BAB 1
“Ibu macam apa kamu! Dari tadi sibuk nggoreng terus. Anak kamu itu, di luar nangis! Di dapur aja terus. Anak sama suami nggak di urus!” Omelan suamiku membuatku tergopoh dari dapur.
“Thea!” serunya lagi. Ia terus saja berteriak tanpa berinisiatif untuk membantuku menenangkan Ardi yang sedang menangis. Kerjanya sepanjang hari hanya bermain handphone saja.
Aku keluar menyusul anakku yang menangis, dengan pakaian kebangsaan emak-emak kugendong Ardi yang masih menangis kencang masuk ke dalam rumah.
“Sayang, udah jangan nangis ya. Ikut Ibu ke dapur. Ibu lagi goreng tempe kesukaan kamu. Udah ya, jangan nangis. Anak ganteng gak boleh nangis,” ujarku. Tapi tetap saja ia tidak mau berhenti. Entah apa yang terjadi hingga ia bisa menangis.
“Sayang, kamu kenapa? Ada apa? Apa ada yang nakal sama kamu, siapa? Ayo bilang sama Ibu, biar Ibu jewer nanti telinganya,” kataku. Aku terus berusaha untuk membuatnya tenang. Jika ia terus menangis pekerjaanku di dapur akan semakin lama selesainya.
“Duhh! Berisik sekali kalian. Bisa diam nggak!” seru Mas Bayu, suamiku.
“Ssst, sayang jangan nangis lagi, ya. Bapak lagi marah. Ikut Ibu ke dapur, nanti ibu kasih makanan enak. Mau, ‘kan?” rayuku. Aku berharap putraku itu menurut dan tidak menangis lagi.
“Bisa diem enggak! Berisik tau nggak! Berisik!” seru Mas Bayu lagi.
Aku mulai ketakutan, khawatir jika Mas Bayu mulai main tangan. Ia laki-laki temperamental yang mudah sekali melempar benda keras setiap kali merasa terganggu.
“Arghh! Bisa diam enggak!”
Bugh!
Benar saja, sebuah asbak melayang ke arah Ardi. Aku berbalik hingga akhirnya asbak itu membentur bagian belakang kepalaku keras. Seketika pusing mendera, penglihatan dan pendengaranku memudar. Bumi seolah berputar dan membuatku goyah.
Semua itu terjadi hanya sesaat, kemudian semuanya kembali normal. Hanya saja, rasa kebas masih terasa mematikan indera perasa.
Ardi kembali menangis, aku memeluknya erat. Membawanya pergi ke dapur dan mengusap kepalanya pelan. Aku sengaja menjauhkannya dari Mas Bayu karena aku tidak mau kalau sampai putraku ini kena sasaran amarahnya lagi.
“Itu akibatnya kalau Ibu nggak bisa ngurus anaknya. Alasan saja jual gorengan. Hasil nggak seberapa aja belagu!” Mas Bayu terus mengomel. Aku bisa mendengarnya dari dapur.
‘Tidak seberapa? Bukankah ini jauh lebih baik dari pada dia yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Kerja tidak, makannya saja dari uang hasil jualanku.’ Sakit rasanya saat semua kerja kerasku sebagai seorang istri tidak pernah dihargai.
Segala pengorbanan yang aku berikan tidak pernah terlihat di matanya. Ia selalu membandingkanku dengan wanita lain, padahal jika kulihat dari kacamataku wanita-wanita yang ia sebut itu tidak lebih baik dariku.
Katakan, siapa yang sudi hidup berdampingan dengan laki-laki miskin. Temperamental, berperilaku buruk, kasar, egois, dan semena-mena?
Dia selalu mengatakan, istri orang lain bisa mengerjakan sawah sekaligus membuang kotoran sapi. Tapi dia lupa, aku bisa menghasilkan uang, sekaligus merawat dirinya dan putraku. Menghidupi keluarga tanpa menadahkan tangan dari dia yang bahkan tidak berpenghasilan. Pengangguran, tidak ada hal lain yang ia lakukan selain bermain handphone, makan, berak, dan marah-marah.
Hanya karena caraku berbeda dengan wanita lain, lantas apakah ia berhak menghinaku?
Bukankah pekerjaan itu layak berbeda. Tidak semua orang di dunia ini harus mengerjakan sawah dan membuang kotoran ternak bukan? Sementara aku bekerja sebagai guru honorer dan menjual gorengan untuk dititipkan di kantin sekolah sebagai penghasilan tambahan. Apa itu tidak cukup baginya?
Ardi sudah tenang. Aku menidurkannya di kamar, kemudian kembali meneruskan aktivitas menggorengku di dapur. Kudengar Mas Bayu masih mengomel di ruang tengah, aku melewatinya begitu saja. Entah apa yang ia katakan, aku enggan mendengarkannya.
Tinggal satu jam sebelum mengantar gorengan ini ke rumah Bu Darmi. Ini adalah hari pertamaku menitipkan gorengan di sana. Bu Darmi adalah pemilik angkringan yang buka setiap malam. Beliau bilang kalau anak-anak muda sangat suka makan gorengan saat menongkrong. Sementara ia yang sudah mulai menua merasa tidak sanggup untuk membuat gorengan banyak. Jadilah ia menawariku untuk bekerjasama.
“Thea, kamu punya uang enggak?” suara lembut Mas Bayu bersamaan dengan serokan terakhir di penggorengan.
“Nggak.”
“Sama sekali?”
“Nggak punya,” jawabku ketus.
“Beneran?” tanyanya tak ingin menyerah.
Aku diam saja. Sudah terlalu hapal dengan rute pembicaraan ini. Pada akhirnya aku yang harus terus-menerus mengalah.
“Heh. Kok malah diam saja, ditanyain sama suaminya juga. Punya uang enggak!”
“Sepuluh ribu,” jawabku akhirnya. Aku tidak pernah tahu kenapa selalu gagal setiap kali berusaha berbohong padanya.
“Sini.” Berat hati kuberikan uang sepuluh ribu yang seharusnya akan aku pergunakan untuk membeli sayur untuk nanti malam.
“Jadi istri tukang bohong. Pantas saja suaminya pengangguran,” ketusnya sebelum akhirnya berlalu pergi.
‘Sungguh, aku sudah tidak sanggup.’
Dalam pernikahan semua orang ingin sampai pada sesuatu yang disebut sakinah mawadah wa rahmah. Tapi bagaimana jika impian itu akhirnya harus kandas, kemudian diri dihadapkan dengan situasi sulit yang memaksa untuk memilih.
Haruskah berpisah, atau bertahan?
2 Tanggapan
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.