Bab 1
“Jangan sentuh aku, Mas!” pekik Kiran membuat mataku membulat.
“Kenapa? Aku masih suamimu.”
“Maaf, Mas.” Ia berlalu begitu saja. Membuatku semakin geram dan kesal.
“Kenapa kamu berubah,” ucapku menahan langkahnya.
“Kenapa aku berubah? Kau sungguh ingin tau?” bukannya meminta maaf ia justru menatapku tanpa rasa takut.
“Katakan,” ucapku menahan gemuruh hebat di dada. Seberapa kesal pun aku padanya, hatiku menolak untuk menyakitinya.
“Tunggu di sini.” Wanita itu berlalu. Sedangkan aku, menunggu penjelasannya di sini. Di kamar ini, kamar yang menjadi saksi kebersamaan kita selama lima tahun terakhir.
Aku Aarav Syahreza. Pria matang usia tiga puluh lima tahun, pemilik perusahaan Aarav Group yang merupakan perusahaan paling besar di kota ini. Sedangkan wanita itu, dia Zanna Kirania-istriku. Wanita yang aku nikahi lima tahun lalu. Wanita yang belakangan bersikap aneh, dan terkesan menjaga jarak denganku.
Jangan tanya kenapa, karena aku pun tidak tahu jawabannya. Lebih baik kita lihat saja, apa yang akan ia jelaskan padaku nanti.
Tak berapa lama Kiran kembali masuk dengan dua buah gelas di tangannya. Dua-duanya terisi penuh dengan air putih. Wajah cantiknya berjalan mendekat ke arahku.
“Untuk apa air-air itu?” tanyaku dengan kening berkerut. Aku tidak merasa sedang meminta minum.
“Minum.” Ia menyodorkan satu gelas padaku.
“Aku tidak haus,” tolakku mentah-mentah. Apa-apaan dia? Tiba-tiba memberiku minum, padahal aku tidak sedang memintanya. Apa aku kelihatan sangat kehausan?
“Aku bilang minum,” tegasnya.
“Nggak!” Aku bersikukuh.
“Bukankah kamu meminta penjelasan?” tanyanya menatapku tajam.
“Ya, aku meminta penjelasan. Bukan minuman.”
“Minumlah, kamu akan mendapatkan penjelasannya setelah ini.” Ia kembali menyodorkan satu gelas untukku. Aku pun menerimanya.
Kutatap gelas di tangan dan wajahnya secara bergantian. Sikap Kiran kali ini memang sudah keterlaluan, apa dia sedang menguji kekuatan sabarku?
“Minum,” titahnya. Aku terus mengamati wajahnya, sekilas kutangkap senyum sinis dari bibir manisnya.
“Jangan-jangan dia mau meracuniku,” batinku curiga. Mengingat hubungan kami belakang memang kurang baik.
“Sini.” Aku menukar gelas di tanganku dengan gelas yang ada ditangannya.
“Takut diracun?” tanyanya sembari menerima uluran gelas dariku.
“Aku akan meminumnya,” ucapku tanpa menjawab ucapannya yang terkesan sarkas.
Segera kuteguk air dalam gelas itu. Habis setengahnya.
“Sudah. Sekarang, jelaskan. Kenapa kamu berubah?” tanyaku tak sabar.
“Bagaimana rasanya?” Bukannya menjawab, ia justru menanyakan rasa minuman yang tadi aku minum. Itu membuatku benar-benar kesal. Tapi aku tetap berusaha sabar menghadapinya.
“Manis,” jawabku datar. Entah minuman apa yang dia berikan padaku. Tadinya kusangka itu air putih.
“Bagaimana kondisi bibirmu?” tanyanya lagi.
Ya Tuhan … pertanyaan macam apa ini? Apa dia tidak bisa melihat, bahwa bibirku baik-baik saja.
“Kamu tidak bisa melihat? Tidak punya mata?” tanyaku geram.
“Bisakah kamu tinggal jawab saja pertanyaanku?”
“Apa kamu sedang mempermainkanku sekarang? Hah? Mana penjelasanmu? Jangan bertele-tele! Oh, atau ada laki-laki lain dalam hidup kamu? Hah? Jawab!” seruku naik pitam. Salah dia sendiri, untuk apa menguji kesabaranku seperti tadi?
“Tenanglah, Aarav. Aku bukan tipe wanita yang suka mendua. Tidak ada laki-laki lain dalam hidupku. Aku juga bukan wanita yang susah setia sepertimu,” tuturnya pelan. Singkat, tapi rasanya sangat menyakitkan.
Apa arti ucapannya itu. Apa dia sedang mencurigai aku selingkuh?
“Kau!” Hampir saja aku menamparnya. Namun segera kutahan gerakan tanganku dan menurunkannya.
“Lihat gelas ini, Aarav. Lihat gelas yang ada di tanganku.”
Aku melihatnya. Gelas di tangan Kiran yang beberapa saat kemudian jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping. Pecahannya berserakan kemana-mana.
“Apa maksudmu?” Aku tidak mengerti kenapa ia justru menjatuhkan gelas itu.
“Minum lah,” ucapnya dingin.
“Apa katamu?”
“Minum lah, air dari gelas yang aku jatuhkan tadi.”
“Apa kamu gila?”
“Kamu yang gila, Aarav!”
“Kiran, cukup! Hentikan omong kosong ini.”
“Kenapa? Kau minta penjelasan bukan? Lihat gelas itu. Lihat gelas yang sudah pecah itu. Bisakah kau merekatkan kembali seperti semula? Tidak bisa, kan? Sekarang, bisakah kau meminum air manis di dalamnya? Tentu saja tidak bisa.” Wanita itu berorasi di depanku.
“Aku tidak mengerti,” kataku jujur. Apa yang sebenarnya dia maksud.
“Tidak mengerti? Aku ini ibarat gelas pecah. Mas tau apa itu gelas pecah? Ya, sekeras apapun kamu ingin merekatkannya kembali, itu tidak akan pernah berhasil. Dengar, Mas. Jangan pernah berharap kamu bisa meminum air dari gelas pecah itu, tanpa membuat bibirmu terluka,” ucapnya membuatku terdiam.
“Satu lagi, jangan pernah bertanya kenapa aku berubah. Tapi tanya sama diri kamu sendiri, kenapa kamu merubahku? Di hari dimana kamu merenggut bahagiaku, jangan pernah bermimpi mendapatkan kenyamanan dariku.” Setelah mengatakannya, Kiran pergi meninggalkanku yang mematung kebingungan.
Gelas pecah?
Bersambung ….
satu Respon
I like this site it’s a master piece! Glad I found this ohttps://69v.topn google.Raise your business