Curahan Hati Kaniya

Curahan Hati Kanya

Esana Gulpinar
Sinopsis Kanya menikah dengan Abim, pria baik dan sederhana yang selalu memanjakannya serta menyayanginya dengan tulus. Selama ini pria itu merahasiakan berapa besar kekayaannya dari adik-adiknya. Hal itu ia lakukan dengan alasan yang sangat rahasia. Di sisi lain, Kanya tidak tahan melihat suaminya terus dihina oleh adik-adiknya, dia berencana membongkar semuanya. Namun usahanya selalu digagalkan oleh Abim, hal itu membuat Kanya bertanya-tanya apakah rahasia yang sedang disembunyikan oleh suaminya itu? Dia bertekad mencari tahu, karena ia ingin menghentikan semua penghinaan yang suaminya alami. Berhasilkah Kanya melakukan itu? Bagaimana reaksinya saat tau rahasia sang suami, apakah dia akan melanjutkan misinya atau malah meninggalkannya? Temukan jawabannya hanya di Curahan Hati Kanya. Jangan lupa, follow, share, dan subscribe yahh. Terima kasih .... Author sayang kalian. Sehat-sehat selalu pembacaku ....

Bagikan Cerita ini :

Assalamualaikum pembaca kesayangan ….

Terima kasih sudah hadir di cerita ini. Sebelum baca, subscribe, dan follow dulu yuk … setelah itu jika berkenan share cerita ini yahh.

Selamat membaca ….

***

 

BAB 1 (SIDIRAN)

[Wah, keren yah. Anak-anak Ibu Ratmi yang dulu nilainya selalu jeblok pas sekolah. Giliran pada gede-gede sekarang malah kerjaannya bagus-bagus. Duitnya pada banyak.]

Tulis Mirna. Adik iparku yang pertama. Pesan darinya itu segera mendapat banyak sambutan dari anggota keluarga yang lain.

[Bener Mbak Mirna. Mas Aldo baru saja diangkat jadi PNS minggu lalu. Aku bangga sekali bisa jadi istri Mas Aldo dan menjadi bagian dari keluarga ini. Itu kebanggaan tersendiri buatku.]

Fina menimpali. Dia adalah istri dari Aldo yang merupakan adik terakhir Mas Abim. Aku dengar, Aldo memang baru saja diangkat jadi PNS. Dan mereka berencana merayakannya dengan bakar-bakaran malam nanti.

[Iya bener yah, Mbak. Aku sekarang juga naik pangkat di tempat kerjaku. Aku sudah jadi leader, dan bukan operator produksi lagi. Padahal dulu waktu sekolah nilaiku sering nggak memuaskan. Aku bahkan nggak pernah menyandang predikat sepuluh besar. Mas Abim malah, dia yang selalu juara satu saat sekolah. Lulus kuliah juga dengan nilai cumlaude. Tapi ….]

Ririn yang merupakan adik kedua Mas Abim tidak melanjutkan perkataannya. Menggantung, namun semua orang juga pasti bisa menebak apa lanjutan dari isi pesannya tersebut.

[Tapi … cuma jadi petani, maksudmu Rin?]

Aldo menimpali.

Mas Abim memang menggeluti usahanya sebagai petani. Sesuai dengan jurusannya dulu, yang mengambil pendidikan di bidang pertanian. Tapi adik-adiknya tidak pernah tau, kalau Mas Abim memiliki berhektar-hektar sawah yang dia kelola bersama dengan petani-petani kompeten yang tidak memiliki lahan. Mereka akan menggarap sawah Mas Abim, dan Mas Abim pula lah yang menyediakan pupuk, bibit, dan hal-hal yang diperlukan. Setiap musim panen Mas Abim akan mendapatkan bagi hasil yang tidak sedikit dari hasil panennya.

Hasil dari bagi hasil itu akan diputar untuk modal, sumbangan ke panti asuhan, dan kegiatan amal yang biasanya diselenggarakan Mas Abim selama satu tahun sekali. Adik-adiknya tidak pernah tau, karena Mas Abim merahasiakannya. Tanahnya itu juga ada di kota yang berbeda. Yang adik-adiknya tau, Mas Abim hanyalah petani biasa dengan hasil panen sama seperti petani pada umumnya. Karena gaya hidup Mas Abim memang biasa saja, tidak terkesan menunjukkan hartanya sama sekali.

[Sudah. Apapun profesi Mas Abim, dia tetaplah Kakak tertua kita. Tidak baik membicarakannya seperti ini.]

Tukas Mirna. Aku tidak lagi melanjutkan membaca isi pesan dari keluarga Mas Abim itu. Kuletakan handphone dan melirik ke arah Mas Abim yang saat ini juga sedang membaca pesan di WhatsApp-nya.

Wajahnya sedikit masam, namun ia langsung tersenyum begitu aku menyentuh pundaknya.

“Mas … kamu nggak apa-apa?” tanyaku lembut. Ia pasti terluka dengan pembicaraan yang ada di sana.

“Aku tidak apa-apa, Dik Kanya. Kita tidur, yuk. Sini Mas peluk.” Mas Abim meletakkan handphonenya di atas nakas. Kemudian mulai meraih pinggangku ke pelukannya.

“Mas beneran mau tidur siang-siang seperti ini?” tanyaku heran. Khawatir, kalau hatinya sangat terluka dan membuatnya ingin istirahat. Karena tidak biasanya ia mengambil waktu untuk tidur siang.

“Iya, Dik. Mas capek banget hari ini. Kita istirahat aja sampai sore. Nanti malam kan kita harus datang ke acara adikku Aldo. Kita harus istirahat, biar nanti malam enggak ngantuk,” jelasnya sambil memindai wajahku. Laki-laki yang aku nikahi lima tahun lalu itu tersenyum.

“Mas mau datang?” tanyaku sedikit ragu. Aku hanya tidak mau jika sakit di hati Mas Abim semakin menganga. Takut dia akan dihina ataupun disindir lagi oleh adik-adiknya.

“Tentu saja Sayang. Masak di hari bahagia Aldo Mas enggak datang?” Bibir pria itu semakin mengembang. Tangan kokohnya mengusap rambutku lembut.

“Tapi ….” Fikiranku melayang pada kejadian satu tahun lalu saat Mirna lulus PPPK. Saat itu, Mas Abim dihina habis-habisan karena cuma Mas Abim yang tidak memberikan Mirna kado.

Sebenarnya saat itu Mas Abim bukan bermaksud untuk tidak memberikan kado. Tapi karena motor yang Mas Abim beli terlambat datang. Jadi kita berencana memberikannya esok hari.

Sayang sekali, Mas Abim kecewa karena ia pikir kehadirannya sudah cukup membuat hati adiknya itu senang. Ternyata tidak, ia malah dihina dan dianggap pelit.

“Makanya, Mas. Harusnya dulu kamu dengerin saran Bu de Darmi. Jangan ambil kuliah pertanian, ambil saja bisnis atau hukum. Kamu pasti jadi pebisnis handal sekarang, atau minimal bisa jadi pengacara jika mengambil fakultas hukum. Jadinya Mas nggak separah ini keadaannya, datang ke acara penting adiknya nggak bawa kado apa-apa.”

Masih kuingat sekali ucapan Mirna saat itu. Mas Abim yang kecewa pun pulang, dan membatalkan niatnya memberikan motor baru untuk adiknya. Motor itu saat ini kami gunakan sendiri. Malah, sekarang sering dipinjam oleh petani yang tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke sawah milik Mas Abim.

“Mas baik-baik saja, Kanya. Ayo istirahat. Kita jangan sampai terlambat nanti malam.” Mas Abim mengeratkan pelukannya. Mungkin ia telah berhasil membaca keraguanku.

“Oh iya, nanti malam jangan lupa kita bawa kadonya. Jangan sampai tragedi masa lalu terjadi lagi,” tambah Mas Abim sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata.

Sungguh, hatiku teriris mendengarnya berkata seperti itu. Seorang kakak yang selalu mengalah untuk adik-adiknya. Seorang kakak yang rela membanting tulang sambil kuliah demi membantu pendidikan adik-adiknya. Tapi ternyata, dia tidak diperlakukan sebaik ia memperlakukan orang lain.

“Sebegitu baiknya engkau suamiku, aku beruntung berjodoh orang baik sepertimu,” batinku sembari menyeka air mata yang jatuh. Kemudian segera menyusul Mas Abim untuk tidur.

***

Bersambung ….

BAB 2 (Tersesat)

“Mas, kamu masih yakin tetap merahasiakan tentang keadaan kita? Tidak ingin mengungkapkan yang sebenarnya. Bahwa menjadi petani tidak semiskin yang adik-adikmu kira,” tanyaku saat kami sedang bersiap pergi ke acara Aldo. Aku mengucir satu rambutku ke belakang. Memakai kaos santai, juga celana jeans panjang HW.

“Enggak, Kanya. Memangnya kenapa? Sepertinya sejak pagi tadi kamu terus menanyakan hal yang sama. Apa kamu mulai merasa malu karena dianggap tidak punya apa-apa, Dik?” Mas Abim balik bertanya. Pertanyaannya itu membuatku menoleh, dan menatap ke arahnya.

“Bukan begitu, Mas. Kalau Mas kasih lihat sama mereka kan. Minimal Mas nggak akan dihina lagi. Hati Kanya sakit, Mas. Melihat Mas diperlakukan seperti itu. Kanya juga nggak mau lihat Mas Abim sedih lagi karena kelakuan tidak beradab mereka,” ucapku sedikit kesal. Iya, sebagai seorang istri yang sangat mencintai Mas Abim. Aku sangat tidak suka suamiku diperlakukan seperti itu.

“Sayang ….” Mas Abim melingkarkan tangannya di bahuku. “Apa sekarang kita akan hidup berdasarkan perkataan orang lain?” ucapnya lembut. Pertanyaannya itu membuatku terdiam untuk sesaat.

“Tapi Mas ….” Ia menempelkan jari telunjuknya di bibirku ketika aku ingin membantah lagi.

“Lihat, kamu cantik sekali di cermin itu. Mas bahagia sekali memilikimu di hidup, Mas. Mas tidak perlu memberitahukan orang-orang bahwa sebahagia itu Mas memilikimu, Kanya. Karena perasaan itu ada di hati Mas. Termasuk kekayaan yang kita punya sekarang, tidak perlu kita umumkan pada orang-orang. Yang penting, kita tidak pernah merasa kekurangan, dan kita tidak pernah merepotkan orang lain tentang kebutuhan kita, itu sudah lebih dari cukup. Mas nggak butuh sanjungan,” ucapnya lembut yang diakhiri dengan kecupan di pipi kananku.

Aku hanya diam mendengarkan perkataan Mas Abim. “Sudah, lanjutkan siap-siapnya. Kadonya dibawa, jangan lupa pakai jaket. Kita naik motor saja malam ini,” ucap Mas Abim sebelum pergi. Aku hanya mengangguk dan mempercepat make up natural yang sedang kulakukan.

Selang sepuluh menit aku akhirnya selesai, sesuai instruksi yang Mas Abim berikan. Kuambil kotak hadiah yang sudah kumasukkan ke dalam paper bag. Kusambar juga jaket model parka warna maroon yang Mas Abim belikan dua minggu yang lalu.

Sepanjang jalan kami sibuk bercengkerama mengenang masa-masa awal pernikahan dulu. Yah, dulu kami sering sekali berboncengan seperti ini setiap pergi ke mana pun. Sekarang sudah cukup jarang, karena memang jarang bepergian. Paling-paling hanya satu bulan dua kali. Seringnya kita menggunakan mobil dari aplikasi berwarna hijau dan putih itu. Mau beli mobil sendiri, Mas Abim malas menyetir. Nanti saja, kalau sudah ada anak di antara kita. Katanya entah berapa waktu lalu.

“Mas, apa benar nih jalan yang kita lewati menuju rumah Aldo?” tanyaku karena merasa aneh. Karena kami melewati jalanan aspal yang kanan kirinya jarang sekali ditumbuhi bangunan. Penuh dengan persawahan.

“Memangnya ada jalan yang lain?” tanyanya membuatku kembali berpikir. Otakku kembali mengingat dulu waktu pergi ke rumah Aldo. Sudah setengah tahun tidak ke sana. Ternyata kesibukan di rumah cukup menyita waktu.

“Tapi, Mas. Sepertinya kita salah jalan deh. Dulu nggak ngelewatin sawah-sawah gini loh,” ucapku lagi.

“Iyakah?” Sontak Mas Abim langsung menghentikan laju motor.

“Iya, Mas. Coba buka map. Bisa telat kalau kita beneran nyasar,” ucapku lagi.

“Waduh iya, Dik. Jauh banget lagi. Wah, kita kebanyakan ngobrol nih sampai Mas nggak fokus ngedarain motornya. Kita bisa terlambat setengah jam nih.” Mas Abim tertawa. Bisa-bisanya pria itu tertawa di tengah keadaan seperti ini. Ah, memang begitulah dia. Seperti tidak punya beban saja hidupnya itu.

“Ya sudah, ayo Mas buruan putar balik. Nanti kita ditungguin bagaimana,” ajakku memintanya bergerak cepat. Dengan cekatan Mas Abim memutar motor dan mengikuti arahan dari suara mbak google.

Baru jalan sepuluh menit, kesialanku dan Mas Abim bertambah. Hujan tiba-tiba turun. Meski hanya rintik-rintik, tapi itu cukup untuk membuat baju yang kami kenakan sedikit terasa dingin. Kita tidak berhenti karena sudah terlambat, juga kiri kanan yang tidak ada bangunannya.

Setengah jam kemudian, kami akhirnya sampai di rumah Aldo. Aku dan Mas Abim bergegas memarkirkan motor di depan rumah adiknya itu. Setelahnya, dengan arahan pembantu di rumah Aldo. Aku dan Mas Abim dibawa ke tempat acara bakar-bakaran diselenggarakan.

Sampai sana, aku pikir akan menemui suasana hangat dari keluarga dekat yang mengitari pemanggang sambil berbicara. Yahh, selayaknya acara keluarga seperti yang dijelaskan di group beberapa hari lalu.

Tapi ternyata tidak. Halaman belakang rumah Aldo begitu sesak dengan banyak tamu-tamunya. Semuanya mengenakan pakaian mewah, gaun juga tuxedo. Ini lebih mirip pesta daripada bakar-bakaran keluarga.

Memang benar, hidangan utamanya ayam bakar, tapi … aku dan Mas Abim seperti dua orang yang salah kostum di tempat ini.

“Kita pulang aja yuk, Mas,” ucapku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi di dalam.

“Kenapa? Sudah, ayo kita temui Aldo. Ucapkan selamat, dan berikan kadonya,” ucapnya mantap sambil menggandengku masuk.

Aku mengikuti langkahnya dengan jantung yang berdegup kencang.

***

Bersambung ….
***

BAB 3 (Dihina Lagi)
“Mas Abim dan Mbak Kanya kok pakai pakaian seperti ini?” tanya Aldo setelah menarikku dan Mas Abim ke tempat yang sepi dan agak gelap.
“Karena kamu bilang acara keluarga. Jadi ya, kita mengenakan pakaian santai. Kamu tidak bilang kalau kamu mengundang banyak rekan kerjamu seperti ini. Andai kamu bilang, kita pasti memakai pakaian yang lebih baik. Dan tentunya lebih formal seperti yang lainnya.” Mas Abim menjawab pertanyaan adik bungsunya itu.
“Loh, Mas. Bukannya sudah dikasih tahu. Kalau acara kecilnya dibatalkan, dan diganti dengan pesta seperti yang Mas lihat sekarang ini. Mas sengaja yah, mau malu-maluin aku di sini,” ketus Aldo kesal. Pria itu mengusap wajahnya kasar, dan menatap kami seperti dua mahluk yang menjijikkan.
“Loh, kamu kok ngomongnya gitu Do. Mas kan bilang, kalau kamu kasih tau acaranya bakal seperti ini. Tentu kita nggak akan datang dengan kaos oblong seperti sekarang,” jelas Mas Abim lagi. Wajahnya Mas Abim sedikit kesal dengan adiknya itu. Aku tau, mungkin ia juga mulai jengah dengan sikap adiknya.
“Sudahlah, Mas. Bilang aja Mas itu iri sama keberhasilan aku sekarang. Makanya Mas datang dengan pakaian seperti ini, Mas ingin menunjukkan bahwa aku ini adik yang tidak pengertian. Dengan kesuksesan seperti sekarang, aku tidak mampu membelikan kalian berdua pakaian yang lebih layak untuk acara formal seperti sekarang.” Ucapan Aldo sangat menyakitkan. Hatiku sesak mendengar suamiku dikatai seperti itu.
“Aldo, jaga ucapan kamu itu. Mas Abim ini Kakak tertuamu. Nggak sopan sekali kamu berbicara seperti itu pada orang yang dulunya membantu biaya sekolahmu,” ucapku kesal. Rasanya sudah meledak-ledak di hatiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Ingin kuremas saja mulutnya itu saking jengkelnya.
“Maaf Mbak Kanya, bukan maksudku untuk menyakiti hati kalian dengan ucapanku tadi. Tapi, bukannya kalian sudah diberitahu? Lantas, meski sudah diberitahu kenapa masih datang dengan pakaian seperti ini?” Aldo sedikit merendahkan suaranya.
“Tidak ada satu orang pun yang memberitahu kami,” sanggahku. Aku merasa ada yang tidak beres di sini. Kenapa Aldo terus bersikeras bahwa dia sudah memberitahu, sedang baik aku atau pun Mas Aldo tidak mendapatkan pemberitahuan apapun.
“Ada apa ini?” Fina muncul dengan dress merah selutut. Dia terlihat cantik sekali dengan pakaian itu. Make up-nya juga terlihat sangat bagus.
“Ada apa, Mas?” Wanita itu memfokuskan pandangannya ke arah suaminya. Aldo tidak menjawab dan hanya menatapku dan Mas Abim kesal.
“Loh, Mbak Kanya sama Mas Abim sudah sampai. Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?” tanya Fina begitu melihat keberadaan kami. “Emmm, tapi kenapa Mas Abim dan Mbak Kanya tidak memakai pakaian formal? Mbak Mirna sama Ririn udah ada di dalam. Mereka pakai formal semua loh,” tutur Fina. Wanita itu memperhatikan penampilan kami dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Maaf, Fina. Kami tidak tau kalau acaranya diubah menjadi acara formal. Dan tidak ada yang memberitahu kami, kalau acaranya dirubah,” jawabku. Mendengar ucapanku Fina mengernyitkan keningnya.
“Loh, Mbak. Mbak Ririn tidak memberitahumu? Maaf, Mbak. Kemarin aku sibuk banget harus anter undangan. Aku lupa memberitahumu secara langsung. Jadi pas ketemu sama Mbak Ririn, aku minta tolong agar dia memberitahumu sekalian.” Fina menjelaskan. Aku memahami, mungkin untuk mempersiapkan acara ini membuatnya begitu sibuk. Sampai untuk mengirimkan chat padaku ia tidak sempat. Atau mungkin dia lupa saking lelahnya. Begitupun Ririn, mungkin dia juga lupa memberitahu.
“Ya sudahlah, ayo Mbak Kanya dan Mas Abim masuk saja,” ucao Aldo akhirnya.
Aku menatap Mas Abim. Ingin memastikan apakah dia ingin tetap bergabung atau ingin pulang saja. Pria yang kutatap itu justru tersenyum, dan merangkulku untuk masuk mengikuti adik dan adik iparnya.
Fina benar, di sana ada Mirna, Ririn, serta suami dan anak mereka. Mereka sedang asik menikmati minuman di gelas mereka. Kulihat Ririn juga sibuk mengambilkan ayam bakar untuk anaknya.
“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Mas Abil mencolek daguku. Ia tersenyum, begitulah kebiasaannya.
“Nanti saja, Mas. Aku belum lapar,” jawabku. Iya, rasa laparku meluap karena perlakuan adik Mas Abim.
“Ya udah, senyum dong. Makin cantik loh kalau wajahnya kusut begitu,” ucapnya lagi. Aku pun tersenyum karena rayuan recehnya itu.
Ah, Mas Abim. Kamu paling bisa memperbaiki moodku. Makin sayang deh jadinya. Eh?
Sejak kami datang, tidak ada sambutan atau sapaan apapun dari kedua adik Mas Abim yang lain itu. Semuanya sibuk sendiri. Untuk tersenyum pun tidak.
“Halo Rima, lagi makan apa?” tanya Mas Abim pada anak Mirna.
“Makan ayam bakal, Om,” jawab gadis kecil itu dengan suara cadelnya. Mas Abim tersenyum. Sementara Mirna hanya diam saja, dan menarik putrinya agar melanjutkan makan.
Aku bisa melihat Mas Abim menghela napas panjang. Mas Abim beralih pada adiknya yang lain, Ririn.
“Rin, tadi sampai sini jam berapa?” tanya Mas Abim. Tidak digubris sedikit pun oleh adiknya itu. Mas Abim kembali menghela napas panjang. Akhirnya ia mendekatiku, kali ini ia tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya di depanku.
“Mas Abim kenapa?” tanyaku seolah tidak melihat apa yang terjadi.
“Tidak apa-apa, Dik. Ayo, kamu ingin makan apa? Biar Mas ambilkan yah,” tanyanya. Meski aku tahu hatinya saat ini pasti sedang sakit, ia masih tetap berusaha untuk tersenyum di depanku.
“Enggak, Mas. Kanya enggak lapar. Ayo Mas, kita temui Aldo. Kita berikan kado yang udah kita beli kemarin.” Pria itu hanya mengangguk. Aku menggandeng tangannya. Berjalan mantap ke arah Aldo dan teman-temannya berkumpul.
Aldo terlihat sangat sibuk bercengkerama dengan teman-temannya. Di sampingnya ada Fina, sang istri yang selalu siap sedia. Melihat kedatanganku dan Mas Abim. Mereka hanya melirik sesaat, lalu kembali melanjutkan percakapan mereka.
Sungguh hatiku sudah sakit sekali. Aku mendekati Aldo, menarik tangannya dan memberikan kado untuknya. “Selamat yah. Semoga jabatannya langgeng, dan berkah serta bahagia. Aku dan Mas Abim pulang dulu,” ucapku lalu beranjak pergi dari sana. Tidak lupa, kugandeng tangan Mas Abim pergi.
“Kanya,” ucap Mas Abim pelan. Pria itu menghentikan langkahnya.
Langkahku pun terhenti, aku berbalik menatap Mas Abim yang siap menceramahiku. “Tidak, Mas. Tidak untuk kali ini. Aku sudah tidak tahan lagi melihatmu diperlakukan seperti itu,” ucapku menghentikan kata-kata yang siap ia luncurkan.
“Jangan menghentikanku, kita pulang sekarang,” ucapku lagi. Pria itu terdiam, dan mengikuti langkahku pergi.
***
Bersambung ….

BAB 4 (Hutang Dari Mana?)

“Kanya ….” Mas Abim menghentikan langkahku ketika kami sudah berada di luar rumah Aldo.
Aku menoleh, air mataku jatuh seketika. Aku tidak bisa, sungguh aku tidak terima dengan apa yang mereka lakukan pada suamiku.
“Mas ….” ucapku lirih. Pria itu langsung menarikku ke dalam pelukannya. Bisa kurasakan aliran kasih dalam tubuhnya yang hangat. Detak jantungnya juga terdengar sangat keras di telingaku.
Kami tetap ada dalam posisi itu untuk beberapa saat. Sampai akhirnya ia melepas pelukannya, kemudian memindai wajahku dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis,” bisiknya. Ia pun menghapus jejak air mata di pipiku.
Kami kemudian berjalan bersama ke arah motor. Di belakang aku memeluknya erat. Malam ini rasa sedih di hatiku begitu parah. Mungkin yang Mas Abim rasakan jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.
Mas Abim menghentikan motor saat melihat pasar malam yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.
“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanyaku turun dari motor.
“Bersenang-senang,” jawabnya sambil tertawa. Tawa sumbang yang tidak menggairahkan sama sekali.
Dia langsung menarik tanganku masuk. Langkah kami terhenti untuk pertama kalinya di dekat kora-kora.
“Kamu inget nggak, Dik? Kalau dulu, waktu kita masih pacaran. Kamu muntah-muntah waktu naik wahana ini?” tanya Mas Abim disertai gelak tawa.
“Dih, Mas Abim yang diinget buruknya aja. Kan Kanya jadi malu, Mas. Masa Kanya muntah-muntah di kencan pertama kita. Ufff.” Kuhembuskan napas, kesal dan malu jika ingat kejadian itu.
Anehnya, Mas Abim itu suka sekali mengingat-ingat sesuatu kejadian yang aku anggap sebagai aib dalam hidupku. Tapi, hal itulah yang membuat kami akhirnya tertawa. Seperti sekarang ini. Pria itu asik menertawakan aku sambil memperagakan bagaimana payahnya aku saat itu.
“Mau coba naik wahana ini lagi?” tanyanya diakhir tawanya.
“Mau bajunya kotor lagi?” Aku balik bertanya. Aku ingat sekali bagaimana dulu aku membuat pakaiannya kotor karena ulahku. Hebatnya ia tidak marah, meski tatapan jijik dilayangkan oleh orang-orang yang melihat kami.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu yang ngotorin mah, Mas ikhlas seikhlas-ikhlasnya.” Ia tertawa. Aku juga menyusul tawanya.
Setelahnya ia membelikanku permen kapas. Kami memakannya bersama-sama. Sepanjang malam kami mengelilingi pasar malam ini. Mas Abim tidak melepaskan gandengan tangannya, ia terus membawaku menikmati semua wahana yang ada. Pulangnya, kami mampir di sebuah warung makan, dan memesan menu untuk makan malam kami.
Mas Abim begitu lahap memakan setiap menu yang sudah kami pesan. Ia sepertinya lupa dengan kejadian di rumah adiknya tadi. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya begitu.
“Bahagia terus suamiku ….” bisikku dalam hati.
***
“Mas mau langsung tidur, atau mandi dulu?” tanyaku begitu sampai di pekarangan rumah.
“Emmm, mau langsung tidur aja kali yah. Mas capek banget, tapi belum ngantuk,” jawabnya sembari memasukkan motor ke dalam garasi.
“Ya udah, mandi dulu aja. Biar segeran dikit badannya. Aku masakkan air yah, buat mandinya Mas?” Tidak perlu menunggu jawabannya. Aku langsung masuk dan menyalakan kompor. Di atasnya sudah kuletakkan panci dengan air.
Tidak butuh waktu lama, air sudah mendidih. Segera kubuatkan air hangat untuk mandi suamiku itu.
“Mas, airnya udah jadi. Mandi dulu gih,” ucapku pada pria yang saat ini sibuk dengan gadgetnya. Wajahnya muram, entah kemana perginya keceriaan yang tadi.
“Mas ….” Kutepuk bahunya pelan. Ia tampak terkejut dengan kehadiranku.
“Astaga, jadi dia tadi melamun?” batinku.
“Iya, Dik? Ada apa?” tanyanya. Ah, sepertinya ingatannya sedikit berkurang. Aku jadi semakin bertanya-tanya, apa alasan di balik wajah murungnya itu.
“Mandi, Mas. Kan tadi aku udah bilang, mau masak air buat Mas,” jawabku menatapnya.
“Oh, iya. Makasih yah sayang. Kalau gitu, Mas mandi dulu.” Dia meletakkan handphonenya. Mengecup keningku, kemudian pergi ke kamar mandi.
Menunggu Mas Abim, aku membuka handphoneku. Notif terus masuk di group keluarga.
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Pesan itu dari Aldo. Karena penasaran segera kuscroll ke atas. Apa pembicaraan mereka, sampai Mas Abim disuruh mengaku begitu.
Semua bermula dari pesan yang dikirimkan oleh Ririn.
[Acaranya keren sekali. Aku seneng bisa hadir. Suami dan anak-anak juga seneng banget. Melihat anak-anaknya sesukses sekarang, pasti Almarhum Ibu Ratmi bahagia sekali.]
Begitu tulis Ririn. Pesannya itu langsung mendapat respon yang baik oleh penghuni group.
ALDO
[Bener Mbak Rin. Ibu pasti bangga lihat kita. Aku seneng, kalian hadir malam ini. Acaranya jadi semakin meriah.]
MIRNA
[Sama-sama Do. Mbak seneng lihat kamu akhirnya bisa sukses. Yang lain pasti juga seneng lihat kesusksesan kamu, Do.]
ALDO
[Hahaha! Kayaknya sih enggak semuanya, Mbak. Buktinya tadi ada yang langsung pulang. Nggak ikut menemani sampai acara selesai.]
MIRNA
[Maklumi saja lah, Do. Mungkin lagi sibuk. Berpikir yang positif-positif aja.]
RIRIN
[Bener tuh @Aldo kata Mbak Mirna. Namanya orang kita nggak tau apa yang lagi disibukkan.]
ALDO
[Iya, Mbak. Oh iya, hadiahnya makasih yah. Kalian sebenarnya nggak perlu repot-repot loh. Kalian datang ke acara aja aku udah seneng. Jangan sampai untuk datang ke acara aku kalian sampai ngutang-ngutang buat beli kado.]
Hatiku kembali mencelos membaca sederet pesan di sana. Tapi aku tetap menahan jariku untuk tidak mengetikkan apapun. Kupaksakan untuk membawa pesan itu sampai bawah.
RIRIN
[Ngawur kamu itu, Do. Mana ada kami ngutang. Kado kami itu udah pasti jelas sesuai kemampuan. Masak iya, bela-belain ngutang.]
ALDO
[Ya aku kan nggak tau, Mbak. Siapa tau ada yang ngutang. Iya nggak, @Mas Abim?]
MAS ABIM
[Alhamdulillah, Insyaallah nggak akan ada yang ngutang di sini.]
ALDO
[Apa itu benar, Mas? Mas kasih aku logam mulia loh. Mas dapat uang dari mana? Setahuku ini juga bukan musim panen.]
MAS ABIM
[Iya, Do. Itu hasil kerjaku. Bukan hasil ngutang.]
MIRNA
[Jujur aja Mas Abim, kami tau gimana kondisi keluarga Mas Abim. Jadi nggak mungkin Mas Abim bisa beli logam mulia seperti itu. Jujur aja, biar kami bantu bayar cicilannya.]
RIRIN
[Iya, Mas. Suamiku juga bersedia bantu.]
ALDO
[Atau nggak kita jual aja logam mulianya. Nanti Mas Abim pakai aja uangnya untuk bayar.]
MAS ABIM
[Sudah kubilang itu hasil kerjaku. Alhamdulillah, kemarin ada rezeki lebih. Itu bukan uang hasil ngutang. Jadi kalian tenang saja.]
ALDO
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Aku langsung mengetikkan pesan untuk membungkam mulut mereka. Ketika Mas Abim bilang itu uang hasil kerjanya dan bukan hasil berhutang. Apa itu tidak cukup, sampai mereka harus mendesak seperti itu.
KANYA
[Mas Abim sudah bilang itu bukan uang hasil berhutang. Apa itu nggak cukup buat kalian? Jangankan logam mulia yang tidak seberapa itu, kalau Mas Abim mau. Dia sangat-sangat mampu untuk membeli mulut kalian itu!]
Tulisku emosi. Aku tidak terima dengan perlakuan mereka ke Mas Abim. Tidak menghargai perasaan Mas Abim sama sekali mereka itu.
***
Bersambung ….

BAB 5 (Hutang Dari Mana?)

“Kanya ….” Mas Abim menghentikan langkahku ketika kami sudah berada di luar rumah Aldo.
Aku menoleh, air mataku jatuh seketika. Aku tidak bisa, sungguh aku tidak terima dengan apa yang mereka lakukan pada suamiku.
“Mas ….” ucapku lirih. Pria itu langsung menarikku ke dalam pelukannya. Bisa kurasakan aliran kasih dalam tubuhnya yang hangat. Detak jantungnya juga terdengar sangat keras di telingaku.
Kami tetap ada dalam posisi itu untuk beberapa saat. Sampai akhirnya ia melepas pelukannya, kemudian memindai wajahku dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis,” bisiknya. Ia pun menghapus jejak air mata di pipiku.
Kami kemudian berjalan bersama ke arah motor. Di belakang aku memeluknya erat. Malam ini rasa sedih di hatiku begitu parah. Mungkin yang Mas Abim rasakan jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.
Mas Abim menghentikan motor saat melihat pasar malam yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.
“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanyaku turun dari motor.
“Bersenang-senang,” jawabnya sambil tertawa. Tawa sumbang yang tidak menggairahkan sama sekali.
Dia langsung menarik tanganku masuk. Langkah kami terhenti untuk pertama kalinya di dekat kora-kora.
“Kamu inget nggak, Dik? Kalau dulu, waktu kita masih pacaran. Kamu muntah-muntah waktu naik wahana ini?” tanya Mas Abim disertai gelak tawa.
“Dih, Mas Abim yang diinget buruknya aja. Kan Kanya jadi malu, Mas. Masa Kanya muntah-muntah di kencan pertama kita. Ufff.” Kuhembuskan napas, kesal dan malu jika ingat kejadian itu.
Anehnya, Mas Abim itu suka sekali mengingat-ingat sesuatu kejadian yang aku anggap sebagai aib dalam hidupku. Tapi, hal itulah yang membuat kami akhirnya tertawa. Seperti sekarang ini. Pria itu asik menertawakan aku sambil memperagakan bagaimana payahnya aku saat itu.
“Mau coba naik wahana ini lagi?” tanyanya diakhir tawanya.
“Mau bajunya kotor lagi?” Aku balik bertanya. Aku ingat sekali bagaimana dulu aku membuat pakaiannya kotor karena ulahku. Hebatnya ia tidak marah, meski tatapan jijik dilayangkan oleh orang-orang yang melihat kami.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu yang ngotorin mah, Mas ikhlas seikhlas-ikhlasnya.” Ia tertawa. Aku juga menyusul tawanya.
Setelahnya ia membelikanku permen kapas. Kami memakannya bersama-sama. Sepanjang malam kami mengelilingi pasar malam ini. Mas Abim tidak melepaskan gandengan tangannya, ia terus membawaku menikmati semua wahana yang ada. Pulangnya, kami mampir di sebuah warung makan, dan memesan menu untuk makan malam kami.
Mas Abim begitu lahap memakan setiap menu yang sudah kami pesan. Ia sepertinya lupa dengan kejadian di rumah adiknya tadi. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya begitu.
“Bahagia terus suamiku ….” bisikku dalam hati.
***
“Mas mau langsung tidur, atau mandi dulu?” tanyaku begitu sampai di pekarangan rumah.
“Emmm, mau langsung tidur aja kali yah. Mas capek banget, tapi belum ngantuk,” jawabnya sembari memasukkan motor ke dalam garasi.
“Ya udah, mandi dulu aja. Biar segeran dikit badannya. Aku masakkan air yah, buat mandinya Mas?” Tidak perlu menunggu jawabannya. Aku langsung masuk dan menyalakan kompor. Di atasnya sudah kuletakkan panci dengan air.
Tidak butuh waktu lama, air sudah mendidih. Segera kubuatkan air hangat untuk mandi suamiku itu.
“Mas, airnya udah jadi. Mandi dulu gih,” ucapku pada pria yang saat ini sibuk dengan gadgetnya. Wajahnya muram, entah kemana perginya keceriaan yang tadi.
“Mas ….” Kutepuk bahunya pelan. Ia tampak terkejut dengan kehadiranku.
“Astaga, jadi dia tadi melamun?” batinku.
“Iya, Dik? Ada apa?” tanyanya. Ah, sepertinya ingatannya sedikit berkurang. Aku jadi semakin bertanya-tanya, apa alasan di balik wajah murungnya itu.
“Mandi, Mas. Kan tadi aku udah bilang, mau masak air buat Mas,” jawabku menatapnya.
“Oh, iya. Makasih yah sayang. Kalau gitu, Mas mandi dulu.” Dia meletakkan handphonenya. Mengecup keningku, kemudian pergi ke kamar mandi.
Menunggu Mas Abim, aku membuka handphoneku. Notif terus masuk di group keluarga.
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Pesan itu dari Aldo. Karena penasaran segera kuscroll ke atas. Apa pembicaraan mereka, sampai Mas Abim disuruh mengaku begitu.
Semua bermula dari pesan yang dikirimkan oleh Ririn.
[Acaranya keren sekali. Aku seneng bisa hadir. Suami dan anak-anak juga seneng banget. Melihat anak-anaknya sesukses sekarang, pasti Almarhum Ibu Ratmi bahagia sekali.]
Begitu tulis Ririn. Pesannya itu langsung mendapat respon yang baik oleh penghuni group.
ALDO
[Bener Mbak Rin. Ibu pasti bangga lihat kita. Aku seneng, kalian hadir malam ini. Acaranya jadi semakin meriah.]
MIRNA
[Sama-sama Do. Mbak seneng lihat kamu akhirnya bisa sukses. Yang lain pasti juga seneng lihat kesusksesan kamu, Do.]
ALDO
[Hahaha! Kayaknya sih enggak semuanya, Mbak. Buktinya tadi ada yang langsung pulang. Nggak ikut menemani sampai acara selesai.]
MIRNA
[Maklumi saja lah, Do. Mungkin lagi sibuk. Berpikir yang positif-positif aja.]
RIRIN
[Bener tuh @Aldo kata Mbak Mirna. Namanya orang kita nggak tau apa yang lagi disibukkan.]
ALDO
[Iya, Mbak. Oh iya, hadiahnya makasih yah. Kalian sebenarnya nggak perlu repot-repot loh. Kalian datang ke acara aja aku udah seneng. Jangan sampai untuk datang ke acara aku kalian sampai ngutang-ngutang buat beli kado.]
Hatiku kembali mencelos membaca sederet pesan di sana. Tapi aku tetap menahan jariku untuk tidak mengetikkan apapun. Kupaksakan untuk membawa pesan itu sampai bawah.
RIRIN
[Ngawur kamu itu, Do. Mana ada kami ngutang. Kado kami itu udah pasti jelas sesuai kemampuan. Masak iya, bela-belain ngutang.]
ALDO
[Ya aku kan nggak tau, Mbak. Siapa tau ada yang ngutang. Iya nggak, @Mas Abim?]
MAS ABIM
[Alhamdulillah, Insyaallah nggak akan ada yang ngutang di sini.]
ALDO
[Apa itu benar, Mas? Mas kasih aku logam mulia loh. Mas dapat uang dari mana? Setahuku ini juga bukan musim panen.]
MAS ABIM
[Iya, Do. Itu hasil kerjaku. Bukan hasil ngutang.]
MIRNA
[Jujur aja Mas Abim, kami tau gimana kondisi keluarga Mas Abim. Jadi nggak mungkin Mas Abim bisa beli logam mulia seperti itu. Jujur aja, biar kami bantu bayar cicilannya.]
RIRIN
[Iya, Mas. Suamiku juga bersedia bantu.]
ALDO
[Atau nggak kita jual aja logam mulianya. Nanti Mas Abim pakai aja uangnya untuk bayar.]
MAS ABIM
[Sudah kubilang itu hasil kerjaku. Alhamdulillah, kemarin ada rezeki lebih. Itu bukan uang hasil ngutang. Jadi kalian tenang saja.]
ALDO
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Aku langsung mengetikkan pesan untuk membungkam mulut mereka. Ketika Mas Abim bilang itu uang hasil kerjanya dan bukan hasil berhutang. Apa itu tidak cukup, sampai mereka harus mendesak seperti itu.
KANYA
[Mas Abim sudah bilang itu bukan uang hasil berhutang. Apa itu nggak cukup buat kalian? Jangankan logam mulia yang tidak seberapa itu, kalau Mas Abim mau. Dia sangat-sangat mampu untuk membeli mulut kalian itu!]
Tulisku emosi. Aku tidak terima dengan perlakuan mereka ke Mas Abim. Tidak menghargai perasaan Mas Abim sama sekali mereka itu.
***
Bersambung ….

2 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Curahan Hati Kaniya

Curahan Hati Kanya

Esana Gulpinar

Assalamualaikum pembaca kesayangan ….

Terima kasih sudah hadir di cerita ini. Sebelum baca, subscribe, dan follow dulu yuk … setelah itu jika berkenan share cerita ini yahh.

Selamat membaca ….

***

 

BAB 1 (SIDIRAN)

[Wah, keren yah. Anak-anak Ibu Ratmi yang dulu nilainya selalu jeblok pas sekolah. Giliran pada gede-gede sekarang malah kerjaannya bagus-bagus. Duitnya pada banyak.]

Tulis Mirna. Adik iparku yang pertama. Pesan darinya itu segera mendapat banyak sambutan dari anggota keluarga yang lain.

[Bener Mbak Mirna. Mas Aldo baru saja diangkat jadi PNS minggu lalu. Aku bangga sekali bisa jadi istri Mas Aldo dan menjadi bagian dari keluarga ini. Itu kebanggaan tersendiri buatku.]

Fina menimpali. Dia adalah istri dari Aldo yang merupakan adik terakhir Mas Abim. Aku dengar, Aldo memang baru saja diangkat jadi PNS. Dan mereka berencana merayakannya dengan bakar-bakaran malam nanti.

[Iya bener yah, Mbak. Aku sekarang juga naik pangkat di tempat kerjaku. Aku sudah jadi leader, dan bukan operator produksi lagi. Padahal dulu waktu sekolah nilaiku sering nggak memuaskan. Aku bahkan nggak pernah menyandang predikat sepuluh besar. Mas Abim malah, dia yang selalu juara satu saat sekolah. Lulus kuliah juga dengan nilai cumlaude. Tapi ….]

Ririn yang merupakan adik kedua Mas Abim tidak melanjutkan perkataannya. Menggantung, namun semua orang juga pasti bisa menebak apa lanjutan dari isi pesannya tersebut.

[Tapi … cuma jadi petani, maksudmu Rin?]

Aldo menimpali.

Mas Abim memang menggeluti usahanya sebagai petani. Sesuai dengan jurusannya dulu, yang mengambil pendidikan di bidang pertanian. Tapi adik-adiknya tidak pernah tau, kalau Mas Abim memiliki berhektar-hektar sawah yang dia kelola bersama dengan petani-petani kompeten yang tidak memiliki lahan. Mereka akan menggarap sawah Mas Abim, dan Mas Abim pula lah yang menyediakan pupuk, bibit, dan hal-hal yang diperlukan. Setiap musim panen Mas Abim akan mendapatkan bagi hasil yang tidak sedikit dari hasil panennya.

Hasil dari bagi hasil itu akan diputar untuk modal, sumbangan ke panti asuhan, dan kegiatan amal yang biasanya diselenggarakan Mas Abim selama satu tahun sekali. Adik-adiknya tidak pernah tau, karena Mas Abim merahasiakannya. Tanahnya itu juga ada di kota yang berbeda. Yang adik-adiknya tau, Mas Abim hanyalah petani biasa dengan hasil panen sama seperti petani pada umumnya. Karena gaya hidup Mas Abim memang biasa saja, tidak terkesan menunjukkan hartanya sama sekali.

[Sudah. Apapun profesi Mas Abim, dia tetaplah Kakak tertua kita. Tidak baik membicarakannya seperti ini.]

Tukas Mirna. Aku tidak lagi melanjutkan membaca isi pesan dari keluarga Mas Abim itu. Kuletakan handphone dan melirik ke arah Mas Abim yang saat ini juga sedang membaca pesan di WhatsApp-nya.

Wajahnya sedikit masam, namun ia langsung tersenyum begitu aku menyentuh pundaknya.

“Mas … kamu nggak apa-apa?” tanyaku lembut. Ia pasti terluka dengan pembicaraan yang ada di sana.

“Aku tidak apa-apa, Dik Kanya. Kita tidur, yuk. Sini Mas peluk.” Mas Abim meletakkan handphonenya di atas nakas. Kemudian mulai meraih pinggangku ke pelukannya.

“Mas beneran mau tidur siang-siang seperti ini?” tanyaku heran. Khawatir, kalau hatinya sangat terluka dan membuatnya ingin istirahat. Karena tidak biasanya ia mengambil waktu untuk tidur siang.

“Iya, Dik. Mas capek banget hari ini. Kita istirahat aja sampai sore. Nanti malam kan kita harus datang ke acara adikku Aldo. Kita harus istirahat, biar nanti malam enggak ngantuk,” jelasnya sambil memindai wajahku. Laki-laki yang aku nikahi lima tahun lalu itu tersenyum.

“Mas mau datang?” tanyaku sedikit ragu. Aku hanya tidak mau jika sakit di hati Mas Abim semakin menganga. Takut dia akan dihina ataupun disindir lagi oleh adik-adiknya.

“Tentu saja Sayang. Masak di hari bahagia Aldo Mas enggak datang?” Bibir pria itu semakin mengembang. Tangan kokohnya mengusap rambutku lembut.

“Tapi ….” Fikiranku melayang pada kejadian satu tahun lalu saat Mirna lulus PPPK. Saat itu, Mas Abim dihina habis-habisan karena cuma Mas Abim yang tidak memberikan Mirna kado.

Sebenarnya saat itu Mas Abim bukan bermaksud untuk tidak memberikan kado. Tapi karena motor yang Mas Abim beli terlambat datang. Jadi kita berencana memberikannya esok hari.

Sayang sekali, Mas Abim kecewa karena ia pikir kehadirannya sudah cukup membuat hati adiknya itu senang. Ternyata tidak, ia malah dihina dan dianggap pelit.

“Makanya, Mas. Harusnya dulu kamu dengerin saran Bu de Darmi. Jangan ambil kuliah pertanian, ambil saja bisnis atau hukum. Kamu pasti jadi pebisnis handal sekarang, atau minimal bisa jadi pengacara jika mengambil fakultas hukum. Jadinya Mas nggak separah ini keadaannya, datang ke acara penting adiknya nggak bawa kado apa-apa.”

Masih kuingat sekali ucapan Mirna saat itu. Mas Abim yang kecewa pun pulang, dan membatalkan niatnya memberikan motor baru untuk adiknya. Motor itu saat ini kami gunakan sendiri. Malah, sekarang sering dipinjam oleh petani yang tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke sawah milik Mas Abim.

“Mas baik-baik saja, Kanya. Ayo istirahat. Kita jangan sampai terlambat nanti malam.” Mas Abim mengeratkan pelukannya. Mungkin ia telah berhasil membaca keraguanku.

“Oh iya, nanti malam jangan lupa kita bawa kadonya. Jangan sampai tragedi masa lalu terjadi lagi,” tambah Mas Abim sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata.

Sungguh, hatiku teriris mendengarnya berkata seperti itu. Seorang kakak yang selalu mengalah untuk adik-adiknya. Seorang kakak yang rela membanting tulang sambil kuliah demi membantu pendidikan adik-adiknya. Tapi ternyata, dia tidak diperlakukan sebaik ia memperlakukan orang lain.

“Sebegitu baiknya engkau suamiku, aku beruntung berjodoh orang baik sepertimu,” batinku sembari menyeka air mata yang jatuh. Kemudian segera menyusul Mas Abim untuk tidur.

***

Bersambung ….

BAB 2 (Tersesat)

“Mas, kamu masih yakin tetap merahasiakan tentang keadaan kita? Tidak ingin mengungkapkan yang sebenarnya. Bahwa menjadi petani tidak semiskin yang adik-adikmu kira,” tanyaku saat kami sedang bersiap pergi ke acara Aldo. Aku mengucir satu rambutku ke belakang. Memakai kaos santai, juga celana jeans panjang HW.

“Enggak, Kanya. Memangnya kenapa? Sepertinya sejak pagi tadi kamu terus menanyakan hal yang sama. Apa kamu mulai merasa malu karena dianggap tidak punya apa-apa, Dik?” Mas Abim balik bertanya. Pertanyaannya itu membuatku menoleh, dan menatap ke arahnya.

“Bukan begitu, Mas. Kalau Mas kasih lihat sama mereka kan. Minimal Mas nggak akan dihina lagi. Hati Kanya sakit, Mas. Melihat Mas diperlakukan seperti itu. Kanya juga nggak mau lihat Mas Abim sedih lagi karena kelakuan tidak beradab mereka,” ucapku sedikit kesal. Iya, sebagai seorang istri yang sangat mencintai Mas Abim. Aku sangat tidak suka suamiku diperlakukan seperti itu.

“Sayang ….” Mas Abim melingkarkan tangannya di bahuku. “Apa sekarang kita akan hidup berdasarkan perkataan orang lain?” ucapnya lembut. Pertanyaannya itu membuatku terdiam untuk sesaat.

“Tapi Mas ….” Ia menempelkan jari telunjuknya di bibirku ketika aku ingin membantah lagi.

“Lihat, kamu cantik sekali di cermin itu. Mas bahagia sekali memilikimu di hidup, Mas. Mas tidak perlu memberitahukan orang-orang bahwa sebahagia itu Mas memilikimu, Kanya. Karena perasaan itu ada di hati Mas. Termasuk kekayaan yang kita punya sekarang, tidak perlu kita umumkan pada orang-orang. Yang penting, kita tidak pernah merasa kekurangan, dan kita tidak pernah merepotkan orang lain tentang kebutuhan kita, itu sudah lebih dari cukup. Mas nggak butuh sanjungan,” ucapnya lembut yang diakhiri dengan kecupan di pipi kananku.

Aku hanya diam mendengarkan perkataan Mas Abim. “Sudah, lanjutkan siap-siapnya. Kadonya dibawa, jangan lupa pakai jaket. Kita naik motor saja malam ini,” ucap Mas Abim sebelum pergi. Aku hanya mengangguk dan mempercepat make up natural yang sedang kulakukan.

Selang sepuluh menit aku akhirnya selesai, sesuai instruksi yang Mas Abim berikan. Kuambil kotak hadiah yang sudah kumasukkan ke dalam paper bag. Kusambar juga jaket model parka warna maroon yang Mas Abim belikan dua minggu yang lalu.

Sepanjang jalan kami sibuk bercengkerama mengenang masa-masa awal pernikahan dulu. Yah, dulu kami sering sekali berboncengan seperti ini setiap pergi ke mana pun. Sekarang sudah cukup jarang, karena memang jarang bepergian. Paling-paling hanya satu bulan dua kali. Seringnya kita menggunakan mobil dari aplikasi berwarna hijau dan putih itu. Mau beli mobil sendiri, Mas Abim malas menyetir. Nanti saja, kalau sudah ada anak di antara kita. Katanya entah berapa waktu lalu.

“Mas, apa benar nih jalan yang kita lewati menuju rumah Aldo?” tanyaku karena merasa aneh. Karena kami melewati jalanan aspal yang kanan kirinya jarang sekali ditumbuhi bangunan. Penuh dengan persawahan.

“Memangnya ada jalan yang lain?” tanyanya membuatku kembali berpikir. Otakku kembali mengingat dulu waktu pergi ke rumah Aldo. Sudah setengah tahun tidak ke sana. Ternyata kesibukan di rumah cukup menyita waktu.

“Tapi, Mas. Sepertinya kita salah jalan deh. Dulu nggak ngelewatin sawah-sawah gini loh,” ucapku lagi.

“Iyakah?” Sontak Mas Abim langsung menghentikan laju motor.

“Iya, Mas. Coba buka map. Bisa telat kalau kita beneran nyasar,” ucapku lagi.

“Waduh iya, Dik. Jauh banget lagi. Wah, kita kebanyakan ngobrol nih sampai Mas nggak fokus ngedarain motornya. Kita bisa terlambat setengah jam nih.” Mas Abim tertawa. Bisa-bisanya pria itu tertawa di tengah keadaan seperti ini. Ah, memang begitulah dia. Seperti tidak punya beban saja hidupnya itu.

“Ya sudah, ayo Mas buruan putar balik. Nanti kita ditungguin bagaimana,” ajakku memintanya bergerak cepat. Dengan cekatan Mas Abim memutar motor dan mengikuti arahan dari suara mbak google.

Baru jalan sepuluh menit, kesialanku dan Mas Abim bertambah. Hujan tiba-tiba turun. Meski hanya rintik-rintik, tapi itu cukup untuk membuat baju yang kami kenakan sedikit terasa dingin. Kita tidak berhenti karena sudah terlambat, juga kiri kanan yang tidak ada bangunannya.

Setengah jam kemudian, kami akhirnya sampai di rumah Aldo. Aku dan Mas Abim bergegas memarkirkan motor di depan rumah adiknya itu. Setelahnya, dengan arahan pembantu di rumah Aldo. Aku dan Mas Abim dibawa ke tempat acara bakar-bakaran diselenggarakan.

Sampai sana, aku pikir akan menemui suasana hangat dari keluarga dekat yang mengitari pemanggang sambil berbicara. Yahh, selayaknya acara keluarga seperti yang dijelaskan di group beberapa hari lalu.

Tapi ternyata tidak. Halaman belakang rumah Aldo begitu sesak dengan banyak tamu-tamunya. Semuanya mengenakan pakaian mewah, gaun juga tuxedo. Ini lebih mirip pesta daripada bakar-bakaran keluarga.

Memang benar, hidangan utamanya ayam bakar, tapi … aku dan Mas Abim seperti dua orang yang salah kostum di tempat ini.

“Kita pulang aja yuk, Mas,” ucapku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi di dalam.

“Kenapa? Sudah, ayo kita temui Aldo. Ucapkan selamat, dan berikan kadonya,” ucapnya mantap sambil menggandengku masuk.

Aku mengikuti langkahnya dengan jantung yang berdegup kencang.

***

Bersambung ….
***

BAB 3 (Dihina Lagi)
“Mas Abim dan Mbak Kanya kok pakai pakaian seperti ini?” tanya Aldo setelah menarikku dan Mas Abim ke tempat yang sepi dan agak gelap.
“Karena kamu bilang acara keluarga. Jadi ya, kita mengenakan pakaian santai. Kamu tidak bilang kalau kamu mengundang banyak rekan kerjamu seperti ini. Andai kamu bilang, kita pasti memakai pakaian yang lebih baik. Dan tentunya lebih formal seperti yang lainnya.” Mas Abim menjawab pertanyaan adik bungsunya itu.
“Loh, Mas. Bukannya sudah dikasih tahu. Kalau acara kecilnya dibatalkan, dan diganti dengan pesta seperti yang Mas lihat sekarang ini. Mas sengaja yah, mau malu-maluin aku di sini,” ketus Aldo kesal. Pria itu mengusap wajahnya kasar, dan menatap kami seperti dua mahluk yang menjijikkan.
“Loh, kamu kok ngomongnya gitu Do. Mas kan bilang, kalau kamu kasih tau acaranya bakal seperti ini. Tentu kita nggak akan datang dengan kaos oblong seperti sekarang,” jelas Mas Abim lagi. Wajahnya Mas Abim sedikit kesal dengan adiknya itu. Aku tau, mungkin ia juga mulai jengah dengan sikap adiknya.
“Sudahlah, Mas. Bilang aja Mas itu iri sama keberhasilan aku sekarang. Makanya Mas datang dengan pakaian seperti ini, Mas ingin menunjukkan bahwa aku ini adik yang tidak pengertian. Dengan kesuksesan seperti sekarang, aku tidak mampu membelikan kalian berdua pakaian yang lebih layak untuk acara formal seperti sekarang.” Ucapan Aldo sangat menyakitkan. Hatiku sesak mendengar suamiku dikatai seperti itu.
“Aldo, jaga ucapan kamu itu. Mas Abim ini Kakak tertuamu. Nggak sopan sekali kamu berbicara seperti itu pada orang yang dulunya membantu biaya sekolahmu,” ucapku kesal. Rasanya sudah meledak-ledak di hatiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Ingin kuremas saja mulutnya itu saking jengkelnya.
“Maaf Mbak Kanya, bukan maksudku untuk menyakiti hati kalian dengan ucapanku tadi. Tapi, bukannya kalian sudah diberitahu? Lantas, meski sudah diberitahu kenapa masih datang dengan pakaian seperti ini?” Aldo sedikit merendahkan suaranya.
“Tidak ada satu orang pun yang memberitahu kami,” sanggahku. Aku merasa ada yang tidak beres di sini. Kenapa Aldo terus bersikeras bahwa dia sudah memberitahu, sedang baik aku atau pun Mas Aldo tidak mendapatkan pemberitahuan apapun.
“Ada apa ini?” Fina muncul dengan dress merah selutut. Dia terlihat cantik sekali dengan pakaian itu. Make up-nya juga terlihat sangat bagus.
“Ada apa, Mas?” Wanita itu memfokuskan pandangannya ke arah suaminya. Aldo tidak menjawab dan hanya menatapku dan Mas Abim kesal.
“Loh, Mbak Kanya sama Mas Abim sudah sampai. Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?” tanya Fina begitu melihat keberadaan kami. “Emmm, tapi kenapa Mas Abim dan Mbak Kanya tidak memakai pakaian formal? Mbak Mirna sama Ririn udah ada di dalam. Mereka pakai formal semua loh,” tutur Fina. Wanita itu memperhatikan penampilan kami dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Maaf, Fina. Kami tidak tau kalau acaranya diubah menjadi acara formal. Dan tidak ada yang memberitahu kami, kalau acaranya dirubah,” jawabku. Mendengar ucapanku Fina mengernyitkan keningnya.
“Loh, Mbak. Mbak Ririn tidak memberitahumu? Maaf, Mbak. Kemarin aku sibuk banget harus anter undangan. Aku lupa memberitahumu secara langsung. Jadi pas ketemu sama Mbak Ririn, aku minta tolong agar dia memberitahumu sekalian.” Fina menjelaskan. Aku memahami, mungkin untuk mempersiapkan acara ini membuatnya begitu sibuk. Sampai untuk mengirimkan chat padaku ia tidak sempat. Atau mungkin dia lupa saking lelahnya. Begitupun Ririn, mungkin dia juga lupa memberitahu.
“Ya sudahlah, ayo Mbak Kanya dan Mas Abim masuk saja,” ucao Aldo akhirnya.
Aku menatap Mas Abim. Ingin memastikan apakah dia ingin tetap bergabung atau ingin pulang saja. Pria yang kutatap itu justru tersenyum, dan merangkulku untuk masuk mengikuti adik dan adik iparnya.
Fina benar, di sana ada Mirna, Ririn, serta suami dan anak mereka. Mereka sedang asik menikmati minuman di gelas mereka. Kulihat Ririn juga sibuk mengambilkan ayam bakar untuk anaknya.
“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Mas Abil mencolek daguku. Ia tersenyum, begitulah kebiasaannya.
“Nanti saja, Mas. Aku belum lapar,” jawabku. Iya, rasa laparku meluap karena perlakuan adik Mas Abim.
“Ya udah, senyum dong. Makin cantik loh kalau wajahnya kusut begitu,” ucapnya lagi. Aku pun tersenyum karena rayuan recehnya itu.
Ah, Mas Abim. Kamu paling bisa memperbaiki moodku. Makin sayang deh jadinya. Eh?
Sejak kami datang, tidak ada sambutan atau sapaan apapun dari kedua adik Mas Abim yang lain itu. Semuanya sibuk sendiri. Untuk tersenyum pun tidak.
“Halo Rima, lagi makan apa?” tanya Mas Abim pada anak Mirna.
“Makan ayam bakal, Om,” jawab gadis kecil itu dengan suara cadelnya. Mas Abim tersenyum. Sementara Mirna hanya diam saja, dan menarik putrinya agar melanjutkan makan.
Aku bisa melihat Mas Abim menghela napas panjang. Mas Abim beralih pada adiknya yang lain, Ririn.
“Rin, tadi sampai sini jam berapa?” tanya Mas Abim. Tidak digubris sedikit pun oleh adiknya itu. Mas Abim kembali menghela napas panjang. Akhirnya ia mendekatiku, kali ini ia tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya di depanku.
“Mas Abim kenapa?” tanyaku seolah tidak melihat apa yang terjadi.
“Tidak apa-apa, Dik. Ayo, kamu ingin makan apa? Biar Mas ambilkan yah,” tanyanya. Meski aku tahu hatinya saat ini pasti sedang sakit, ia masih tetap berusaha untuk tersenyum di depanku.
“Enggak, Mas. Kanya enggak lapar. Ayo Mas, kita temui Aldo. Kita berikan kado yang udah kita beli kemarin.” Pria itu hanya mengangguk. Aku menggandeng tangannya. Berjalan mantap ke arah Aldo dan teman-temannya berkumpul.
Aldo terlihat sangat sibuk bercengkerama dengan teman-temannya. Di sampingnya ada Fina, sang istri yang selalu siap sedia. Melihat kedatanganku dan Mas Abim. Mereka hanya melirik sesaat, lalu kembali melanjutkan percakapan mereka.
Sungguh hatiku sudah sakit sekali. Aku mendekati Aldo, menarik tangannya dan memberikan kado untuknya. “Selamat yah. Semoga jabatannya langgeng, dan berkah serta bahagia. Aku dan Mas Abim pulang dulu,” ucapku lalu beranjak pergi dari sana. Tidak lupa, kugandeng tangan Mas Abim pergi.
“Kanya,” ucap Mas Abim pelan. Pria itu menghentikan langkahnya.
Langkahku pun terhenti, aku berbalik menatap Mas Abim yang siap menceramahiku. “Tidak, Mas. Tidak untuk kali ini. Aku sudah tidak tahan lagi melihatmu diperlakukan seperti itu,” ucapku menghentikan kata-kata yang siap ia luncurkan.
“Jangan menghentikanku, kita pulang sekarang,” ucapku lagi. Pria itu terdiam, dan mengikuti langkahku pergi.
***
Bersambung ….

BAB 4 (Hutang Dari Mana?)

“Kanya ….” Mas Abim menghentikan langkahku ketika kami sudah berada di luar rumah Aldo.
Aku menoleh, air mataku jatuh seketika. Aku tidak bisa, sungguh aku tidak terima dengan apa yang mereka lakukan pada suamiku.
“Mas ….” ucapku lirih. Pria itu langsung menarikku ke dalam pelukannya. Bisa kurasakan aliran kasih dalam tubuhnya yang hangat. Detak jantungnya juga terdengar sangat keras di telingaku.
Kami tetap ada dalam posisi itu untuk beberapa saat. Sampai akhirnya ia melepas pelukannya, kemudian memindai wajahku dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis,” bisiknya. Ia pun menghapus jejak air mata di pipiku.
Kami kemudian berjalan bersama ke arah motor. Di belakang aku memeluknya erat. Malam ini rasa sedih di hatiku begitu parah. Mungkin yang Mas Abim rasakan jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.
Mas Abim menghentikan motor saat melihat pasar malam yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.
“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanyaku turun dari motor.
“Bersenang-senang,” jawabnya sambil tertawa. Tawa sumbang yang tidak menggairahkan sama sekali.
Dia langsung menarik tanganku masuk. Langkah kami terhenti untuk pertama kalinya di dekat kora-kora.
“Kamu inget nggak, Dik? Kalau dulu, waktu kita masih pacaran. Kamu muntah-muntah waktu naik wahana ini?” tanya Mas Abim disertai gelak tawa.
“Dih, Mas Abim yang diinget buruknya aja. Kan Kanya jadi malu, Mas. Masa Kanya muntah-muntah di kencan pertama kita. Ufff.” Kuhembuskan napas, kesal dan malu jika ingat kejadian itu.
Anehnya, Mas Abim itu suka sekali mengingat-ingat sesuatu kejadian yang aku anggap sebagai aib dalam hidupku. Tapi, hal itulah yang membuat kami akhirnya tertawa. Seperti sekarang ini. Pria itu asik menertawakan aku sambil memperagakan bagaimana payahnya aku saat itu.
“Mau coba naik wahana ini lagi?” tanyanya diakhir tawanya.
“Mau bajunya kotor lagi?” Aku balik bertanya. Aku ingat sekali bagaimana dulu aku membuat pakaiannya kotor karena ulahku. Hebatnya ia tidak marah, meski tatapan jijik dilayangkan oleh orang-orang yang melihat kami.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu yang ngotorin mah, Mas ikhlas seikhlas-ikhlasnya.” Ia tertawa. Aku juga menyusul tawanya.
Setelahnya ia membelikanku permen kapas. Kami memakannya bersama-sama. Sepanjang malam kami mengelilingi pasar malam ini. Mas Abim tidak melepaskan gandengan tangannya, ia terus membawaku menikmati semua wahana yang ada. Pulangnya, kami mampir di sebuah warung makan, dan memesan menu untuk makan malam kami.
Mas Abim begitu lahap memakan setiap menu yang sudah kami pesan. Ia sepertinya lupa dengan kejadian di rumah adiknya tadi. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya begitu.
“Bahagia terus suamiku ….” bisikku dalam hati.
***
“Mas mau langsung tidur, atau mandi dulu?” tanyaku begitu sampai di pekarangan rumah.
“Emmm, mau langsung tidur aja kali yah. Mas capek banget, tapi belum ngantuk,” jawabnya sembari memasukkan motor ke dalam garasi.
“Ya udah, mandi dulu aja. Biar segeran dikit badannya. Aku masakkan air yah, buat mandinya Mas?” Tidak perlu menunggu jawabannya. Aku langsung masuk dan menyalakan kompor. Di atasnya sudah kuletakkan panci dengan air.
Tidak butuh waktu lama, air sudah mendidih. Segera kubuatkan air hangat untuk mandi suamiku itu.
“Mas, airnya udah jadi. Mandi dulu gih,” ucapku pada pria yang saat ini sibuk dengan gadgetnya. Wajahnya muram, entah kemana perginya keceriaan yang tadi.
“Mas ….” Kutepuk bahunya pelan. Ia tampak terkejut dengan kehadiranku.
“Astaga, jadi dia tadi melamun?” batinku.
“Iya, Dik? Ada apa?” tanyanya. Ah, sepertinya ingatannya sedikit berkurang. Aku jadi semakin bertanya-tanya, apa alasan di balik wajah murungnya itu.
“Mandi, Mas. Kan tadi aku udah bilang, mau masak air buat Mas,” jawabku menatapnya.
“Oh, iya. Makasih yah sayang. Kalau gitu, Mas mandi dulu.” Dia meletakkan handphonenya. Mengecup keningku, kemudian pergi ke kamar mandi.
Menunggu Mas Abim, aku membuka handphoneku. Notif terus masuk di group keluarga.
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Pesan itu dari Aldo. Karena penasaran segera kuscroll ke atas. Apa pembicaraan mereka, sampai Mas Abim disuruh mengaku begitu.
Semua bermula dari pesan yang dikirimkan oleh Ririn.
[Acaranya keren sekali. Aku seneng bisa hadir. Suami dan anak-anak juga seneng banget. Melihat anak-anaknya sesukses sekarang, pasti Almarhum Ibu Ratmi bahagia sekali.]
Begitu tulis Ririn. Pesannya itu langsung mendapat respon yang baik oleh penghuni group.
ALDO
[Bener Mbak Rin. Ibu pasti bangga lihat kita. Aku seneng, kalian hadir malam ini. Acaranya jadi semakin meriah.]
MIRNA
[Sama-sama Do. Mbak seneng lihat kamu akhirnya bisa sukses. Yang lain pasti juga seneng lihat kesusksesan kamu, Do.]
ALDO
[Hahaha! Kayaknya sih enggak semuanya, Mbak. Buktinya tadi ada yang langsung pulang. Nggak ikut menemani sampai acara selesai.]
MIRNA
[Maklumi saja lah, Do. Mungkin lagi sibuk. Berpikir yang positif-positif aja.]
RIRIN
[Bener tuh @Aldo kata Mbak Mirna. Namanya orang kita nggak tau apa yang lagi disibukkan.]
ALDO
[Iya, Mbak. Oh iya, hadiahnya makasih yah. Kalian sebenarnya nggak perlu repot-repot loh. Kalian datang ke acara aja aku udah seneng. Jangan sampai untuk datang ke acara aku kalian sampai ngutang-ngutang buat beli kado.]
Hatiku kembali mencelos membaca sederet pesan di sana. Tapi aku tetap menahan jariku untuk tidak mengetikkan apapun. Kupaksakan untuk membawa pesan itu sampai bawah.
RIRIN
[Ngawur kamu itu, Do. Mana ada kami ngutang. Kado kami itu udah pasti jelas sesuai kemampuan. Masak iya, bela-belain ngutang.]
ALDO
[Ya aku kan nggak tau, Mbak. Siapa tau ada yang ngutang. Iya nggak, @Mas Abim?]
MAS ABIM
[Alhamdulillah, Insyaallah nggak akan ada yang ngutang di sini.]
ALDO
[Apa itu benar, Mas? Mas kasih aku logam mulia loh. Mas dapat uang dari mana? Setahuku ini juga bukan musim panen.]
MAS ABIM
[Iya, Do. Itu hasil kerjaku. Bukan hasil ngutang.]
MIRNA
[Jujur aja Mas Abim, kami tau gimana kondisi keluarga Mas Abim. Jadi nggak mungkin Mas Abim bisa beli logam mulia seperti itu. Jujur aja, biar kami bantu bayar cicilannya.]
RIRIN
[Iya, Mas. Suamiku juga bersedia bantu.]
ALDO
[Atau nggak kita jual aja logam mulianya. Nanti Mas Abim pakai aja uangnya untuk bayar.]
MAS ABIM
[Sudah kubilang itu hasil kerjaku. Alhamdulillah, kemarin ada rezeki lebih. Itu bukan uang hasil ngutang. Jadi kalian tenang saja.]
ALDO
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Aku langsung mengetikkan pesan untuk membungkam mulut mereka. Ketika Mas Abim bilang itu uang hasil kerjanya dan bukan hasil berhutang. Apa itu tidak cukup, sampai mereka harus mendesak seperti itu.
KANYA
[Mas Abim sudah bilang itu bukan uang hasil berhutang. Apa itu nggak cukup buat kalian? Jangankan logam mulia yang tidak seberapa itu, kalau Mas Abim mau. Dia sangat-sangat mampu untuk membeli mulut kalian itu!]
Tulisku emosi. Aku tidak terima dengan perlakuan mereka ke Mas Abim. Tidak menghargai perasaan Mas Abim sama sekali mereka itu.
***
Bersambung ….

BAB 5 (Hutang Dari Mana?)

“Kanya ….” Mas Abim menghentikan langkahku ketika kami sudah berada di luar rumah Aldo.
Aku menoleh, air mataku jatuh seketika. Aku tidak bisa, sungguh aku tidak terima dengan apa yang mereka lakukan pada suamiku.
“Mas ….” ucapku lirih. Pria itu langsung menarikku ke dalam pelukannya. Bisa kurasakan aliran kasih dalam tubuhnya yang hangat. Detak jantungnya juga terdengar sangat keras di telingaku.
Kami tetap ada dalam posisi itu untuk beberapa saat. Sampai akhirnya ia melepas pelukannya, kemudian memindai wajahku dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis,” bisiknya. Ia pun menghapus jejak air mata di pipiku.
Kami kemudian berjalan bersama ke arah motor. Di belakang aku memeluknya erat. Malam ini rasa sedih di hatiku begitu parah. Mungkin yang Mas Abim rasakan jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.
Mas Abim menghentikan motor saat melihat pasar malam yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.
“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanyaku turun dari motor.
“Bersenang-senang,” jawabnya sambil tertawa. Tawa sumbang yang tidak menggairahkan sama sekali.
Dia langsung menarik tanganku masuk. Langkah kami terhenti untuk pertama kalinya di dekat kora-kora.
“Kamu inget nggak, Dik? Kalau dulu, waktu kita masih pacaran. Kamu muntah-muntah waktu naik wahana ini?” tanya Mas Abim disertai gelak tawa.
“Dih, Mas Abim yang diinget buruknya aja. Kan Kanya jadi malu, Mas. Masa Kanya muntah-muntah di kencan pertama kita. Ufff.” Kuhembuskan napas, kesal dan malu jika ingat kejadian itu.
Anehnya, Mas Abim itu suka sekali mengingat-ingat sesuatu kejadian yang aku anggap sebagai aib dalam hidupku. Tapi, hal itulah yang membuat kami akhirnya tertawa. Seperti sekarang ini. Pria itu asik menertawakan aku sambil memperagakan bagaimana payahnya aku saat itu.
“Mau coba naik wahana ini lagi?” tanyanya diakhir tawanya.
“Mau bajunya kotor lagi?” Aku balik bertanya. Aku ingat sekali bagaimana dulu aku membuat pakaiannya kotor karena ulahku. Hebatnya ia tidak marah, meski tatapan jijik dilayangkan oleh orang-orang yang melihat kami.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu yang ngotorin mah, Mas ikhlas seikhlas-ikhlasnya.” Ia tertawa. Aku juga menyusul tawanya.
Setelahnya ia membelikanku permen kapas. Kami memakannya bersama-sama. Sepanjang malam kami mengelilingi pasar malam ini. Mas Abim tidak melepaskan gandengan tangannya, ia terus membawaku menikmati semua wahana yang ada. Pulangnya, kami mampir di sebuah warung makan, dan memesan menu untuk makan malam kami.
Mas Abim begitu lahap memakan setiap menu yang sudah kami pesan. Ia sepertinya lupa dengan kejadian di rumah adiknya tadi. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya begitu.
“Bahagia terus suamiku ….” bisikku dalam hati.
***
“Mas mau langsung tidur, atau mandi dulu?” tanyaku begitu sampai di pekarangan rumah.
“Emmm, mau langsung tidur aja kali yah. Mas capek banget, tapi belum ngantuk,” jawabnya sembari memasukkan motor ke dalam garasi.
“Ya udah, mandi dulu aja. Biar segeran dikit badannya. Aku masakkan air yah, buat mandinya Mas?” Tidak perlu menunggu jawabannya. Aku langsung masuk dan menyalakan kompor. Di atasnya sudah kuletakkan panci dengan air.
Tidak butuh waktu lama, air sudah mendidih. Segera kubuatkan air hangat untuk mandi suamiku itu.
“Mas, airnya udah jadi. Mandi dulu gih,” ucapku pada pria yang saat ini sibuk dengan gadgetnya. Wajahnya muram, entah kemana perginya keceriaan yang tadi.
“Mas ….” Kutepuk bahunya pelan. Ia tampak terkejut dengan kehadiranku.
“Astaga, jadi dia tadi melamun?” batinku.
“Iya, Dik? Ada apa?” tanyanya. Ah, sepertinya ingatannya sedikit berkurang. Aku jadi semakin bertanya-tanya, apa alasan di balik wajah murungnya itu.
“Mandi, Mas. Kan tadi aku udah bilang, mau masak air buat Mas,” jawabku menatapnya.
“Oh, iya. Makasih yah sayang. Kalau gitu, Mas mandi dulu.” Dia meletakkan handphonenya. Mengecup keningku, kemudian pergi ke kamar mandi.
Menunggu Mas Abim, aku membuka handphoneku. Notif terus masuk di group keluarga.
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Pesan itu dari Aldo. Karena penasaran segera kuscroll ke atas. Apa pembicaraan mereka, sampai Mas Abim disuruh mengaku begitu.
Semua bermula dari pesan yang dikirimkan oleh Ririn.
[Acaranya keren sekali. Aku seneng bisa hadir. Suami dan anak-anak juga seneng banget. Melihat anak-anaknya sesukses sekarang, pasti Almarhum Ibu Ratmi bahagia sekali.]
Begitu tulis Ririn. Pesannya itu langsung mendapat respon yang baik oleh penghuni group.
ALDO
[Bener Mbak Rin. Ibu pasti bangga lihat kita. Aku seneng, kalian hadir malam ini. Acaranya jadi semakin meriah.]
MIRNA
[Sama-sama Do. Mbak seneng lihat kamu akhirnya bisa sukses. Yang lain pasti juga seneng lihat kesusksesan kamu, Do.]
ALDO
[Hahaha! Kayaknya sih enggak semuanya, Mbak. Buktinya tadi ada yang langsung pulang. Nggak ikut menemani sampai acara selesai.]
MIRNA
[Maklumi saja lah, Do. Mungkin lagi sibuk. Berpikir yang positif-positif aja.]
RIRIN
[Bener tuh @Aldo kata Mbak Mirna. Namanya orang kita nggak tau apa yang lagi disibukkan.]
ALDO
[Iya, Mbak. Oh iya, hadiahnya makasih yah. Kalian sebenarnya nggak perlu repot-repot loh. Kalian datang ke acara aja aku udah seneng. Jangan sampai untuk datang ke acara aku kalian sampai ngutang-ngutang buat beli kado.]
Hatiku kembali mencelos membaca sederet pesan di sana. Tapi aku tetap menahan jariku untuk tidak mengetikkan apapun. Kupaksakan untuk membawa pesan itu sampai bawah.
RIRIN
[Ngawur kamu itu, Do. Mana ada kami ngutang. Kado kami itu udah pasti jelas sesuai kemampuan. Masak iya, bela-belain ngutang.]
ALDO
[Ya aku kan nggak tau, Mbak. Siapa tau ada yang ngutang. Iya nggak, @Mas Abim?]
MAS ABIM
[Alhamdulillah, Insyaallah nggak akan ada yang ngutang di sini.]
ALDO
[Apa itu benar, Mas? Mas kasih aku logam mulia loh. Mas dapat uang dari mana? Setahuku ini juga bukan musim panen.]
MAS ABIM
[Iya, Do. Itu hasil kerjaku. Bukan hasil ngutang.]
MIRNA
[Jujur aja Mas Abim, kami tau gimana kondisi keluarga Mas Abim. Jadi nggak mungkin Mas Abim bisa beli logam mulia seperti itu. Jujur aja, biar kami bantu bayar cicilannya.]
RIRIN
[Iya, Mas. Suamiku juga bersedia bantu.]
ALDO
[Atau nggak kita jual aja logam mulianya. Nanti Mas Abim pakai aja uangnya untuk bayar.]
MAS ABIM
[Sudah kubilang itu hasil kerjaku. Alhamdulillah, kemarin ada rezeki lebih. Itu bukan uang hasil ngutang. Jadi kalian tenang saja.]
ALDO
[Sudahlah, Mas Abim. Jujur saja, nggak apa-apa. Daripada ditutup-tutupi dan terus mengelak seperti ini. Nggak ada gunanya.]
Aku langsung mengetikkan pesan untuk membungkam mulut mereka. Ketika Mas Abim bilang itu uang hasil kerjanya dan bukan hasil berhutang. Apa itu tidak cukup, sampai mereka harus mendesak seperti itu.
KANYA
[Mas Abim sudah bilang itu bukan uang hasil berhutang. Apa itu nggak cukup buat kalian? Jangankan logam mulia yang tidak seberapa itu, kalau Mas Abim mau. Dia sangat-sangat mampu untuk membeli mulut kalian itu!]
Tulisku emosi. Aku tidak terima dengan perlakuan mereka ke Mas Abim. Tidak menghargai perasaan Mas Abim sama sekali mereka itu.
***
Bersambung ….

Tertarik Dengan Buku : Curahan Hati Kanya ?

Curahan Hati Kaniya

Curahan Hati Kanya

Esana Gulpinar