Assalamualaikum pembaca kesayangan ….
Terima kasih sudah hadir di cerita ini. Sebelum baca, subscribe, dan follow dulu yuk … setelah itu jika berkenan share cerita ini yahh.
Selamat membaca ….
***
BAB 1 (SIDIRAN)
[Wah, keren yah. Anak-anak Ibu Ratmi yang dulu nilainya selalu jeblok pas sekolah. Giliran pada gede-gede sekarang malah kerjaannya bagus-bagus. Duitnya pada banyak.]
Tulis Mirna. Adik iparku yang pertama. Pesan darinya itu segera mendapat banyak sambutan dari anggota keluarga yang lain.
[Bener Mbak Mirna. Mas Aldo baru saja diangkat jadi PNS minggu lalu. Aku bangga sekali bisa jadi istri Mas Aldo dan menjadi bagian dari keluarga ini. Itu kebanggaan tersendiri buatku.]
Fina menimpali. Dia adalah istri dari Aldo yang merupakan adik terakhir Mas Abim. Aku dengar, Aldo memang baru saja diangkat jadi PNS. Dan mereka berencana merayakannya dengan bakar-bakaran malam nanti.
[Iya bener yah, Mbak. Aku sekarang juga naik pangkat di tempat kerjaku. Aku sudah jadi leader, dan bukan operator produksi lagi. Padahal dulu waktu sekolah nilaiku sering nggak memuaskan. Aku bahkan nggak pernah menyandang predikat sepuluh besar. Mas Abim malah, dia yang selalu juara satu saat sekolah. Lulus kuliah juga dengan nilai cumlaude. Tapi ….]
Ririn yang merupakan adik kedua Mas Abim tidak melanjutkan perkataannya. Menggantung, namun semua orang juga pasti bisa menebak apa lanjutan dari isi pesannya tersebut.
[Tapi … cuma jadi petani, maksudmu Rin?]
Aldo menimpali.
Mas Abim memang menggeluti usahanya sebagai petani. Sesuai dengan jurusannya dulu, yang mengambil pendidikan di bidang pertanian. Tapi adik-adiknya tidak pernah tau, kalau Mas Abim memiliki berhektar-hektar sawah yang dia kelola bersama dengan petani-petani kompeten yang tidak memiliki lahan. Mereka akan menggarap sawah Mas Abim, dan Mas Abim pula lah yang menyediakan pupuk, bibit, dan hal-hal yang diperlukan. Setiap musim panen Mas Abim akan mendapatkan bagi hasil yang tidak sedikit dari hasil panennya.
Hasil dari bagi hasil itu akan diputar untuk modal, sumbangan ke panti asuhan, dan kegiatan amal yang biasanya diselenggarakan Mas Abim selama satu tahun sekali. Adik-adiknya tidak pernah tau, karena Mas Abim merahasiakannya. Tanahnya itu juga ada di kota yang berbeda. Yang adik-adiknya tau, Mas Abim hanyalah petani biasa dengan hasil panen sama seperti petani pada umumnya. Karena gaya hidup Mas Abim memang biasa saja, tidak terkesan menunjukkan hartanya sama sekali.
[Sudah. Apapun profesi Mas Abim, dia tetaplah Kakak tertua kita. Tidak baik membicarakannya seperti ini.]
Tukas Mirna. Aku tidak lagi melanjutkan membaca isi pesan dari keluarga Mas Abim itu. Kuletakan handphone dan melirik ke arah Mas Abim yang saat ini juga sedang membaca pesan di WhatsApp-nya.
Wajahnya sedikit masam, namun ia langsung tersenyum begitu aku menyentuh pundaknya.
“Mas … kamu nggak apa-apa?” tanyaku lembut. Ia pasti terluka dengan pembicaraan yang ada di sana.
“Aku tidak apa-apa, Dik Kanya. Kita tidur, yuk. Sini Mas peluk.” Mas Abim meletakkan handphonenya di atas nakas. Kemudian mulai meraih pinggangku ke pelukannya.
“Mas beneran mau tidur siang-siang seperti ini?” tanyaku heran. Khawatir, kalau hatinya sangat terluka dan membuatnya ingin istirahat. Karena tidak biasanya ia mengambil waktu untuk tidur siang.
“Iya, Dik. Mas capek banget hari ini. Kita istirahat aja sampai sore. Nanti malam kan kita harus datang ke acara adikku Aldo. Kita harus istirahat, biar nanti malam enggak ngantuk,” jelasnya sambil memindai wajahku. Laki-laki yang aku nikahi lima tahun lalu itu tersenyum.
“Mas mau datang?” tanyaku sedikit ragu. Aku hanya tidak mau jika sakit di hati Mas Abim semakin menganga. Takut dia akan dihina ataupun disindir lagi oleh adik-adiknya.
“Tentu saja Sayang. Masak di hari bahagia Aldo Mas enggak datang?” Bibir pria itu semakin mengembang. Tangan kokohnya mengusap rambutku lembut.
“Tapi ….” Fikiranku melayang pada kejadian satu tahun lalu saat Mirna lulus PPPK. Saat itu, Mas Abim dihina habis-habisan karena cuma Mas Abim yang tidak memberikan Mirna kado.
Sebenarnya saat itu Mas Abim bukan bermaksud untuk tidak memberikan kado. Tapi karena motor yang Mas Abim beli terlambat datang. Jadi kita berencana memberikannya esok hari.
Sayang sekali, Mas Abim kecewa karena ia pikir kehadirannya sudah cukup membuat hati adiknya itu senang. Ternyata tidak, ia malah dihina dan dianggap pelit.
“Makanya, Mas. Harusnya dulu kamu dengerin saran Bu de Darmi. Jangan ambil kuliah pertanian, ambil saja bisnis atau hukum. Kamu pasti jadi pebisnis handal sekarang, atau minimal bisa jadi pengacara jika mengambil fakultas hukum. Jadinya Mas nggak separah ini keadaannya, datang ke acara penting adiknya nggak bawa kado apa-apa.”
Masih kuingat sekali ucapan Mirna saat itu. Mas Abim yang kecewa pun pulang, dan membatalkan niatnya memberikan motor baru untuk adiknya. Motor itu saat ini kami gunakan sendiri. Malah, sekarang sering dipinjam oleh petani yang tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke sawah milik Mas Abim.
“Mas baik-baik saja, Kanya. Ayo istirahat. Kita jangan sampai terlambat nanti malam.” Mas Abim mengeratkan pelukannya. Mungkin ia telah berhasil membaca keraguanku.
“Oh iya, nanti malam jangan lupa kita bawa kadonya. Jangan sampai tragedi masa lalu terjadi lagi,” tambah Mas Abim sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata.
Sungguh, hatiku teriris mendengarnya berkata seperti itu. Seorang kakak yang selalu mengalah untuk adik-adiknya. Seorang kakak yang rela membanting tulang sambil kuliah demi membantu pendidikan adik-adiknya. Tapi ternyata, dia tidak diperlakukan sebaik ia memperlakukan orang lain.
“Sebegitu baiknya engkau suamiku, aku beruntung berjodoh orang baik sepertimu,” batinku sembari menyeka air mata yang jatuh. Kemudian segera menyusul Mas Abim untuk tidur.
***
Bersambung ….
2 Tanggapan
I like this weblog very much, Its a very nice office to read and get information.Blog monry
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.