Haruskah Bertahan, Mas?

Esana Gulpinar
Sinopsis Bagiku perempuan itu harus kuat. Karena tidak selamanya laki-laki yang saat ini ada bersama kita akan selamanya bersama kita. Takdirnya adalah, jika tidak diambil wanita lain, ya dia akan diambil Tuhan. Itulah kenapa, aku selalu merasa penting untuk berdiri di atas kakiku sendiri.

Bagikan Cerita ini :

BAB 1

“Ibu macam apa kamu! Dari tadi sibuk nggoreng terus. Anak kamu itu, di luar nangis! Di dapur aja terus. Anak sama suami nggak di urus!” Omelan suamiku membuatku tergopoh dari dapur.

“Thea!” serunya lagi. Ia terus saja berteriak tanpa berinisiatif untuk membantuku menenangkan Ardi yang sedang menangis. Kerjanya sepanjang hari hanya bermain handphone saja.

Aku keluar menyusul anakku yang menangis, dengan pakaian kebangsaan emak-emak kugendong Ardi yang masih menangis kencang masuk ke dalam rumah.

“Sayang, udah jangan nangis ya. Ikut Ibu ke dapur. Ibu lagi goreng tempe kesukaan kamu. Udah ya, jangan nangis. Anak ganteng gak boleh nangis,” ujarku. Tapi tetap saja ia tidak mau berhenti. Entah apa yang terjadi hingga ia bisa menangis.

“Sayang, kamu kenapa? Ada apa? Apa ada yang nakal sama kamu, siapa? Ayo bilang sama Ibu, biar Ibu jewer nanti telinganya,” kataku. Aku terus berusaha untuk membuatnya tenang. Jika ia terus menangis pekerjaanku di dapur akan semakin lama selesainya.

“Duhh! Berisik sekali kalian. Bisa diam nggak!” seru Mas Bayu, suamiku.

“Ssst, sayang jangan nangis lagi, ya. Bapak lagi marah. Ikut Ibu ke dapur, nanti ibu kasih makanan enak. Mau, ‘kan?” rayuku. Aku berharap putraku itu menurut dan tidak menangis lagi.

“Bisa diem enggak! Berisik tau nggak! Berisik!” seru Mas Bayu lagi.

Aku mulai ketakutan, khawatir jika Mas Bayu mulai main tangan. Ia laki-laki temperamental yang mudah sekali melempar benda keras setiap kali merasa terganggu.

“Arghh! Bisa diam enggak!”

Bugh!

Benar saja, sebuah asbak melayang ke arah Ardi. Aku berbalik hingga akhirnya asbak itu membentur bagian belakang kepalaku keras. Seketika pusing mendera, penglihatan dan pendengaranku memudar. Bumi seolah berputar dan membuatku goyah.

Semua itu terjadi hanya sesaat, kemudian semuanya kembali normal. Hanya saja, rasa kebas masih terasa mematikan indera perasa.

Ardi kembali menangis, aku memeluknya erat. Membawanya pergi ke dapur dan mengusap kepalanya pelan. Aku sengaja menjauhkannya dari Mas Bayu karena aku tidak mau kalau sampai putraku ini kena sasaran amarahnya lagi.

“Itu akibatnya kalau Ibu nggak bisa ngurus anaknya. Alasan saja jual gorengan. Hasil nggak seberapa aja belagu!” Mas Bayu terus mengomel. Aku bisa mendengarnya dari dapur.

‘Tidak seberapa? Bukankah ini jauh lebih baik dari pada dia yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Kerja tidak, makannya saja dari uang hasil jualanku.’ Sakit rasanya saat semua kerja kerasku sebagai seorang istri tidak pernah dihargai.

Segala pengorbanan yang aku berikan tidak pernah terlihat di matanya. Ia selalu membandingkanku dengan wanita lain, padahal jika kulihat dari kacamataku wanita-wanita yang ia sebut itu tidak lebih baik dariku.

Katakan, siapa yang sudi hidup berdampingan dengan laki-laki miskin. Temperamental, berperilaku buruk, kasar, egois, dan semena-mena?

Dia selalu mengatakan, istri orang lain bisa mengerjakan sawah sekaligus membuang kotoran sapi. Tapi dia lupa, aku bisa menghasilkan uang, sekaligus merawat dirinya dan putraku. Menghidupi keluarga tanpa menadahkan tangan dari dia yang bahkan tidak berpenghasilan. Pengangguran, tidak ada hal lain yang ia lakukan selain bermain handphone, makan, berak, dan marah-marah.

Hanya karena caraku berbeda dengan wanita lain, lantas apakah ia berhak menghinaku?

Bukankah pekerjaan itu layak berbeda. Tidak semua orang di dunia ini harus mengerjakan sawah dan membuang kotoran ternak bukan? Sementara aku bekerja sebagai guru honorer dan menjual gorengan untuk dititipkan di kantin sekolah sebagai penghasilan tambahan. Apa itu tidak cukup baginya?

Ardi sudah tenang. Aku menidurkannya di kamar, kemudian kembali meneruskan aktivitas menggorengku di dapur. Kudengar Mas Bayu masih mengomel di ruang tengah, aku melewatinya begitu saja. Entah apa yang ia katakan, aku enggan mendengarkannya.

Tinggal satu jam sebelum mengantar gorengan ini ke rumah Bu Darmi. Ini adalah hari pertamaku menitipkan gorengan di sana. Bu Darmi adalah pemilik angkringan yang buka setiap malam. Beliau bilang kalau anak-anak muda sangat suka makan gorengan saat menongkrong. Sementara ia yang sudah mulai menua merasa tidak sanggup untuk membuat gorengan banyak. Jadilah ia menawariku untuk bekerjasama.

“Thea, kamu punya uang enggak?” suara lembut Mas Bayu bersamaan dengan serokan terakhir di penggorengan.

“Nggak.”

“Sama sekali?”

“Nggak punya,” jawabku ketus.

“Beneran?” tanyanya tak ingin menyerah.

Aku diam saja. Sudah terlalu hapal dengan rute pembicaraan ini. Pada akhirnya aku yang harus terus-menerus mengalah.

“Heh. Kok malah diam saja, ditanyain sama suaminya juga. Punya uang enggak!”

“Sepuluh ribu,” jawabku akhirnya. Aku tidak pernah tahu kenapa selalu gagal setiap kali berusaha berbohong padanya.

“Sini.” Berat hati kuberikan uang sepuluh ribu yang seharusnya akan aku pergunakan untuk membeli sayur untuk nanti malam.

“Jadi istri tukang bohong. Pantas saja suaminya pengangguran,” ketusnya sebelum akhirnya berlalu pergi.

‘Sungguh, aku sudah tidak sanggup.’

Dalam pernikahan semua orang ingin sampai pada sesuatu yang disebut sakinah mawadah wa rahmah. Tapi bagaimana jika impian itu akhirnya harus kandas, kemudian diri dihadapkan dengan situasi sulit yang memaksa untuk memilih.

Haruskah berpisah, atau bertahan?

BAB 2

Kuhela napas panjang untuk kesekian kalinya. Berharap rasa sabar kembali mendinginkan hati yang mulai meledak-ledak.

Setelah mengangkat semua gorengan dan memasukkannya ke dalam keranjang. Aku bergegas mandi dan bersiap untuk mengantar gorengan ke rumah Bu Darmi.

Sebelum pergi, aku menggendong Ardi yang masih tidur. Hatiku tidak akan tega membiarkan dirinya di rumah sendirian sementara bapaknya asik nongkrong di pos ronda bersama teman-temannya yang tidak jelas itu.

Sambil menggendong, aku berjalan ke rumah Bu Darmi dengan menenteng keranjang gorengan yang lumayan besar. Meski berat, aku tidak boleh patah arang. Semua ini demi Ardi, putraku harus terus tumbuh dan sehat.

“Assalamualaikum, Bu Darmi.” Suara salamku menggema di depan rumah Bu Darmi. Tidak lama kemudian wanita yang usianya dua kali lipat dariku itu tergopoh-gopoh  menghampiri.

“Nak Thea, bagaimana?” tanyanya ramah.

“Mau antar gorengan, Bu. Seperti yang Ibu bilang, aku membuat seratus gorengan tiga macam.”

“Oalah, iya iya. Boleh lihat, Nak?”

“Ini.” Kusodorkan keranjang yang sejak tadi kutenteng.

Ringan langsung kurasakan begitu benda berat itu pindah ke lantai. Kupijat lenganku pelan sambil mengamati Bu Darmi yang mengecek gorengan.

“Wah, enak ini Thea. Besok bikin lebih banyak, ya. Anak-anak sangat suka, mereka bisa menghabiskan banyak sekali gorengan di sini.”

“Yang benar, Bu?”

“Iya, sebentar aku ambilkan uangnya dulu.”

Aku mengangguk. Mengamati tubuh gempalnya yang menjauh.

“Nenek. Bajuku mana yaa?” Kudengar suara anak muda dari dalam. Sepertinya itu cucunya Bu Darmi.

Aku duduk-duduk saja di depan teras sambil menunggu. Sepertinya akan sedikit lama karena Bu Darmi masih mengurus cucunya yang tiba-tiba rewel.

Dari tempatku duduk saat ini, aku bisa melihat pemandangan yang terjadi di jalan. Rumah Bu Darmi terletak di pinggir jalan raya, tak heran jika banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang.

Mataku tertuju pada dua sejoli yang sedang mendorong sepeda motor. Nampaknya mereka adalah anak kuliahan. Seketika ingatanku berputar ke belakang.

“Mas, mogok lagi?” tanyaku begitu motor yang dikendarai Mas Bayu tiba-tiba berhenti.

“Iya, Dik. Kamu turun dulu, ya. Bantuin aku dorong.”

“Iya, Mas,” jawabku mulai mendorong motornya.

Itu seolah menjadi rutinitas yang pasti. Hampir setiap hari setiap kali Mas Bayu menjemputku pulang kuliah motornya selalu mogok dan berakhir dengan aku yang mendorongnya dari belakang.

Kala itu aku sedang ada di semester terakhir, sementara Mas Bayu seorang pengangguran lulusan SMA. Kami kenal melalui temannya yang tidak lain menjadi pacar sahabatku. Sahabatku bernama Fanny.  Dulu kami sering double date, tapi sekarang aku tidak tahu Fanny ada di mana. Kabar terakhir yang aku dengar, ia putus dengan pacarnya dulu. Setelah itu, ia hilang bagaikan ditelan bumi.

“Jauhi Bayu, dia bukan laki-laki yang baik.” Itu adalah pesan terakhir Fanny sebelum akhirnya dia pergi.

Aku tidak percaya, karena selama pacaran Mas Bayu tidak pernah bersikap buruk padaku. Kini aku baru menyadari apa maksud dari perkataan Fanny kala itu.

Mengingat itu membuat hatiku tiba-tiba rindu dengan sahabatku itu.

‘Fanny, kamu apa kabar?’

“Nak Thea, ini uangnya. Maaf ya, membuatmu lama nunggu. Cucuku tiba-tiba rewel tadi. Hehehe.” Aku menoleh dan mendapati Bu Darmi menyodorkan beberapa lembar uang untukku.

“Iya, Bu. Terima kasih, ya. Tidak apa-apa. Malahan aku bisa istirahat sebentar di sini,” jawabku sambil tersenyum.

Wajah wanita yang tidak lagi muda itu menatapku dengan senyum tulus. “Iya, Nak. Sama-sama.”

“Ya udah, Bu. Aku pamit pulang dulu.”

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan.”

Sepeninggalku dari rumah Bu Darmi, aku kembali menelusuri jalanan di bawah terik matahari.

Dari sini, di pinggir jalan dengan debu yang beterbangan. Mataku terpaku pada mobil mewah yang melewatiku begitu saja. Di desa ini jarang sekali orang memiliki mobil, tidak heran jika mataku pun tertarik pada kendaraan roda empat warna hitam metalik tersebut.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah, aku terkejut begitu tahu siapa yang turun dari sana.

“Fanny,” ucapku lirih.

“Benarkah dia Fanny?”

BAB 3

“Fanny!” seruku tanpa bisa aku tahan. Rasanya sangat bahagia, saat kita merindukan seseorang dan tiba-tiba orang itu muncul di hadapan kita.

Wanita yang kupanggil Fanny itu menoleh. Dahinya berkerut, sepertinya dia tidak mengingat tentangku yang pernah menjadi sahabatnya selama kuliah.

Aku mendekat, siapa tahu dengan melihatku lebih dekat. Ia akan ingat  tentang siapa aku.

“Thea? Kamu Thea ‘kan?” Matanya berbinar. Aku bahagia, ternyata ia masih mengingatku. Tadinya sempat berpikir dia lupa karena status sosial kami yang sangat berbeda saat ini.

“Iya Fanny, kamu apa kabar? Aku kangen banget sama kamu. Subhanallah, sekarang kamu sudah sukses. Bangga sekali dengan sahabatku yang satu ini,” tuturku pelan. Wajahnya berseri mendengar mulutku yang mencerocos tanpa jeda.

“Alhamdulillah, mau mampir dulu enggak?” tanyanya. “Kita ngobrol-ngobrol dulu di dalam,” tambahnya lagi.

“Emmm.” Aku ingin menolak karena banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Tapi kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Takutnya aku tidak akan bertemu Fanny lagi setelahnya. Melihat kesuksesannya sekarang, ia pasti orang yang sangat sibuk.

“Ayolah Thea, kita udah lama banget loh enggak ngobrol-ngobrol. Aku kangen banget sama kamu. Mampir ya?” Senyumnya masih sama, masih manis seperti saat pertama kali aku mengenalnya.

“Iya udah, tapi aku nggak bisa lama ya. Maklum, sudah emak-emak begini, banyak sekali kerjaan yang harus diurus hehehe,” ucapku memamerkan deretan gigiku yang lumayan rapi. Hanya ada dua gingsul di sisi kiri kanan. Namun gingsul itulah yang membuat wajahku terlihat manis. Begitu kata teman-temanku dulu.

“Iya, santai aja. Aku ngerti ‘kok. Yang penting kamu mau mampir aja aku udah seneng banget,” tuturnya lembut. Mataku menatap iri keanggunan yang dimiliki Fanny. Ia terlihat sangat beruntung dengan kemewahan yang ia punya.

“Ayo masuk,” ajaknya sembari menarik tubuhku untuk masuk ke rumahnya.

Mulutku tidak berhenti berdecak, mataku menatap takjub isi dalam rumah mewah milik Fanny. Aku tidak pernah tahu jika rumah mewah yang baru jadi beberapa hari lalu dan sempat membuat heboh beberapa orang di desa ternyata milik Fanny, sahabatku.

“Wah, bagus sekali rumahmu Fan. Sungguh beruntung dirimu, sudah cantik. Kaya raya pula. Pasti banyak laki-laki yang naksir sama kamu. Mereka beruntung jika mendapatkan kamu.” Mulutku tidak berhenti memuji keberuntungan dari kerja kerasnya. Tidak menyangka sekaligus bangga melihatnya seperti ini.

“Iya Thea. Tapi aku tidak seberuntung yang kamu katakan. Kamu benar, banyak laki-laki yang tertarik. Tapi mereka tidak pernah tulus terhadapku. Sehingga sampai saat ini, aku masih tetap sendiri.” Suaranya begitu sendu. Aku sedikit tidak percaya, tapi melihat air wajahnya yang berubah sedikit pucat. Aku pun memilih untuk mengganti pembicaraan dengan topik lain.

“Selama bertahun-tahun kamu kemana saja Fan? Bisa-bisanya pergi enggak bilang-bilang dulu? Kalau tahu kamu pergi aku ‘kan bisa ikut. Siapa tahu aku bisa sesukses kamu saat ini.”

“Hahaha. Ada-ada saja kamu Thea. Oh iya, ini anak kamu?” Aku tersenyum, mengangguk.

“Ganteng sekali. Siapa ayahnya?” tanyanya lagi. Kelihatannya ia memang tidak tahu tentang pernikahanku dengan Mas Bayu.

“Mas Bayu,” ucapku lirih.

“B-Ba-yu?” Ia tergagap. Bisa kulihat perangainya mendadak aneh. Ia terlihat gugup dan cemas. Entah kenapa.

“Iya Fanny. Kenapa?”

“Bukankah sudah aku bilang, kalau dia bukan laki-laki yang baik. Kenapa kamu menikah dengannya?”

“Dulu aku mencintainya.”

“Sekarang?”

“Aku tidak tahu, perangainya berubah drastis sekarang ini. Dia kasar, pemalas, bahkan ia gampang sekali marah.”

“Kamu masih mencintainya.”

“Aku tidak tahu.”

“Tinggalkan dia, Thea. Percaya padaku. Atau kamu akan menyesal seumur hidup.” Fanny berkata tanpa melihat ke arah mataku.

‘Apa yang Fanny sembunyikan? Kenapa ia begitu resah, apakah ia tahu kalau kelembutan Mas Bayu padaku saat masih pacaran hanya topeng belaka.’

BAB 4

“Kamu dari mana? Kok lama banget baru pulang?” Mas Bayu menatapku penuh selidik. Ia terus mengamati diriku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Antar gorengan,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.

“Ohh. Tapi kok lama?”

“Iya. Tadi nggak sengaja ketemu Fanny di depan rumahnya. Terus aku disuruh mampir, jadilah kita ngobrol sebentar di rumah dia.”

“Fanny? Temanmu waktu kuliah? Dia tinggal di sini?”

“Iya, Mas. Kenapa, kok kelihatan bahagia begitu?”

“Enggak kenapa-napa,” jawabnya sambil lalu. Aku hanya menatap Laki-laki yang pergi begitu saja. Seolah aku tidak diangggap ada di depannya.

***

“Huhuhu huhu ….” Pagi-pagi kudengar siulan nyaring di teras rumah.

Aku sedang menyisir rambut Ardi sebelum membawanya pergi mengajar.

Aku memang selalu membawa Ardi, di sekolah aku akan menitipkannya pada seorang pedagang yang cukup akrab denganku.

Namanya Bu Narti. Beliau sendiri yang menawarkan bantuan untuk menjaga Ardi selama aku mengajar. Kemudian saat jam istirahat aku akan membantunya berjualan. Maklum saja, ia sedikit kerepotan karena mayoritas anak-anak di sekolah ini senang membeli makanan di tempatnya.

“Loh, Mas. Kamu mau ke mana?” tanyaku saat mendapati Mas Bayu lah orang yang bersiul di depan rumah. Karena biasanya laki-laki itu masih asik tidur di jam seperti ini.

Bukan hanya itu yang membuatku bertanya. Ia terlihat sangat rapi, bersih, dan wangi. Setelah menikah belum sekalipun ia terlihat Serapi itu di depanku.

“Mau jalan-jalan. Sekaligus mencari pekerjaan,” jawabnya tenang. Tapi tetap tidak menutupi aura semangat yang terpancar di wajahnya.

“Nyari kerja?” tanyaku nyaris tidak percaya.

“Iya. Kenapa?”

“Enggak. Hanya ….”

“Kamu kaget, ya? Aku ini laki-laki. Jadi sudah tugasku bekerja dan mencari nafkah.”

“Mas?” Kutempelkan punggung tanganku di keningnya. Tidak ada yang aneh, suhunya normal-normal saja.

“Apa saat ini aku sedang bermimpi?” tanyaku mirip seperti gumaman.

“Kamu tidak bermimpi. Aku memang akan mencari pekerjaan. Sudah ya, aku pergi dulu.” Ternyata dia mendengar ucapanku. Aku melongo melihat dia yang pergi sambil menenteng map di tangan kiri.

Mataku terus menatapnya sampai ia benar-benar menghilang.

***

Banyak yang berubah dengan diri Mas Bayu. Dalam sehari aku dibuat heran dengan semua perubahannya.

Aku baru saja pulang mengajar dan sedang mempersiapkan peralatan menggoreng. Bu Darmi bilang ia minta lebih banyak, jadi aku pun sudah menyiapkan bahan-bahannya lebih banyak.

“Assalamualaikum ….” Terdengar suara salam dari luar.

Aku sempat berpikir ada tamu yang datang. Tapi ternyata tidak. Mas Bayu masuk dengan wajah lelah, namun ada binar bahagia di matanya.

‘Mas Bayu mengucap salam? Dia tobat atau kesambet apa semalam?’ batinku.

“Sudah pulang, Mas?” tanyaku.

“Iya.”

“Dapat kerja?”

“Hmmm.” Laki-laki itu berlalu masuk ke dalam kamar. Ternyata ia terlihat bahagia karena sudah dapat kerjaan.

Aneh. Tapi aku tidak ingin terlalu peduli dan mulai fokus membuat gorengan untuk Bu Darmi.

Saat aku sedang sibuk-sibuknya membuat gorengan. Mas Bayu ke belakang, dan kembali saat ia sudah mengambil wudhu. Lagi, aku heran melihat dia melaksanakan shalat. Melihatnya seperti itu membuatku berkaca-kaca. Dia berubah, benarkah Mas Bayu yang aku kenal telah kembali?

‘Ehm, semoga saja dia tidak sedang bersandiwara.’

Tidak terasa sudah tiga jam aku berkutat dengan dapur. Pesanan Bu Darmi sudah jadi. Secepatnya aku berkemas untuk mengantarnya.

Aku keluar bersamaan dengan Mas Bayu yang juga akan pergi. Dia terlihat rapi dan sangat wangi. Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-jangan dia ….

Ah, kalaupun iya pun harusnya aku tidak terlalu peduli.

Langit sore yang sudah tidak terlalu panas menemani langkahku meninggalkan rumah Bu Darmi. Sepanjang jalan terasa mudah, meski sebenarnya aku sedang kelelahan.

Saat melewati rumah Fanny, aku sempat melihat sekelebat bayangan laki-laki yang mirip sekali dengan Mas Bayu. Tapi aku tidak yakin itu dirinya, karena Fanny sangat membencinya.

Penasaran ingin memastikan, aku berjalan mendekat. Bersembunyi dibalik tembok pagar. Dari tempatku berdiri bisa kulihat dengan jelas siapa yang ada di balik kaca berlapis tirai tipis.

‘Fanny? Benarkah itu dia? Tapi ….’

BAB 5

“Oh, jadi begini. Dia bukan orang baik, karena ternyata kamu menyukainya?” Sindirku pedas. Fanny yang tidak menyadari keberadaanku sontak terkejut dan melepaskan bibirnya dari milik Mas Bayu.

Wanita itu gugup, sementara Mas Bayu terlihat biasa saja. Ia bahkan terlihat tidak rela Fanny menghentikan aktivitasnya. Laki-laki itu menatapku sinis seolah aku adalah pengganggu.

Dia memang benar, aku sudah mengganggu olahraga beratnya dengan Fanny.

“Thea aku bisa jelasin. Aku sama Mas Bayu itu ….”

“Mas Bayu? Kamu bahkan memanggilnya ‘Mas’. Hahaha, katakan saja jika kamu menyukainya Fanny. Aku akan dengan sangat ikhlas melepaskan laki-laki yang nggak ada gunanya ini.”

“Thea, aku ….”

“Sudahlah, Sayang. Untuk apa pedulikan wanita ini. Karena dia sahabatmu? Jadi kau melepaskan aku yang begitu mencintaimu?” tanya Mas Bayu menarik Fanny ke dalam pelukannya.

“Cinta?” Aku tidak percaya. Sejak kapan Mas Bayu mencintai Fanny?

Seketika ingatanku berputar pada hari kemarin. Saat Mas Bayu terlihat begitu bahagia mendengar keberadaan Fanny di desa ini.

Jadi aku telah salah paham, dia berubah bukan karena sadar. Melainkan karena orang yang dicintai ada di sini.

Ternyata benar, perempuan tidak bisa membuat seorang laki-laki berubah. Tapi laki-laki akan berubah karena orang yang dia cintai. Jadi selama ini bukan aku yang dicintai Mas Bayu, tapi kenapa dia menjalin hubungan denganku?

“Ada apa, Thea? Kamu terkejut. Aku pacaran sama kamu karena kamu adalah sahabat Fanny. Dengan aku pacaran sama kamu, aku bisa melihat Fanny setiap saat. Fanny, dia adalah seseorang yang paling aku cintai. Sayangnya dia malah pacaran dengan Aldo.” Mas Bayu menatapku sekilas. Kemudian beralih pada Fanny yang terlihat bersalah.

“Tapi tidak masalah, akhirnya aku bisa memiliki Fanny sesuai dengan keinginanku. Aku tidak pernah mencintaimu, Thea. Harusnya kamu sadar dengan sikapku selama ini.”

Aku tidak percaya semua ini, namun aku tidak terlalu terkejut. Sudah cukup penderitaan yang aku tanggung karena Mas Bayu. Sekarang aku berhak bahagia. Jika dia bukan cintaku, aku layak menemukan pria yang mencintaiku.

“Tidak apa-apa, Mas. Semoga kalian bahagia. Mulai detik ini kamu jangan pulang. Aku akan urus perceraian kita. Dan kamu Fanny. Mulai sekarang kamu bukan sahabat yang aku rindukan lagi. Aku pergi.” Aku berjalan meninggalkan rumah Fanny. Di depan pintu aku masih bisa mendengar percakapan mereka.

“Thea!” Fanny memanggilku.

“Fanny, cukup. Sudah cukup penantianku selama ini. Aku mencintaimu, aku tidak akan melepaskanmu lagi.”

“Tapi Thea?”

“Dia wanita kuat. Dia bisa hidup tanpa aku. Thea juga akan menemukan pria yang mencintainya seperti aku yang sangat mencintaimu.”

Rasanya nyeri di ulu hati mendengar percakapan mereka. Apa hanya karena aku kuat, sehingga dia layak mempermainkaku seperti ini. Jika dia tidak mencintaiku dari awal, seharusnya ia tidak perlu sampai menikahiku.

Aku pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang penuh luka. Hatiku mungkin sudah tidak berbentuk lagi.

Air mataku menetes. Hanya setitik, tanganku menghapusnya kasar. Mulai detik ini akan aku buktikan perkataan mereka.

Mereka benar, aku wanita kuat. Jadi hal seperti ini tidak akan melukaiku lebih lama. Penghianatan mereka tidak akan membuatku hancur. Aku akan bangkit, aku akan berdiri elbih kuat dengan senyuman.

Demi hidupku sendiri, aku akan membuktikan bahwa aku kuat.

2 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Haruskah Bertahan, Mas?

Esana Gulpinar

BAB 1

“Ibu macam apa kamu! Dari tadi sibuk nggoreng terus. Anak kamu itu, di luar nangis! Di dapur aja terus. Anak sama suami nggak di urus!” Omelan suamiku membuatku tergopoh dari dapur.

“Thea!” serunya lagi. Ia terus saja berteriak tanpa berinisiatif untuk membantuku menenangkan Ardi yang sedang menangis. Kerjanya sepanjang hari hanya bermain handphone saja.

Aku keluar menyusul anakku yang menangis, dengan pakaian kebangsaan emak-emak kugendong Ardi yang masih menangis kencang masuk ke dalam rumah.

“Sayang, udah jangan nangis ya. Ikut Ibu ke dapur. Ibu lagi goreng tempe kesukaan kamu. Udah ya, jangan nangis. Anak ganteng gak boleh nangis,” ujarku. Tapi tetap saja ia tidak mau berhenti. Entah apa yang terjadi hingga ia bisa menangis.

“Sayang, kamu kenapa? Ada apa? Apa ada yang nakal sama kamu, siapa? Ayo bilang sama Ibu, biar Ibu jewer nanti telinganya,” kataku. Aku terus berusaha untuk membuatnya tenang. Jika ia terus menangis pekerjaanku di dapur akan semakin lama selesainya.

“Duhh! Berisik sekali kalian. Bisa diam nggak!” seru Mas Bayu, suamiku.

“Ssst, sayang jangan nangis lagi, ya. Bapak lagi marah. Ikut Ibu ke dapur, nanti ibu kasih makanan enak. Mau, ‘kan?” rayuku. Aku berharap putraku itu menurut dan tidak menangis lagi.

“Bisa diem enggak! Berisik tau nggak! Berisik!” seru Mas Bayu lagi.

Aku mulai ketakutan, khawatir jika Mas Bayu mulai main tangan. Ia laki-laki temperamental yang mudah sekali melempar benda keras setiap kali merasa terganggu.

“Arghh! Bisa diam enggak!”

Bugh!

Benar saja, sebuah asbak melayang ke arah Ardi. Aku berbalik hingga akhirnya asbak itu membentur bagian belakang kepalaku keras. Seketika pusing mendera, penglihatan dan pendengaranku memudar. Bumi seolah berputar dan membuatku goyah.

Semua itu terjadi hanya sesaat, kemudian semuanya kembali normal. Hanya saja, rasa kebas masih terasa mematikan indera perasa.

Ardi kembali menangis, aku memeluknya erat. Membawanya pergi ke dapur dan mengusap kepalanya pelan. Aku sengaja menjauhkannya dari Mas Bayu karena aku tidak mau kalau sampai putraku ini kena sasaran amarahnya lagi.

“Itu akibatnya kalau Ibu nggak bisa ngurus anaknya. Alasan saja jual gorengan. Hasil nggak seberapa aja belagu!” Mas Bayu terus mengomel. Aku bisa mendengarnya dari dapur.

‘Tidak seberapa? Bukankah ini jauh lebih baik dari pada dia yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Kerja tidak, makannya saja dari uang hasil jualanku.’ Sakit rasanya saat semua kerja kerasku sebagai seorang istri tidak pernah dihargai.

Segala pengorbanan yang aku berikan tidak pernah terlihat di matanya. Ia selalu membandingkanku dengan wanita lain, padahal jika kulihat dari kacamataku wanita-wanita yang ia sebut itu tidak lebih baik dariku.

Katakan, siapa yang sudi hidup berdampingan dengan laki-laki miskin. Temperamental, berperilaku buruk, kasar, egois, dan semena-mena?

Dia selalu mengatakan, istri orang lain bisa mengerjakan sawah sekaligus membuang kotoran sapi. Tapi dia lupa, aku bisa menghasilkan uang, sekaligus merawat dirinya dan putraku. Menghidupi keluarga tanpa menadahkan tangan dari dia yang bahkan tidak berpenghasilan. Pengangguran, tidak ada hal lain yang ia lakukan selain bermain handphone, makan, berak, dan marah-marah.

Hanya karena caraku berbeda dengan wanita lain, lantas apakah ia berhak menghinaku?

Bukankah pekerjaan itu layak berbeda. Tidak semua orang di dunia ini harus mengerjakan sawah dan membuang kotoran ternak bukan? Sementara aku bekerja sebagai guru honorer dan menjual gorengan untuk dititipkan di kantin sekolah sebagai penghasilan tambahan. Apa itu tidak cukup baginya?

Ardi sudah tenang. Aku menidurkannya di kamar, kemudian kembali meneruskan aktivitas menggorengku di dapur. Kudengar Mas Bayu masih mengomel di ruang tengah, aku melewatinya begitu saja. Entah apa yang ia katakan, aku enggan mendengarkannya.

Tinggal satu jam sebelum mengantar gorengan ini ke rumah Bu Darmi. Ini adalah hari pertamaku menitipkan gorengan di sana. Bu Darmi adalah pemilik angkringan yang buka setiap malam. Beliau bilang kalau anak-anak muda sangat suka makan gorengan saat menongkrong. Sementara ia yang sudah mulai menua merasa tidak sanggup untuk membuat gorengan banyak. Jadilah ia menawariku untuk bekerjasama.

“Thea, kamu punya uang enggak?” suara lembut Mas Bayu bersamaan dengan serokan terakhir di penggorengan.

“Nggak.”

“Sama sekali?”

“Nggak punya,” jawabku ketus.

“Beneran?” tanyanya tak ingin menyerah.

Aku diam saja. Sudah terlalu hapal dengan rute pembicaraan ini. Pada akhirnya aku yang harus terus-menerus mengalah.

“Heh. Kok malah diam saja, ditanyain sama suaminya juga. Punya uang enggak!”

“Sepuluh ribu,” jawabku akhirnya. Aku tidak pernah tahu kenapa selalu gagal setiap kali berusaha berbohong padanya.

“Sini.” Berat hati kuberikan uang sepuluh ribu yang seharusnya akan aku pergunakan untuk membeli sayur untuk nanti malam.

“Jadi istri tukang bohong. Pantas saja suaminya pengangguran,” ketusnya sebelum akhirnya berlalu pergi.

‘Sungguh, aku sudah tidak sanggup.’

Dalam pernikahan semua orang ingin sampai pada sesuatu yang disebut sakinah mawadah wa rahmah. Tapi bagaimana jika impian itu akhirnya harus kandas, kemudian diri dihadapkan dengan situasi sulit yang memaksa untuk memilih.

Haruskah berpisah, atau bertahan?

BAB 2

Kuhela napas panjang untuk kesekian kalinya. Berharap rasa sabar kembali mendinginkan hati yang mulai meledak-ledak.

Setelah mengangkat semua gorengan dan memasukkannya ke dalam keranjang. Aku bergegas mandi dan bersiap untuk mengantar gorengan ke rumah Bu Darmi.

Sebelum pergi, aku menggendong Ardi yang masih tidur. Hatiku tidak akan tega membiarkan dirinya di rumah sendirian sementara bapaknya asik nongkrong di pos ronda bersama teman-temannya yang tidak jelas itu.

Sambil menggendong, aku berjalan ke rumah Bu Darmi dengan menenteng keranjang gorengan yang lumayan besar. Meski berat, aku tidak boleh patah arang. Semua ini demi Ardi, putraku harus terus tumbuh dan sehat.

“Assalamualaikum, Bu Darmi.” Suara salamku menggema di depan rumah Bu Darmi. Tidak lama kemudian wanita yang usianya dua kali lipat dariku itu tergopoh-gopoh  menghampiri.

“Nak Thea, bagaimana?” tanyanya ramah.

“Mau antar gorengan, Bu. Seperti yang Ibu bilang, aku membuat seratus gorengan tiga macam.”

“Oalah, iya iya. Boleh lihat, Nak?”

“Ini.” Kusodorkan keranjang yang sejak tadi kutenteng.

Ringan langsung kurasakan begitu benda berat itu pindah ke lantai. Kupijat lenganku pelan sambil mengamati Bu Darmi yang mengecek gorengan.

“Wah, enak ini Thea. Besok bikin lebih banyak, ya. Anak-anak sangat suka, mereka bisa menghabiskan banyak sekali gorengan di sini.”

“Yang benar, Bu?”

“Iya, sebentar aku ambilkan uangnya dulu.”

Aku mengangguk. Mengamati tubuh gempalnya yang menjauh.

“Nenek. Bajuku mana yaa?” Kudengar suara anak muda dari dalam. Sepertinya itu cucunya Bu Darmi.

Aku duduk-duduk saja di depan teras sambil menunggu. Sepertinya akan sedikit lama karena Bu Darmi masih mengurus cucunya yang tiba-tiba rewel.

Dari tempatku duduk saat ini, aku bisa melihat pemandangan yang terjadi di jalan. Rumah Bu Darmi terletak di pinggir jalan raya, tak heran jika banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang.

Mataku tertuju pada dua sejoli yang sedang mendorong sepeda motor. Nampaknya mereka adalah anak kuliahan. Seketika ingatanku berputar ke belakang.

“Mas, mogok lagi?” tanyaku begitu motor yang dikendarai Mas Bayu tiba-tiba berhenti.

“Iya, Dik. Kamu turun dulu, ya. Bantuin aku dorong.”

“Iya, Mas,” jawabku mulai mendorong motornya.

Itu seolah menjadi rutinitas yang pasti. Hampir setiap hari setiap kali Mas Bayu menjemputku pulang kuliah motornya selalu mogok dan berakhir dengan aku yang mendorongnya dari belakang.

Kala itu aku sedang ada di semester terakhir, sementara Mas Bayu seorang pengangguran lulusan SMA. Kami kenal melalui temannya yang tidak lain menjadi pacar sahabatku. Sahabatku bernama Fanny.  Dulu kami sering double date, tapi sekarang aku tidak tahu Fanny ada di mana. Kabar terakhir yang aku dengar, ia putus dengan pacarnya dulu. Setelah itu, ia hilang bagaikan ditelan bumi.

“Jauhi Bayu, dia bukan laki-laki yang baik.” Itu adalah pesan terakhir Fanny sebelum akhirnya dia pergi.

Aku tidak percaya, karena selama pacaran Mas Bayu tidak pernah bersikap buruk padaku. Kini aku baru menyadari apa maksud dari perkataan Fanny kala itu.

Mengingat itu membuat hatiku tiba-tiba rindu dengan sahabatku itu.

‘Fanny, kamu apa kabar?’

“Nak Thea, ini uangnya. Maaf ya, membuatmu lama nunggu. Cucuku tiba-tiba rewel tadi. Hehehe.” Aku menoleh dan mendapati Bu Darmi menyodorkan beberapa lembar uang untukku.

“Iya, Bu. Terima kasih, ya. Tidak apa-apa. Malahan aku bisa istirahat sebentar di sini,” jawabku sambil tersenyum.

Wajah wanita yang tidak lagi muda itu menatapku dengan senyum tulus. “Iya, Nak. Sama-sama.”

“Ya udah, Bu. Aku pamit pulang dulu.”

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan.”

Sepeninggalku dari rumah Bu Darmi, aku kembali menelusuri jalanan di bawah terik matahari.

Dari sini, di pinggir jalan dengan debu yang beterbangan. Mataku terpaku pada mobil mewah yang melewatiku begitu saja. Di desa ini jarang sekali orang memiliki mobil, tidak heran jika mataku pun tertarik pada kendaraan roda empat warna hitam metalik tersebut.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah, aku terkejut begitu tahu siapa yang turun dari sana.

“Fanny,” ucapku lirih.

“Benarkah dia Fanny?”

BAB 3

“Fanny!” seruku tanpa bisa aku tahan. Rasanya sangat bahagia, saat kita merindukan seseorang dan tiba-tiba orang itu muncul di hadapan kita.

Wanita yang kupanggil Fanny itu menoleh. Dahinya berkerut, sepertinya dia tidak mengingat tentangku yang pernah menjadi sahabatnya selama kuliah.

Aku mendekat, siapa tahu dengan melihatku lebih dekat. Ia akan ingat  tentang siapa aku.

“Thea? Kamu Thea ‘kan?” Matanya berbinar. Aku bahagia, ternyata ia masih mengingatku. Tadinya sempat berpikir dia lupa karena status sosial kami yang sangat berbeda saat ini.

“Iya Fanny, kamu apa kabar? Aku kangen banget sama kamu. Subhanallah, sekarang kamu sudah sukses. Bangga sekali dengan sahabatku yang satu ini,” tuturku pelan. Wajahnya berseri mendengar mulutku yang mencerocos tanpa jeda.

“Alhamdulillah, mau mampir dulu enggak?” tanyanya. “Kita ngobrol-ngobrol dulu di dalam,” tambahnya lagi.

“Emmm.” Aku ingin menolak karena banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Tapi kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Takutnya aku tidak akan bertemu Fanny lagi setelahnya. Melihat kesuksesannya sekarang, ia pasti orang yang sangat sibuk.

“Ayolah Thea, kita udah lama banget loh enggak ngobrol-ngobrol. Aku kangen banget sama kamu. Mampir ya?” Senyumnya masih sama, masih manis seperti saat pertama kali aku mengenalnya.

“Iya udah, tapi aku nggak bisa lama ya. Maklum, sudah emak-emak begini, banyak sekali kerjaan yang harus diurus hehehe,” ucapku memamerkan deretan gigiku yang lumayan rapi. Hanya ada dua gingsul di sisi kiri kanan. Namun gingsul itulah yang membuat wajahku terlihat manis. Begitu kata teman-temanku dulu.

“Iya, santai aja. Aku ngerti ‘kok. Yang penting kamu mau mampir aja aku udah seneng banget,” tuturnya lembut. Mataku menatap iri keanggunan yang dimiliki Fanny. Ia terlihat sangat beruntung dengan kemewahan yang ia punya.

“Ayo masuk,” ajaknya sembari menarik tubuhku untuk masuk ke rumahnya.

Mulutku tidak berhenti berdecak, mataku menatap takjub isi dalam rumah mewah milik Fanny. Aku tidak pernah tahu jika rumah mewah yang baru jadi beberapa hari lalu dan sempat membuat heboh beberapa orang di desa ternyata milik Fanny, sahabatku.

“Wah, bagus sekali rumahmu Fan. Sungguh beruntung dirimu, sudah cantik. Kaya raya pula. Pasti banyak laki-laki yang naksir sama kamu. Mereka beruntung jika mendapatkan kamu.” Mulutku tidak berhenti memuji keberuntungan dari kerja kerasnya. Tidak menyangka sekaligus bangga melihatnya seperti ini.

“Iya Thea. Tapi aku tidak seberuntung yang kamu katakan. Kamu benar, banyak laki-laki yang tertarik. Tapi mereka tidak pernah tulus terhadapku. Sehingga sampai saat ini, aku masih tetap sendiri.” Suaranya begitu sendu. Aku sedikit tidak percaya, tapi melihat air wajahnya yang berubah sedikit pucat. Aku pun memilih untuk mengganti pembicaraan dengan topik lain.

“Selama bertahun-tahun kamu kemana saja Fan? Bisa-bisanya pergi enggak bilang-bilang dulu? Kalau tahu kamu pergi aku ‘kan bisa ikut. Siapa tahu aku bisa sesukses kamu saat ini.”

“Hahaha. Ada-ada saja kamu Thea. Oh iya, ini anak kamu?” Aku tersenyum, mengangguk.

“Ganteng sekali. Siapa ayahnya?” tanyanya lagi. Kelihatannya ia memang tidak tahu tentang pernikahanku dengan Mas Bayu.

“Mas Bayu,” ucapku lirih.

“B-Ba-yu?” Ia tergagap. Bisa kulihat perangainya mendadak aneh. Ia terlihat gugup dan cemas. Entah kenapa.

“Iya Fanny. Kenapa?”

“Bukankah sudah aku bilang, kalau dia bukan laki-laki yang baik. Kenapa kamu menikah dengannya?”

“Dulu aku mencintainya.”

“Sekarang?”

“Aku tidak tahu, perangainya berubah drastis sekarang ini. Dia kasar, pemalas, bahkan ia gampang sekali marah.”

“Kamu masih mencintainya.”

“Aku tidak tahu.”

“Tinggalkan dia, Thea. Percaya padaku. Atau kamu akan menyesal seumur hidup.” Fanny berkata tanpa melihat ke arah mataku.

‘Apa yang Fanny sembunyikan? Kenapa ia begitu resah, apakah ia tahu kalau kelembutan Mas Bayu padaku saat masih pacaran hanya topeng belaka.’

BAB 4

“Kamu dari mana? Kok lama banget baru pulang?” Mas Bayu menatapku penuh selidik. Ia terus mengamati diriku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Antar gorengan,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.

“Ohh. Tapi kok lama?”

“Iya. Tadi nggak sengaja ketemu Fanny di depan rumahnya. Terus aku disuruh mampir, jadilah kita ngobrol sebentar di rumah dia.”

“Fanny? Temanmu waktu kuliah? Dia tinggal di sini?”

“Iya, Mas. Kenapa, kok kelihatan bahagia begitu?”

“Enggak kenapa-napa,” jawabnya sambil lalu. Aku hanya menatap Laki-laki yang pergi begitu saja. Seolah aku tidak diangggap ada di depannya.

***

“Huhuhu huhu ….” Pagi-pagi kudengar siulan nyaring di teras rumah.

Aku sedang menyisir rambut Ardi sebelum membawanya pergi mengajar.

Aku memang selalu membawa Ardi, di sekolah aku akan menitipkannya pada seorang pedagang yang cukup akrab denganku.

Namanya Bu Narti. Beliau sendiri yang menawarkan bantuan untuk menjaga Ardi selama aku mengajar. Kemudian saat jam istirahat aku akan membantunya berjualan. Maklum saja, ia sedikit kerepotan karena mayoritas anak-anak di sekolah ini senang membeli makanan di tempatnya.

“Loh, Mas. Kamu mau ke mana?” tanyaku saat mendapati Mas Bayu lah orang yang bersiul di depan rumah. Karena biasanya laki-laki itu masih asik tidur di jam seperti ini.

Bukan hanya itu yang membuatku bertanya. Ia terlihat sangat rapi, bersih, dan wangi. Setelah menikah belum sekalipun ia terlihat Serapi itu di depanku.

“Mau jalan-jalan. Sekaligus mencari pekerjaan,” jawabnya tenang. Tapi tetap tidak menutupi aura semangat yang terpancar di wajahnya.

“Nyari kerja?” tanyaku nyaris tidak percaya.

“Iya. Kenapa?”

“Enggak. Hanya ….”

“Kamu kaget, ya? Aku ini laki-laki. Jadi sudah tugasku bekerja dan mencari nafkah.”

“Mas?” Kutempelkan punggung tanganku di keningnya. Tidak ada yang aneh, suhunya normal-normal saja.

“Apa saat ini aku sedang bermimpi?” tanyaku mirip seperti gumaman.

“Kamu tidak bermimpi. Aku memang akan mencari pekerjaan. Sudah ya, aku pergi dulu.” Ternyata dia mendengar ucapanku. Aku melongo melihat dia yang pergi sambil menenteng map di tangan kiri.

Mataku terus menatapnya sampai ia benar-benar menghilang.

***

Banyak yang berubah dengan diri Mas Bayu. Dalam sehari aku dibuat heran dengan semua perubahannya.

Aku baru saja pulang mengajar dan sedang mempersiapkan peralatan menggoreng. Bu Darmi bilang ia minta lebih banyak, jadi aku pun sudah menyiapkan bahan-bahannya lebih banyak.

“Assalamualaikum ….” Terdengar suara salam dari luar.

Aku sempat berpikir ada tamu yang datang. Tapi ternyata tidak. Mas Bayu masuk dengan wajah lelah, namun ada binar bahagia di matanya.

‘Mas Bayu mengucap salam? Dia tobat atau kesambet apa semalam?’ batinku.

“Sudah pulang, Mas?” tanyaku.

“Iya.”

“Dapat kerja?”

“Hmmm.” Laki-laki itu berlalu masuk ke dalam kamar. Ternyata ia terlihat bahagia karena sudah dapat kerjaan.

Aneh. Tapi aku tidak ingin terlalu peduli dan mulai fokus membuat gorengan untuk Bu Darmi.

Saat aku sedang sibuk-sibuknya membuat gorengan. Mas Bayu ke belakang, dan kembali saat ia sudah mengambil wudhu. Lagi, aku heran melihat dia melaksanakan shalat. Melihatnya seperti itu membuatku berkaca-kaca. Dia berubah, benarkah Mas Bayu yang aku kenal telah kembali?

‘Ehm, semoga saja dia tidak sedang bersandiwara.’

Tidak terasa sudah tiga jam aku berkutat dengan dapur. Pesanan Bu Darmi sudah jadi. Secepatnya aku berkemas untuk mengantarnya.

Aku keluar bersamaan dengan Mas Bayu yang juga akan pergi. Dia terlihat rapi dan sangat wangi. Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-jangan dia ….

Ah, kalaupun iya pun harusnya aku tidak terlalu peduli.

Langit sore yang sudah tidak terlalu panas menemani langkahku meninggalkan rumah Bu Darmi. Sepanjang jalan terasa mudah, meski sebenarnya aku sedang kelelahan.

Saat melewati rumah Fanny, aku sempat melihat sekelebat bayangan laki-laki yang mirip sekali dengan Mas Bayu. Tapi aku tidak yakin itu dirinya, karena Fanny sangat membencinya.

Penasaran ingin memastikan, aku berjalan mendekat. Bersembunyi dibalik tembok pagar. Dari tempatku berdiri bisa kulihat dengan jelas siapa yang ada di balik kaca berlapis tirai tipis.

‘Fanny? Benarkah itu dia? Tapi ….’

BAB 5

“Oh, jadi begini. Dia bukan orang baik, karena ternyata kamu menyukainya?” Sindirku pedas. Fanny yang tidak menyadari keberadaanku sontak terkejut dan melepaskan bibirnya dari milik Mas Bayu.

Wanita itu gugup, sementara Mas Bayu terlihat biasa saja. Ia bahkan terlihat tidak rela Fanny menghentikan aktivitasnya. Laki-laki itu menatapku sinis seolah aku adalah pengganggu.

Dia memang benar, aku sudah mengganggu olahraga beratnya dengan Fanny.

“Thea aku bisa jelasin. Aku sama Mas Bayu itu ….”

“Mas Bayu? Kamu bahkan memanggilnya ‘Mas’. Hahaha, katakan saja jika kamu menyukainya Fanny. Aku akan dengan sangat ikhlas melepaskan laki-laki yang nggak ada gunanya ini.”

“Thea, aku ….”

“Sudahlah, Sayang. Untuk apa pedulikan wanita ini. Karena dia sahabatmu? Jadi kau melepaskan aku yang begitu mencintaimu?” tanya Mas Bayu menarik Fanny ke dalam pelukannya.

“Cinta?” Aku tidak percaya. Sejak kapan Mas Bayu mencintai Fanny?

Seketika ingatanku berputar pada hari kemarin. Saat Mas Bayu terlihat begitu bahagia mendengar keberadaan Fanny di desa ini.

Jadi aku telah salah paham, dia berubah bukan karena sadar. Melainkan karena orang yang dicintai ada di sini.

Ternyata benar, perempuan tidak bisa membuat seorang laki-laki berubah. Tapi laki-laki akan berubah karena orang yang dia cintai. Jadi selama ini bukan aku yang dicintai Mas Bayu, tapi kenapa dia menjalin hubungan denganku?

“Ada apa, Thea? Kamu terkejut. Aku pacaran sama kamu karena kamu adalah sahabat Fanny. Dengan aku pacaran sama kamu, aku bisa melihat Fanny setiap saat. Fanny, dia adalah seseorang yang paling aku cintai. Sayangnya dia malah pacaran dengan Aldo.” Mas Bayu menatapku sekilas. Kemudian beralih pada Fanny yang terlihat bersalah.

“Tapi tidak masalah, akhirnya aku bisa memiliki Fanny sesuai dengan keinginanku. Aku tidak pernah mencintaimu, Thea. Harusnya kamu sadar dengan sikapku selama ini.”

Aku tidak percaya semua ini, namun aku tidak terlalu terkejut. Sudah cukup penderitaan yang aku tanggung karena Mas Bayu. Sekarang aku berhak bahagia. Jika dia bukan cintaku, aku layak menemukan pria yang mencintaiku.

“Tidak apa-apa, Mas. Semoga kalian bahagia. Mulai detik ini kamu jangan pulang. Aku akan urus perceraian kita. Dan kamu Fanny. Mulai sekarang kamu bukan sahabat yang aku rindukan lagi. Aku pergi.” Aku berjalan meninggalkan rumah Fanny. Di depan pintu aku masih bisa mendengar percakapan mereka.

“Thea!” Fanny memanggilku.

“Fanny, cukup. Sudah cukup penantianku selama ini. Aku mencintaimu, aku tidak akan melepaskanmu lagi.”

“Tapi Thea?”

“Dia wanita kuat. Dia bisa hidup tanpa aku. Thea juga akan menemukan pria yang mencintainya seperti aku yang sangat mencintaimu.”

Rasanya nyeri di ulu hati mendengar percakapan mereka. Apa hanya karena aku kuat, sehingga dia layak mempermainkaku seperti ini. Jika dia tidak mencintaiku dari awal, seharusnya ia tidak perlu sampai menikahiku.

Aku pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang penuh luka. Hatiku mungkin sudah tidak berbentuk lagi.

Air mataku menetes. Hanya setitik, tanganku menghapusnya kasar. Mulai detik ini akan aku buktikan perkataan mereka.

Mereka benar, aku wanita kuat. Jadi hal seperti ini tidak akan melukaiku lebih lama. Penghianatan mereka tidak akan membuatku hancur. Aku akan bangkit, aku akan berdiri elbih kuat dengan senyuman.

Demi hidupku sendiri, aku akan membuktikan bahwa aku kuat.

Tertarik Dengan Buku : Haruskah Bertahan, Mas? ?

Haruskah Bertahan, Mas?

Esana Gulpinar