotong untuk membeli bensin.

“Itu Mas restorannya!” Meida menunjukkan restoran kiri jalan, dari tampilan luarnya seperti restoran berkelas.

“Iya, Sayang.”

“Wah, udah nggak sabar buat coba menu andalan di restoran ini. Ayo masuk, Mas.”

“Inget, pesennya yang paling murah aja.”

“Iya Mas, iya …. Santai aja gitu, khawatir banget.”

“Namanya juga tanggal tua,” ucapku berbisik. Malu jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kami.

“Iya, Mas Indra Sayang.”

Aku pasrah saja saat tubuhku ditarik masuk oleh Meida. Begitu masuk, yang pertama kali aku lihat adalah wajah Dira.

Anindira Grizzel, mantan istriku. Kami bercerai dua minggu yang lalu. Sementara usia pernikahanku dengan Meida masuk ke angka satu minggu.

Sialnya lagi, kini aku dan Dira berpapasan.

“Mas, ini bukannya mantan istri kamu si Dira itu kan!?” Meida berseru keras, membuat beberapa orang yang ada di tempat ini menoleh.

“Maaf, kelepasan,” bisiknya merasa bersalah. “Dia ngapain ada di sini, Mas? Bukannya kamu bilang dia itu orang miskin, mana mungkin dia sanggup makan di sini?”

“Ssst. Jangan keras-keras. Palingan dia di sini jadi pelayan. Udah, ayo kita cari tempat duduk saja.”

“Silahkan, Tuan dan Nyonya. Ini buku menunya.” Aku menoleh, ternyata Dira yang memberiku buku menu.

Ah, kupikir dia sudah berubah jadi tajir setelah bercerai denganku seperti ucapannya dulu. Alah, nyatanya masih miskin begini. Mana jadi pelayan lagi.

“Dira?” sapaku basa-basi.

“Iya Mas Indra, ini aku Dira.” Wanita itu tersenyum.

“Oh, kirain kamu udah jadi orang kaya. Ternyata masih melarat saja,” ucapku dengan suara agak keras. Wajah yang tadinya tersenyum ramah, kini berubah pias.

Kasihan.

Next?

BAB 2

“Ehem, ya beginilah hidupku Mas. Mas Indra sama_”

“Meida. Istri baruku,” potongku. Karena ia terlihat berpikir.

“Oh, ya. Mas sudah menikah lagi? Kok aku nggak diundang.” Ia tersenyum. Muak sekali melihat senyumnya.

“Malas,” jawabku sekenanya. Untuk apa juga ngundang dia, nggak menguntungkan. Kasih amplop paling isi dua puluh ribu. Yang ada dia bakal ngerampok makanan di meja prasmanan.

“Ya udah, Mas Indra dan Mbak Meida mau pesan apa? Biar aku catat pesanannya.”

Aku diam saja, sementara Meida masih sibuk membolak-balik buku menu di tangannya.

“Sebentar ya, aku mau cari makanan yang paling enak. Boleh kan, Sayang?” Meida menatapku lembut.

“Ohh … tentu saja Sayang. Kamu boleh makan apapun yang kamu mau,” jawabku sumringah. Aku harus kelihatan sangat keren di depan Dira. Aku nggak mau dia menganggap aku yang tidak-tidak.

“Apakah masih lama?” tanya Dira saat aku dan Meida tak kunjung menyebutkan apa yang ingin kami pesan.

“Sabar dong, lagi milih-milih nih,” ketus Meida.

“Iya maaf, kalau begitu aku tinggal melayani yang lain dulu ya, banyak yang antri. Nanti kalau udah ada yang mau dipesan, tinggal panggil aku aja.” Dira baru saja ingin beranjak. Namun aku menahannya.

“Tunggu.” Ia berhenti, dan menatapku. “Sejak kapan kamu kerja di sini?” tanyaku penasaran.

“Sejak restoran ini dibuka, Mas. Alhamdulillah, sudah tiga hari restoran ini dibuka.”

“Ohhh.”

“Mas, ngapain sih nanya-nanya sejak kapan dia kerja di sini? Emang penting banget buat di tanyain.” Meida menatapku cemberut.

“Kamu juga, kalau udah mantan istri itu ya udah. Nggak usah kegatelan nanggepin suami orang.” Kini ia menatap garang ke arah Dira. Sedang yang ditatap hanya adem-adem saja.

“Penasaran aja, Sayang. Wajar dong, sebagai mantan suami yang baik nanyain keadaan mantan istrinya. Lagian, kamu jangan cemburu sama dia, levelnya jauh di bawah kamu,” ucapku menenangkan Meida.

Sementara Dira yang mendengar ucapanku terlihat sedikit kesal.

“Ya enggak lah, Mas. Masak iya, kamu bandingin aku sama pelayan kek dia.”

“Ya udah, makanya jangan cemburu.”

“Siapa juga yang cemburu, Mas. Aku itu, cuma nggak mau kalau mantan istri kamu ini jadi ge er. Ntar dikiranya kamu masih suka lagi sama dia.”

“Bener juga kamu, Sayang.” Aku mengusap rambutnya lembut.

“Eh, Dira. Kamu jangan ge er ya. Aku nanya-nanya bukan karena masih ada rasa sama kamu. Cuma penasaran aja sama ucapan kamu dulu. Katanya bakal jadi milyader, tapi kok miskin kayak gini.” Aku berkata sambil menatap tajam mata Dira.

“Iya, Mas. Aku ngerti kok. Lagipula Mas kan sudah menikah lagi, mana mungkin masih ada rasa sama Dira.” Wajahnya terlihat sendu. Mungkinkah dia sedih tau aku sudah menikah lagi? Bodo amat.

“Nah, bagus kalau begitu.”

“Iya, Mas. Ya udah, kalian udah ada yang mau dipesan belum? Kalau belum, aku tinggal dulu ya?”

“Udah ada,” sahut Meida.

“Iya, Mbak?” Dira bersiap mencatat makanan yang akan dipesan Meida.

“Sayang, aku mau ini ya?” Meida menunjuk salah satu menu di buku.

“Iya Sayang, apapun yang kamu mau. Mas akan belikan,” jawabku tanpa melihat makanan yang ditunjuk Meida.

“Kamu mau apa, Mas?” Pandangan Meida beralih kepadaku.

“Apapun yang kamu pilihkan buat, Mas. Mas pasti suka.” Aku tersenyum, sengaja kutunjukkan keromantisanku dengan Meida di depan Dira. Dia pasti kepanasan.

“Uhh, Mas so sweet sekali.” Wanita yang sudah seminggu ini menjadi istriku mencium pipiku lembut. Dira pasti makin kegerahan melihat ini.

Setelah menciumku Meida menyebutkan beberapa menu makanan untuk Dira catat. Mantan istriku itu bekerja sangat cepat, aku akui untuk satu hal ini.

“Ada tambahan?” tanya Dira setelah mencatat semuanya.

“Nggak,” jawab Meida judes.

“Ya sudah, ditunggu yaa. Akan siap setelah beberapa menit. Aku permisi dulu.” Setelah mengatakannya Dira pergi.

Benar saja, setelah beberapa menit wanita itu kembali dengan nampan besar di tangannya.

“Ini pesanannya, Mas Indra dan Mbak Meida.” Dira meletakkan piring dan gelas pesanan kami. Saat itulah aku melihat ada cincin berlian di jari tengah tangan kanannya.

Mataku membeliak tidak percaya. Bagaimana mungkin, Dira yang hanya seorang pelayan bisa punya cincin berlian?

Jangan-jangan ….

Next?

BAB 3

“Dira, kamu maling ya?” tanyaku pelan. Tapi aku yakin dia dan Meida mendengarnya.

“Hah? Maksudnya, Mas?” Dia melongo. Membuat gelas berisi jus buah naga di tangannya tak sengaja tertumpah ke baju Meida.

“Heh! Kamu nggak waras ya!” seru Meida marah. Suaranya naik beroktaf-oktaf membuat kita bertiga menjadi perhatian banyak orang.

“Eh, maaf Mbak Meida. Aku terkejut dengan pertanyaan dari Mas Indra, aku nggak fokus, jadi nggak sengaja tumpah,” Dira menjelaskan.

Tangannya meraih tisu berniat membersihkan, tetapi Meida langsung menepis tangannya kuat.

Bukan Meida namanya jika diam, dan percaya begitu saja dengan ucapan Dira. Istriku itu bangkit dan langsung menampar wajah Dira.

“Ehmm. Kenapa Mbak Meida menamparku?” Mata Dira membulat. Tampak kilat kemarahan di sana.

“Itu nggak seberapa. Dibanding apa yang kamu lakukan padaku, Dira. Kamu tau harga baju ini berapa? Hah!” Meida menunjuk bajunya yang kini berubah keunguan. Sementara aku segera menggenggam tangannya agar dia sedikit tenang.

“Memangnya harga baju itu berapa, Mbak?” Tanya Dira polos.

Aku yang mendengar jawabannya terkikik geli. Tidak percaya rasanya, wanita b**oh ini adalah mantan istriku. Yah, meski hanya berusia dua bulan pernikahan. Tetap saja, memiliki mantan istri seperti dia itu memalukan.

“Kamu nggak tau?” Meida mencibir.

“Nggak tau, Mbak. Memangnya harganya berapa?”

“Tiga juta. Kamu nggak tau, kan? Jelas lah kamu nggak tau, orang pakaian kamu paling belinya bekas di pasar. Hahaha!” Meida tertawa, membuat aku yang melihatnya juga ikut tertawa.

“Tiga juta? Serius, Mbak? Mahal banget bajunya.”

“Ya iyalah mahal. Kan suamiku ini orang kaya,” tutur Meida dengan bangga. Karena senang dengan pujiannya, aku merangkul tubuhnya merapat ke tubuhku.

“Mas, jangan pelukan di sini. Nanti ada yang jealous loh ….”

“Siapa yang jealous, Sayang?”

“Siapa lagi kalau bukan mantan istri kamu yang miskin itu. Dia pasti nyesel pisah sama kamu, Mas. Eh, tapi kenapa harus nyesel, dia kan nggak punya pilihan lain selain menerima. Karena kamu kan yang menceraikan dia Mas.” Meida tersenyum sinis ke arah Dira yang tampak mengalihkan pandangan.

“Biarin aja, anggap aja dia nggak ada. Lagipula, nggak penting juga kan dia mau cemburu atau enggak. Kan yang penting kita bahagia, Sayang,” jawabku sembari mengecup keningnya.

“Iya juga ya, Mas. Oh, iya Mas. Aku ke toilet dulu ya, mau bersihin nih baju. Lembab, aku nggak nyaman.” Tak tega rasanya melihat Meida yang menatap jijik tubuhnya sendiri.

“Iya Sayang, Mas tunggu di sini yah.”

“Iya, Mas.” Meida tersenyum. “Eh, Dira. Kamu ngapain masih di sini? Oh, jangan-jangan kamu mau merayu suami aku ya? Pergi sana,” ucap Meida sebelum pergi. Wanita cantik ini masih enggan beranjak ke kamar mandi karena Dira yang masih berdiri di dekat kami.

“Tenang saja Mbak Meida, aku nggak akan godain Mas Indra. Mohon maaf, tapi aku sama sekali sudah nggak minat sama suami Mbak ini. Nggak napsu.” Dira berkata sinis. Aku yang mendengarnya tiba-tiba merasa nyeri di ulu hati. Bisa-bisanya dia menghinaku seperti ini di depan istri baruku.

“Terus, kenapa masih berdiri di sini kalau emang udah nggak nafsu? Munafik kamu ya,” ucap Meida tak kalah sinis.

“Nggak. Aku cuma mau nanya sama Mas Indra. Tadi maksudnya apa ngatain aku maling.” Dira menatapku. Meida pun juga menatapku penuh tanya.

“Emm itu, kamu itu kan miskin. Masak iya orang miskin kek kamu punya cincin berlian seperti yang ada di jari kamu itu. Udah pasti maling, kan. Kalau enggak, dapat dari mana lagi.” Aku melirik ke cincin berlian yang melingkar di jarinya.

“Alah, Mas Mas. Paling juga imitasi. Cincin imitasi kek gitu mah banyak, Mas. Lima ribuan di pasar,” seloroh Meida yang tak kunjung pergi ke toilet juga.

Wajah Dira berubah merah mendengar perkataan Meida. Aku jadi percaya dengan ucapan Meida, pasti cincinnya imitasi.

“Iya juga ya, Sayang. Hahaha!”

“Ya udah ah, Mas. Aku ke toilet dulu ya.”

“Iya sayang.”

“Heh, minggir kamu.” Meida menabrak tubuh Dira membuat wanita itu sedikit terhuyung ke belakang.

“Dira, cincin kamu itu beneran imitasi? Sebegitunya kamu ingin kelihatan kaya, sampai beli cincin imitasi segala,” ucapku setelah Meida pergi.

“Maaf, Mas. Cincin ini asli, dan bukan imitasi,” jawabnya membuat mulutku menganga.

“Ya udah, Mas. Aku permisi dulu, mau ambil ganti untuk jus yang tumpah. Oh iya, itu mulutnya ditutup Mas. Nanti kalau sampai ada lalat masuk, terus Masnya tersedak, terus mati, kan kasian Mbak Meida. Dia pasti belum siap jadi janda,” ucap Dira sembari berlalu dari hadapan.

Reflek aku pun menutup mulut dan menatapnya geram. Kurang asem sekali mulut si Dira itu. Nggak pernah disekolahin.

Next?

BAB 4

 

“Mas Indra, ternyata restoran ini benar-benar elit seperti yang teman-temanku bicarakan. Toiletnya saja bersih banget. Nggak cuma itu, toiletnya juga wangi Mas,” seloroh Meida begitu ia kembali dari kamar mandi, dan kembali duduk di tempatnya.

“Oh ya?” jawabku antusias. Tak ingin mengecewakan dia yang begitu semangat bercerita.

“Iya, Mas. Tadi juga, aku sempetin buat jalan-jalan. Aku lihat-lihat tempat-tempat di restoran ini, semuanya rapi. Terus juga, banyak hiasan-hiasan mewah.” Matanya berbinar, seolah restoran ini adalah tempat paling indah baginya.

“Benarkah? Wah, pasti yang punya restoran ini kaya banget ya, Dik.”

“Pasti itu, Mas. Ya udah ah, kita makan yuk. Pasti enak sekali semua makanan ini.” Matanya menjelajahi setiap menu yang ada di meja kami.

“Iya Sayang. Mau Mas suapin?”

“Mau dong ….”

“Aaa buka mulutnya.”

“Aammm ….”

“Gimana, enak?” tanyaku penasaran.

“Euumm … enak banget, Mas. Mas cobain deh, aku suapin ya.” Meida mengulurkan sesendok makanan untukku.

“Aammm ….”

“Gimana, enak kan Mas?”

“Iya Sayang. Enak.”

Beberapa menit saat kami mulai menikmati makanan, datang seorang pelayan mengantarkan jus buah naga.

Sadar jika pelayan itu bukan Dira. Mataku mulai jelalatan mencari di mana keberadaan mantan istriku itu.

Kenapa bukan dia yang mengantarkan minuman ini, apa mungkin dia kena mental. Makanya menyuruh pelayanan lain yang mengantarnya.

“Mas. Kok bengong, sih. Kenapa?” Meida menepuk pundakku pelan.

“Oh, eh eng … nggak apa-apa.”

“Terus kenapa bengong ….”

“Ini, cuma bingung aja kenapa yang nganter minumannya bukan Dira,” jawabku jujur.

“Hah? Kamu berharap dia yang nganterin. Kamu masih suka sama dia, Mas?” Meida melotot.

Aduh, apa aku salah ngomong. Huhh.

“Bu-bukan gitu. Kalau Dira yang nganter kan enak. Bisa kita hina-hina lagi.”

“Iya juga sih, Mas. Kira-kira kenapa ya, apa dia takut sama kita ya Mas?”

“Mungkin. Palingan dia kena mental, makanya nggak mau nganterin minumannya dan malah menyuruh temannya.”

“Hahaha. Biarin aja lah, Mas. Kita lanjutkan makan saja yuk. Bahas dia bikin nggak selera.”

“Iya Sayang. Sini, Mas suapin lagi.”

“Makasih, Mas …. Ih, manis banget sih.”

Untuk beberapa saat aku dan Meida larut dalam menikmati makanan yang terhidang.

Tidak ada pembicaraan apapun di antara kami. Dia sibuk menikmati setiap menu yang ada, sedangkan aku. Pikiranku melalang buana memikirkan keanehan yang aku temukan pada Dira.

“Apa benar, cincin di tangannya tadi adalah imitasi? Tapi kenapa terlihat sangat berkilau sekali. Terus, bagaimana bisa Dira berubah jadi cantik dan bersih. Bahkan, saat anu ada di dekatnya. Tubuhnya tercium sangat harum,” batinku bingung.

“Apa mungkin, dia itu orang kaya?” tambahku dalam hati.

“Nggak mungkin. Apa jangan-jangan dia pesugihan? Eh.”

Memikirkannya membuatku pusing. Paling cincinnya memang imitasi, dan sekarang dia jadi bersih mungkin karena dia rajin mandi aja.

Sudah ah, nggak ada gunanya juga aku mikirin dia.

“Mas. Kok bengong lagi, sih?” Suara Meida mengagetkanku.

“Enggak, enggak bengong kok Sayang.” Aku beralasan.

“Bener?”

“Iya Sayang.” Aku mengacak rambutnya pelan.

“Ya udah, pulang yuk. Udah habis semua nih makanannya,” tutur Meida membuatku menatap makanan yang ada di meja.

Ajaib. Semua makanannya tandas tak bersisa. Istri baruku ini doyan makan ternyata.

“Ya udah, kamu minta bill-nya gih. Setelah itu kita langsung pulang, Mas juga udah capek banget.”

“Iya, Mas,” jawabnya. Kemudian Meida mengangkat tangan memanggil salah satu pelayan untuk memberikan bill-nya.

“Bill-nya, Tuan, Nyonya.” Pelayan itu meletakkan sebuah kertas di meja kami.

Aku langsung membukanya, dan angka yang tertera membuat mataku membulat sempurna.

“Lima ratus ribu? Aduh, aku harus bayar pakai apa ini. Mampus dah, mampus,” batinku sembari menatap Meida melas.

Bukannya mengerti dengan tatapanku, wanita itu malah melotot dan memaksaku cepat-cepat membayar tagihan.

Dasar tidak pengertian!

Next?

BAB 5

 

“Heh. Apa-apaan ini. Kalian berdua, ikut saya ke ruang manager.” Satpam bertubuh gempal dan wajah yang sangat garang menyeretku dan Meida tatkala kami berusaha kabur dari restoran ini.

“Pak, jangan kenceng-kenceng dong megangnya. Tanganku jadi sakit, nih ….” Meida merengek kesakitan. Dari wajahnya, aku bisa melihat dia pasti sakit sekali.

“Hey, lepasin tangan istriku. Kasian dia, pasti sakit tangannya dicekal begitu sama tangan kasar kamu itu,” hardikku pada satpam yang memegangi Meida.

“Diem kamu. Atau mau kupelintir tangan kamu?” Satpam yang memegangiku berucap garang.

“Ini satpam nggak ada lembut-lembutnya,” batinku kesal. Pergelangan tanganku sakit sekali karena ulahnya.

Belum lagi, tatapan penuh penasaran dari pengunjung restoran ini membuat wajahku memerah panas. Malu.

“Eh, kenapa tuh mereka? Kok sampai diseret sama satpam begitu,” ucap salah satu pengunjung yang duduk di pinggir. Satpam membawaku melewati mereka, dan pembicaraan mereka tak sengaja aku dengar.

“Biasalah, paling orang miskin yang sok kaya. Nggak sanggup bayar, mau kabur, eh ketangkap. Jadinya kek mereka itulah,” sahut temannya.

“Oalah, kasian yah.”

“Biarin aja lah. Salah sendiri, jadi orang songong amat. Kenapa nggak apa adanya saja. Sok kaya tapi modal nggak ada kan cuma mempermalukan diri kek mereka sekarang tuh.”

“Iya, sih Say. Sayang banget ya, padahal cantik perempuannya. Lakinya juga lumayan.” Orang itu terkikik geli.

“Mata kamu kalau lihat yang bening dikit aja langsung jelalatan. Bening, kalau yang model kismin kek gitu mah aku ogah banget. Emangnya kamu mau, bernasib kek mereka? Diseret satpam karena nggak mampu bayar?”

“Nggak mau lah, jijay banget. Mau taruh di mana tampang sosialitaku yang cantiknya cetar membahana dan kemolekannya tak lekang oleh waktu. Malu lah, Say.”

“Ya udah makanya. Hahaha!”

Percakapan mereka membuat kupingku terasa panas. Bisa-bisanya mereka berkata seperti itu padaku.

“Ini juga, kenapa satpam tetap saja berdiri di sini, katanya mau dibawa ke ruang manager,” batinku.

Saat ini aku dan Meida ditahan di depan kasir. Ah, malu sekali rasanya. Seluruh pengunjung restoran mengamati kami tanpa jeda.

Kalau dibawa ke ruang manager kan, setidaknya tidak dilihat banyak orang.

“Mas, kita ngapain sih malah disuruh berdiri di sini? Malu dilihatin.” Meida menarik ujung bajuku.

Aku hanya meliriknya sekilas sembari mengangkat bahu.

“Dih, Mas. Nyebelin banget responnya.”

Tak kuhiraukan dia. Dan memilih menatap langit-langit berharap ada cicak lewat atau apalah. Setidaknya itu bisa mengalihkan fokusku dari rasa malu karena jadi bahan tontonan.

“Mas ….” Meida mulai merengek lagi.

“Sssst, diem,” jawabku datar membuat wanita itu langsung mengunci mulutnya.

“Kalian berdua, ayo ikut kami.” Satpam garang itu akhirnya kembali juga.

Aku tersenyum, kemudian menggandeng Meida untuk mengikuti mereka. Sebenarnya, kalau bisa aku ingin kabur lagi. Tapi, di belakangku ada dua satpam lain yang mengawasi. Daripada malu dua kali, mending nurut saja buat ikut mereka.

“Ruang managernya mana, sih Pak? Dari tadi jalan terus, masak nggak sampai-sampai. Pegal kaki aku. Nanti kalau sampai patah bagaimana?” keluh Meida. Jujur saja, kakiku juga mulai pegal-pegal.

Satpam itu tak menjawab, dan hanya memberikan tatapan garang pada istriku.

“Mas, aku capek ….” Kali ini Meida merengek manja padaku.

“Ya udah, sabar aja, palingan juga bentar lagi sampai.”

“Lagian, ini restoran mau ke ruang manager aja jauh banget sih.”

Aku hanya diam. Tidak memberikan tanggapan apapun pada Meida. Aku juga heran, dari tadi kami melewati beberapa ruangan. Dengan nama restauran yang berbeda-beda. Tapi entah kenapa gedungnya saling bertautan. Jangan-jangan, beberapa restauran ini milik satu orang?

Wah, kaya sekali yang punya tempat ini.

“Masuk!”

“Ini ruang managernya, Pak? Jauh banget,” tanya Meida bersungut-sungut.

“Bukan, kalian tidak hanya berhadapan dengan manager restoran tadi. Melainkan langsung dengan CEO perusahaan ini.”

“Haa?” Aku dan Meida menganga tak percaya.

“Iya. Makanya jangan jadi maling,” ketus satpam gempal itu.

Kami masuk ke ruangan yang katanya CEO ini.

Setelah menyerahkan kami pada atasannya. Satpam-satpam itu keluar dan berjaga di luar pintu.

Seorang wanita berdiri membelakangiku dan Meida. Juga seorang laki-laki tampan berdiri di sampingnya. Dalam hitungan detik, tubuh wanita itu berbalik dan ….

“Dira?”

Next?

2 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mantan Istri Ternyata Sultan 3

Mantan Istri Ternyata Sultan

Esana Gulpinar

BAB 1 : INDRA

“Wuaduh, panas banget ya Dik cuacanya hari ini,” ucapku sembari menggenggam tangan Meida. Istri baruku.

“Iya, Mas. Untung saja kita bawa mobil. Coba aja kalau enggak, bisa gosong-gosong kulit aku yang putih mulus ini.” Ia menjawab dengan nada manja setengah jijik. Mungkin ia bergidik membayangkan jika kulitnya gosong, dan menghitam.

Aku pun ikut bergidik, tidak sudi jika punya istri hitam dan dekil. Aku sangat tidak rela kalau Meida berubah jelek.

“Benar kamu, Dik. Mas juga nggak akan mau kalau kamu jadi seperti itu.”

“Oh, ya Mas. Rasa-rasanya perut aku ini kok laper banget ya. Kita mampir makan yuk, laper banget nih ….” Bibirnya mengerucut manja.

“Boleh … mau makan apa?”

“Terserah kamu, Mas. Yang penting makan. Soalnya aku udah laper banget.”

“Ya udah, kita makan mie ayam atau bakso di pinggir jalan aja gimana? Lumayan, ngirit dikit ini lagi tanggal tua. Belum gajian, duit Mas lagi tipis-tipisnya.”

“Aduh, jangan mie ayam dong Mas. Lagi nggak pengen yang basah basah. Apalagi yang berkuah.”

“Ohh, kalau gitu gimana kalau makan ayam geprek aja? Murah, paling harga sepuluh ribu atau mahal paling dua puluh ribu.” Aku sangat antusias, karena uang di dompetku hanya tinggal tiga ratus ribu. Sedangkan gajian masih sepuluh hari lagi.

“Nggak mau geprek, Mas.” Ia menjawab sembari menyandarkan punggungnya. Wajahnya terlihat malas.

“Terus maunya makan apa? Nasi goreng mau?” tanyaku.

Meida menggeleng. Itu membuatku sedikit frustasi. Tadi bilangnya terserah, tapi ditawarin apa aja jawabnya nggak mau. Makanan terserah itu apa sih, bingung.

“Terus maunya makan apa, Sayang ….” Aku mencoba bersabar. Resiko punya istri cantik ya begini, nih.

Seingatku istriku yang dulu tidak rewel seperti ini. Tapi ya itu, dekil membuatku tak berselera setiap kali menatapnya. Seketika aku bersyukur akhirnya terbebas darinya.

“Di dekat sini ada restoran yang baru dibuka, Mas. Kata temen-temen aku yang udah pernah ke sana, makanannya enak-enak loh. Menunya juga keren-keren … khas orang elit gitu Mas. Kita makan di sana ya?” Meida bersemangat.

“Tapi, Sayang. Uang Mas kan tinggal sedikit ….”

“Mas, kan masih ada di tabungan.”

“Yang di tabungan buat angsuran mobil bulan depan kan masih kurang Sayang.”

“Nanti pasti dapat lagi, Mas. Aku pengen makan di sana. Janji deh, nanti beli yang paling murah.” Ia memasang wajah melas, aku tidak tega menolaknya.

Akhirnya, meski sedikit dongkol kulajukan mobil ke restoran yang Meida maksud.

Belum lagi saat  lampu indikator bensin mobil mulai menyala. Itu artinya bensinnya mulai menipis. Uang tiga ratus tadi akan kembali terpotong untuk membeli bensin.

“Itu Mas restorannya!” Meida menunjukkan restoran kiri jalan, dari tampilan luarnya seperti restoran berkelas.

“Iya, Sayang.”

“Wah, udah nggak sabar buat coba menu andalan di restoran ini. Ayo masuk, Mas.”

“Inget, pesennya yang paling murah aja.”

“Iya Mas, iya …. Santai aja gitu, khawatir banget.”

“Namanya juga tanggal tua,” ucapku berbisik. Malu jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kami.

“Iya, Mas Indra Sayang.”

Aku pasrah saja saat tubuhku ditarik masuk oleh Meida. Begitu masuk, yang pertama kali aku lihat adalah wajah Dira.

Anindira Grizzel, mantan istriku. Kami bercerai dua minggu yang lalu. Sementara usia pernikahanku dengan Meida masuk ke angka satu minggu.

Sialnya lagi, kini aku dan Dira berpapasan.

“Mas, ini bukannya mantan istri kamu si Dira itu kan!?” Meida berseru keras, membuat beberapa orang yang ada di tempat ini menoleh.

“Maaf, kelepasan,” bisiknya merasa bersalah. “Dia ngapain ada di sini, Mas? Bukannya kamu bilang dia itu orang miskin, mana mungkin dia sanggup makan di sini?”

“Ssst. Jangan keras-keras. Palingan dia di sini jadi pelayan. Udah, ayo kita cari tempat duduk saja.”

“Silahkan, Tuan dan Nyonya. Ini buku menunya.” Aku menoleh, ternyata Dira yang memberiku buku menu.

Ah, kupikir dia sudah berubah jadi tajir setelah bercerai denganku seperti ucapannya dulu. Alah, nyatanya masih miskin begini. Mana jadi pelayan lagi.

“Dira?” sapaku basa-basi.

“Iya Mas Indra, ini aku Dira.” Wanita itu tersenyum.

“Oh, kirain kamu udah jadi orang kaya. Ternyata masih melarat saja,” ucapku dengan suara agak keras. Wajah yang tadinya tersenyum ramah, kini berubah pias.

Kasihan.

Next?

BAB 2

“Ehem, ya beginilah hidupku Mas. Mas Indra sama_”

“Meida. Istri baruku,” potongku. Karena ia terlihat berpikir.

“Oh, ya. Mas sudah menikah lagi? Kok aku nggak diundang.” Ia tersenyum. Muak sekali melihat senyumnya.

“Malas,” jawabku sekenanya. Untuk apa juga ngundang dia, nggak menguntungkan. Kasih amplop paling isi dua puluh ribu. Yang ada dia bakal ngerampok makanan di meja prasmanan.

“Ya udah, Mas Indra dan Mbak Meida mau pesan apa? Biar aku catat pesanannya.”

Aku diam saja, sementara Meida masih sibuk membolak-balik buku menu di tangannya.

“Sebentar ya, aku mau cari makanan yang paling enak. Boleh kan, Sayang?” Meida menatapku lembut.

“Ohh … tentu saja Sayang. Kamu boleh makan apapun yang kamu mau,” jawabku sumringah. Aku harus kelihatan sangat keren di depan Dira. Aku nggak mau dia menganggap aku yang tidak-tidak.

“Apakah masih lama?” tanya Dira saat aku dan Meida tak kunjung menyebutkan apa yang ingin kami pesan.

“Sabar dong, lagi milih-milih nih,” ketus Meida.

“Iya maaf, kalau begitu aku tinggal melayani yang lain dulu ya, banyak yang antri. Nanti kalau udah ada yang mau dipesan, tinggal panggil aku aja.” Dira baru saja ingin beranjak. Namun aku menahannya.

“Tunggu.” Ia berhenti, dan menatapku. “Sejak kapan kamu kerja di sini?” tanyaku penasaran.

“Sejak restoran ini dibuka, Mas. Alhamdulillah, sudah tiga hari restoran ini dibuka.”

“Ohhh.”

“Mas, ngapain sih nanya-nanya sejak kapan dia kerja di sini? Emang penting banget buat di tanyain.” Meida menatapku cemberut.

“Kamu juga, kalau udah mantan istri itu ya udah. Nggak usah kegatelan nanggepin suami orang.” Kini ia menatap garang ke arah Dira. Sedang yang ditatap hanya adem-adem saja.

“Penasaran aja, Sayang. Wajar dong, sebagai mantan suami yang baik nanyain keadaan mantan istrinya. Lagian, kamu jangan cemburu sama dia, levelnya jauh di bawah kamu,” ucapku menenangkan Meida.

Sementara Dira yang mendengar ucapanku terlihat sedikit kesal.

“Ya enggak lah, Mas. Masak iya, kamu bandingin aku sama pelayan kek dia.”

“Ya udah, makanya jangan cemburu.”

“Siapa juga yang cemburu, Mas. Aku itu, cuma nggak mau kalau mantan istri kamu ini jadi ge er. Ntar dikiranya kamu masih suka lagi sama dia.”

“Bener juga kamu, Sayang.” Aku mengusap rambutnya lembut.

“Eh, Dira. Kamu jangan ge er ya. Aku nanya-nanya bukan karena masih ada rasa sama kamu. Cuma penasaran aja sama ucapan kamu dulu. Katanya bakal jadi milyader, tapi kok miskin kayak gini.” Aku berkata sambil menatap tajam mata Dira.

“Iya, Mas. Aku ngerti kok. Lagipula Mas kan sudah menikah lagi, mana mungkin masih ada rasa sama Dira.” Wajahnya terlihat sendu. Mungkinkah dia sedih tau aku sudah menikah lagi? Bodo amat.

“Nah, bagus kalau begitu.”

“Iya, Mas. Ya udah, kalian udah ada yang mau dipesan belum? Kalau belum, aku tinggal dulu ya?”

“Udah ada,” sahut Meida.

“Iya, Mbak?” Dira bersiap mencatat makanan yang akan dipesan Meida.

“Sayang, aku mau ini ya?” Meida menunjuk salah satu menu di buku.

“Iya Sayang, apapun yang kamu mau. Mas akan belikan,” jawabku tanpa melihat makanan yang ditunjuk Meida.

“Kamu mau apa, Mas?” Pandangan Meida beralih kepadaku.

“Apapun yang kamu pilihkan buat, Mas. Mas pasti suka.” Aku tersenyum, sengaja kutunjukkan keromantisanku dengan Meida di depan Dira. Dia pasti kepanasan.

“Uhh, Mas so sweet sekali.” Wanita yang sudah seminggu ini menjadi istriku mencium pipiku lembut. Dira pasti makin kegerahan melihat ini.

Setelah menciumku Meida menyebutkan beberapa menu makanan untuk Dira catat. Mantan istriku itu bekerja sangat cepat, aku akui untuk satu hal ini.

“Ada tambahan?” tanya Dira setelah mencatat semuanya.

“Nggak,” jawab Meida judes.

“Ya sudah, ditunggu yaa. Akan siap setelah beberapa menit. Aku permisi dulu.” Setelah mengatakannya Dira pergi.

Benar saja, setelah beberapa menit wanita itu kembali dengan nampan besar di tangannya.

“Ini pesanannya, Mas Indra dan Mbak Meida.” Dira meletakkan piring dan gelas pesanan kami. Saat itulah aku melihat ada cincin berlian di jari tengah tangan kanannya.

Mataku membeliak tidak percaya. Bagaimana mungkin, Dira yang hanya seorang pelayan bisa punya cincin berlian?

Jangan-jangan ….

Next?

BAB 3

“Dira, kamu maling ya?” tanyaku pelan. Tapi aku yakin dia dan Meida mendengarnya.

“Hah? Maksudnya, Mas?” Dia melongo. Membuat gelas berisi jus buah naga di tangannya tak sengaja tertumpah ke baju Meida.

“Heh! Kamu nggak waras ya!” seru Meida marah. Suaranya naik beroktaf-oktaf membuat kita bertiga menjadi perhatian banyak orang.

“Eh, maaf Mbak Meida. Aku terkejut dengan pertanyaan dari Mas Indra, aku nggak fokus, jadi nggak sengaja tumpah,” Dira menjelaskan.

Tangannya meraih tisu berniat membersihkan, tetapi Meida langsung menepis tangannya kuat.

Bukan Meida namanya jika diam, dan percaya begitu saja dengan ucapan Dira. Istriku itu bangkit dan langsung menampar wajah Dira.

“Ehmm. Kenapa Mbak Meida menamparku?” Mata Dira membulat. Tampak kilat kemarahan di sana.

“Itu nggak seberapa. Dibanding apa yang kamu lakukan padaku, Dira. Kamu tau harga baju ini berapa? Hah!” Meida menunjuk bajunya yang kini berubah keunguan. Sementara aku segera menggenggam tangannya agar dia sedikit tenang.

“Memangnya harga baju itu berapa, Mbak?” Tanya Dira polos.

Aku yang mendengar jawabannya terkikik geli. Tidak percaya rasanya, wanita b**oh ini adalah mantan istriku. Yah, meski hanya berusia dua bulan pernikahan. Tetap saja, memiliki mantan istri seperti dia itu memalukan.

“Kamu nggak tau?” Meida mencibir.

“Nggak tau, Mbak. Memangnya harganya berapa?”

“Tiga juta. Kamu nggak tau, kan? Jelas lah kamu nggak tau, orang pakaian kamu paling belinya bekas di pasar. Hahaha!” Meida tertawa, membuat aku yang melihatnya juga ikut tertawa.

“Tiga juta? Serius, Mbak? Mahal banget bajunya.”

“Ya iyalah mahal. Kan suamiku ini orang kaya,” tutur Meida dengan bangga. Karena senang dengan pujiannya, aku merangkul tubuhnya merapat ke tubuhku.

“Mas, jangan pelukan di sini. Nanti ada yang jealous loh ….”

“Siapa yang jealous, Sayang?”

“Siapa lagi kalau bukan mantan istri kamu yang miskin itu. Dia pasti nyesel pisah sama kamu, Mas. Eh, tapi kenapa harus nyesel, dia kan nggak punya pilihan lain selain menerima. Karena kamu kan yang menceraikan dia Mas.” Meida tersenyum sinis ke arah Dira yang tampak mengalihkan pandangan.

“Biarin aja, anggap aja dia nggak ada. Lagipula, nggak penting juga kan dia mau cemburu atau enggak. Kan yang penting kita bahagia, Sayang,” jawabku sembari mengecup keningnya.

“Iya juga ya, Mas. Oh, iya Mas. Aku ke toilet dulu ya, mau bersihin nih baju. Lembab, aku nggak nyaman.” Tak tega rasanya melihat Meida yang menatap jijik tubuhnya sendiri.

“Iya Sayang, Mas tunggu di sini yah.”

“Iya, Mas.” Meida tersenyum. “Eh, Dira. Kamu ngapain masih di sini? Oh, jangan-jangan kamu mau merayu suami aku ya? Pergi sana,” ucap Meida sebelum pergi. Wanita cantik ini masih enggan beranjak ke kamar mandi karena Dira yang masih berdiri di dekat kami.

“Tenang saja Mbak Meida, aku nggak akan godain Mas Indra. Mohon maaf, tapi aku sama sekali sudah nggak minat sama suami Mbak ini. Nggak napsu.” Dira berkata sinis. Aku yang mendengarnya tiba-tiba merasa nyeri di ulu hati. Bisa-bisanya dia menghinaku seperti ini di depan istri baruku.

“Terus, kenapa masih berdiri di sini kalau emang udah nggak nafsu? Munafik kamu ya,” ucap Meida tak kalah sinis.

“Nggak. Aku cuma mau nanya sama Mas Indra. Tadi maksudnya apa ngatain aku maling.” Dira menatapku. Meida pun juga menatapku penuh tanya.

“Emm itu, kamu itu kan miskin. Masak iya orang miskin kek kamu punya cincin berlian seperti yang ada di jari kamu itu. Udah pasti maling, kan. Kalau enggak, dapat dari mana lagi.” Aku melirik ke cincin berlian yang melingkar di jarinya.

“Alah, Mas Mas. Paling juga imitasi. Cincin imitasi kek gitu mah banyak, Mas. Lima ribuan di pasar,” seloroh Meida yang tak kunjung pergi ke toilet juga.

Wajah Dira berubah merah mendengar perkataan Meida. Aku jadi percaya dengan ucapan Meida, pasti cincinnya imitasi.

“Iya juga ya, Sayang. Hahaha!”

“Ya udah ah, Mas. Aku ke toilet dulu ya.”

“Iya sayang.”

“Heh, minggir kamu.” Meida menabrak tubuh Dira membuat wanita itu sedikit terhuyung ke belakang.

“Dira, cincin kamu itu beneran imitasi? Sebegitunya kamu ingin kelihatan kaya, sampai beli cincin imitasi segala,” ucapku setelah Meida pergi.

“Maaf, Mas. Cincin ini asli, dan bukan imitasi,” jawabnya membuat mulutku menganga.

“Ya udah, Mas. Aku permisi dulu, mau ambil ganti untuk jus yang tumpah. Oh iya, itu mulutnya ditutup Mas. Nanti kalau sampai ada lalat masuk, terus Masnya tersedak, terus mati, kan kasian Mbak Meida. Dia pasti belum siap jadi janda,” ucap Dira sembari berlalu dari hadapan.

Reflek aku pun menutup mulut dan menatapnya geram. Kurang asem sekali mulut si Dira itu. Nggak pernah disekolahin.

Next?

BAB 4

 

“Mas Indra, ternyata restoran ini benar-benar elit seperti yang teman-temanku bicarakan. Toiletnya saja bersih banget. Nggak cuma itu, toiletnya juga wangi Mas,” seloroh Meida begitu ia kembali dari kamar mandi, dan kembali duduk di tempatnya.

“Oh ya?” jawabku antusias. Tak ingin mengecewakan dia yang begitu semangat bercerita.

“Iya, Mas. Tadi juga, aku sempetin buat jalan-jalan. Aku lihat-lihat tempat-tempat di restoran ini, semuanya rapi. Terus juga, banyak hiasan-hiasan mewah.” Matanya berbinar, seolah restoran ini adalah tempat paling indah baginya.

“Benarkah? Wah, pasti yang punya restoran ini kaya banget ya, Dik.”

“Pasti itu, Mas. Ya udah ah, kita makan yuk. Pasti enak sekali semua makanan ini.” Matanya menjelajahi setiap menu yang ada di meja kami.

“Iya Sayang. Mau Mas suapin?”

“Mau dong ….”

“Aaa buka mulutnya.”

“Aammm ….”

“Gimana, enak?” tanyaku penasaran.

“Euumm … enak banget, Mas. Mas cobain deh, aku suapin ya.” Meida mengulurkan sesendok makanan untukku.

“Aammm ….”

“Gimana, enak kan Mas?”

“Iya Sayang. Enak.”

Beberapa menit saat kami mulai menikmati makanan, datang seorang pelayan mengantarkan jus buah naga.

Sadar jika pelayan itu bukan Dira. Mataku mulai jelalatan mencari di mana keberadaan mantan istriku itu.

Kenapa bukan dia yang mengantarkan minuman ini, apa mungkin dia kena mental. Makanya menyuruh pelayanan lain yang mengantarnya.

“Mas. Kok bengong, sih. Kenapa?” Meida menepuk pundakku pelan.

“Oh, eh eng … nggak apa-apa.”

“Terus kenapa bengong ….”

“Ini, cuma bingung aja kenapa yang nganter minumannya bukan Dira,” jawabku jujur.

“Hah? Kamu berharap dia yang nganterin. Kamu masih suka sama dia, Mas?” Meida melotot.

Aduh, apa aku salah ngomong. Huhh.

“Bu-bukan gitu. Kalau Dira yang nganter kan enak. Bisa kita hina-hina lagi.”

“Iya juga sih, Mas. Kira-kira kenapa ya, apa dia takut sama kita ya Mas?”

“Mungkin. Palingan dia kena mental, makanya nggak mau nganterin minumannya dan malah menyuruh temannya.”

“Hahaha. Biarin aja lah, Mas. Kita lanjutkan makan saja yuk. Bahas dia bikin nggak selera.”

“Iya Sayang. Sini, Mas suapin lagi.”

“Makasih, Mas …. Ih, manis banget sih.”

Untuk beberapa saat aku dan Meida larut dalam menikmati makanan yang terhidang.

Tidak ada pembicaraan apapun di antara kami. Dia sibuk menikmati setiap menu yang ada, sedangkan aku. Pikiranku melalang buana memikirkan keanehan yang aku temukan pada Dira.

“Apa benar, cincin di tangannya tadi adalah imitasi? Tapi kenapa terlihat sangat berkilau sekali. Terus, bagaimana bisa Dira berubah jadi cantik dan bersih. Bahkan, saat anu ada di dekatnya. Tubuhnya tercium sangat harum,” batinku bingung.

“Apa mungkin, dia itu orang kaya?” tambahku dalam hati.

“Nggak mungkin. Apa jangan-jangan dia pesugihan? Eh.”

Memikirkannya membuatku pusing. Paling cincinnya memang imitasi, dan sekarang dia jadi bersih mungkin karena dia rajin mandi aja.

Sudah ah, nggak ada gunanya juga aku mikirin dia.

“Mas. Kok bengong lagi, sih?” Suara Meida mengagetkanku.

“Enggak, enggak bengong kok Sayang.” Aku beralasan.

“Bener?”

“Iya Sayang.” Aku mengacak rambutnya pelan.

“Ya udah, pulang yuk. Udah habis semua nih makanannya,” tutur Meida membuatku menatap makanan yang ada di meja.

Ajaib. Semua makanannya tandas tak bersisa. Istri baruku ini doyan makan ternyata.

“Ya udah, kamu minta bill-nya gih. Setelah itu kita langsung pulang, Mas juga udah capek banget.”

“Iya, Mas,” jawabnya. Kemudian Meida mengangkat tangan memanggil salah satu pelayan untuk memberikan bill-nya.

“Bill-nya, Tuan, Nyonya.” Pelayan itu meletakkan sebuah kertas di meja kami.

Aku langsung membukanya, dan angka yang tertera membuat mataku membulat sempurna.

“Lima ratus ribu? Aduh, aku harus bayar pakai apa ini. Mampus dah, mampus,” batinku sembari menatap Meida melas.

Bukannya mengerti dengan tatapanku, wanita itu malah melotot dan memaksaku cepat-cepat membayar tagihan.

Dasar tidak pengertian!

Next?

BAB 5

 

“Heh. Apa-apaan ini. Kalian berdua, ikut saya ke ruang manager.” Satpam bertubuh gempal dan wajah yang sangat garang menyeretku dan Meida tatkala kami berusaha kabur dari restoran ini.

“Pak, jangan kenceng-kenceng dong megangnya. Tanganku jadi sakit, nih ….” Meida merengek kesakitan. Dari wajahnya, aku bisa melihat dia pasti sakit sekali.

“Hey, lepasin tangan istriku. Kasian dia, pasti sakit tangannya dicekal begitu sama tangan kasar kamu itu,” hardikku pada satpam yang memegangi Meida.

“Diem kamu. Atau mau kupelintir tangan kamu?” Satpam yang memegangiku berucap garang.

“Ini satpam nggak ada lembut-lembutnya,” batinku kesal. Pergelangan tanganku sakit sekali karena ulahnya.

Belum lagi, tatapan penuh penasaran dari pengunjung restoran ini membuat wajahku memerah panas. Malu.

“Eh, kenapa tuh mereka? Kok sampai diseret sama satpam begitu,” ucap salah satu pengunjung yang duduk di pinggir. Satpam membawaku melewati mereka, dan pembicaraan mereka tak sengaja aku dengar.

“Biasalah, paling orang miskin yang sok kaya. Nggak sanggup bayar, mau kabur, eh ketangkap. Jadinya kek mereka itulah,” sahut temannya.

“Oalah, kasian yah.”

“Biarin aja lah. Salah sendiri, jadi orang songong amat. Kenapa nggak apa adanya saja. Sok kaya tapi modal nggak ada kan cuma mempermalukan diri kek mereka sekarang tuh.”

“Iya, sih Say. Sayang banget ya, padahal cantik perempuannya. Lakinya juga lumayan.” Orang itu terkikik geli.

“Mata kamu kalau lihat yang bening dikit aja langsung jelalatan. Bening, kalau yang model kismin kek gitu mah aku ogah banget. Emangnya kamu mau, bernasib kek mereka? Diseret satpam karena nggak mampu bayar?”

“Nggak mau lah, jijay banget. Mau taruh di mana tampang sosialitaku yang cantiknya cetar membahana dan kemolekannya tak lekang oleh waktu. Malu lah, Say.”

“Ya udah makanya. Hahaha!”

Percakapan mereka membuat kupingku terasa panas. Bisa-bisanya mereka berkata seperti itu padaku.

“Ini juga, kenapa satpam tetap saja berdiri di sini, katanya mau dibawa ke ruang manager,” batinku.

Saat ini aku dan Meida ditahan di depan kasir. Ah, malu sekali rasanya. Seluruh pengunjung restoran mengamati kami tanpa jeda.

Kalau dibawa ke ruang manager kan, setidaknya tidak dilihat banyak orang.

“Mas, kita ngapain sih malah disuruh berdiri di sini? Malu dilihatin.” Meida menarik ujung bajuku.

Aku hanya meliriknya sekilas sembari mengangkat bahu.

“Dih, Mas. Nyebelin banget responnya.”

Tak kuhiraukan dia. Dan memilih menatap langit-langit berharap ada cicak lewat atau apalah. Setidaknya itu bisa mengalihkan fokusku dari rasa malu karena jadi bahan tontonan.

“Mas ….” Meida mulai merengek lagi.

“Sssst, diem,” jawabku datar membuat wanita itu langsung mengunci mulutnya.

“Kalian berdua, ayo ikut kami.” Satpam garang itu akhirnya kembali juga.

Aku tersenyum, kemudian menggandeng Meida untuk mengikuti mereka. Sebenarnya, kalau bisa aku ingin kabur lagi. Tapi, di belakangku ada dua satpam lain yang mengawasi. Daripada malu dua kali, mending nurut saja buat ikut mereka.

“Ruang managernya mana, sih Pak? Dari tadi jalan terus, masak nggak sampai-sampai. Pegal kaki aku. Nanti kalau sampai patah bagaimana?” keluh Meida. Jujur saja, kakiku juga mulai pegal-pegal.

Satpam itu tak menjawab, dan hanya memberikan tatapan garang pada istriku.

“Mas, aku capek ….” Kali ini Meida merengek manja padaku.

“Ya udah, sabar aja, palingan juga bentar lagi sampai.”

“Lagian, ini restoran mau ke ruang manager aja jauh banget sih.”

Aku hanya diam. Tidak memberikan tanggapan apapun pada Meida. Aku juga heran, dari tadi kami melewati beberapa ruangan. Dengan nama restauran yang berbeda-beda. Tapi entah kenapa gedungnya saling bertautan. Jangan-jangan, beberapa restauran ini milik satu orang?

Wah, kaya sekali yang punya tempat ini.

“Masuk!”

“Ini ruang managernya, Pak? Jauh banget,” tanya Meida bersungut-sungut.

“Bukan, kalian tidak hanya berhadapan dengan manager restoran tadi. Melainkan langsung dengan CEO perusahaan ini.”

“Haa?” Aku dan Meida menganga tak percaya.

“Iya. Makanya jangan jadi maling,” ketus satpam gempal itu.

Kami masuk ke ruangan yang katanya CEO ini.

Setelah menyerahkan kami pada atasannya. Satpam-satpam itu keluar dan berjaga di luar pintu.

Seorang wanita berdiri membelakangiku dan Meida. Juga seorang laki-laki tampan berdiri di sampingnya. Dalam hitungan detik, tubuh wanita itu berbalik dan ….

“Dira?”

Next?

Tertarik Dengan Buku : Mantan Istri Ternyata Sultan ?

Mantan Istri Ternyata Sultan 3

Mantan Istri Ternyata Sultan

Esana Gulpinar