Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Esana Gulpinar
Sinopsis Selama tiga tahun pernikahan tak pernah sekalipun aku penasaran dengan apa isi handphone suamiku. Namun entah kenapa belakangan ini aku sangat penasaran dengan notif e-wallet suamiku yang terus berbunyi. Terlebih suamiku selalu tersenyum seperti orang tak waras setiap kali notif e-wallet itu terdengar dan ia membukanya. Senyumnya yang tak biasa riang itu membuatku penasaran. Setiap kali aku tanya, ia akan menjawab jika dia mendapatkan transferan. Anehnya, jika ia mendapat uang banyak lalu kenapa uang belanjaku justru semakin berkurang setiap harinya? Selain itu, perangai Mas Arkhan juga berubah. Ia bahkan mulai berani bersikap kasar terhadapku. Tak ingin dihantui rasa penasaran dan juga kegelisahan, aku memberanikan diri untuk membuka e-wallet milik suamiku. Apa gerangan yang tersembunyi di balik notif e-wallet yang malah mengurangi jatah uang belanjaku? Tadinya aku pikir suamiku memiliki hutang, atau masalah yang membutuhkan banyak uang. Tapi ternyata .... Chat-chat mesra dan tidak senonoh itu seakan menghantam jantungku kuat-kuat. Mataku sontak berkunang-kunang, aku harap ini sekedar mimpi. Jika ini hanya mimpi, siapapun tolong bangunkan aku. Aku tidak sanggup dengan sesak yang terus menekan dadaku, pipiku juga mulai basah oleh air yang entah dari mana datangnya. Siapapun, tolong bangunkan aku .... tolong .... Sepertinya tak ada seorangpun yang berbaik hati membangunkan aku dari mimpi sialan ini! Apakah ini bukan mimpi, ini adalah kenyataan? Tubuhku bergetar hebat, getar yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan apa ini ya Tuhan? Aku sungguh tak sanggup, sampai akhirnya gelap menyerangku dan membuatku tak ingat apapun lagi. Namun sakit itu, sakit itu masih terasa sangat nyata meski tubuhku kini terlihat baik-baik saja .... Follow IG Author : @esanagulpinar

Bagikan Cerita ini :

Bab 1

“Jangan sentuh HP-ku! Sudah berapa kali aku bilang, setiap orang selalu punya ruang privasi. Dan HP adalah salah satunya, hanya karena kamu adalah istriku. Bukan berarti kamu bisa nyentuh dan buka HP-ku dengan bebas!! Paham?!” bentaknya suatu ketika.
Aku yang sedang mengangkat HP-nya dari atas bantal pun seketika langsung meletakkannya kembali.
“Ada apa, Mas? Kenapa kamu semarah itu? Nggak biasanya kamu marah-marah hanya karena aku nyentuh HP kamu, lagian aku pegang HP kamu tadi itu hanya untuk memindahkannya ke laci saja,” ucapku membela diri. Selama menikah, tak sekalipun aku penasaran dengan apa isi HP miliknya. Bagiku, selama ia bersikap baik dan bertanggungjawab, rasanya tak pantas jika aku masih curiga dan sibuk memeriksa HPnya.
Tapi, kemarahannya kali ini justru memantik rasa curigaku. Ada apa sebenarnya di HP itu? Sampai-sampai ia begitu marah hanya karena aku tak sengaja menyentuhnya saat ingin merapikan tempat tidur.
“Nggak ada apa-apa, sekedar mengingatkan. Barangkali kamu lupa, di mana batas ruang pribadi di antara kita,” jawabnya. Mengambil HP kemudian pergi meninggalkanku di kamar.
Wanita cenderung lebih gampang peka jika ada sedikit saja perubahan dari pasangannya. Itu juga yang aku rasakan saat ini, selama ini aku memang tak pernah membuka HPnya jadi rasanya sangat aneh jika ia tiba-tiba memintaku untuk tidak membuka HPnya. Seperti, ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan dari sana.
Aku tak menghiraukannya lagi, kulanjutkan aksi beres-beres dan menganggap mungkin Mas Angga hanya sedang banyak pikiran saja. Mungkin, ada masalah di pekerjaan yang ia simpan di HP itu dan tidak ingin membuatku terbebani, jika sampai aku tak sengaja membukanya.
Berpikir positif, itulah yang aku gunakan untuk mendamaikan hatiku.
***
“Makanan apa sih ini, Dek? Mas kan nggak suka kalau ada menu tempe dan tahu ada di atas meja yang sama. Kalau tempe ya tempe aja, kalau tahu ya tahu aja!” serunya. Membanting sendok di atas piring yang menimbulkan bunyi tak enak di telinga.
“Ada apa, Mas? Aku masak sayur bening, sama sambal terasi. Jadi enak kan kalau ada tempe dan tahu goreng? Pas banget sama menunya, cocok buat sarapan,” jawabku. Namun, reaksi tak terduga justru diberikannya.
“Berapa kali harus aku bilang sama kamu, kalau jangan pernah ada tempe dan tahu di saat bersamaan. Bisa kan, tempe aja. Terus sama ayam goreng kek, ikan goreng kek, atau apa kek. Asal jangan tahu. Atau bisa kan, tahu goreng sama ikan atau ayam goreng?! Bod*h banget kamu jadi istri. Kayak gitu aja mesti diajarin terus-menerus!” Mas Angga mengambil piring miliknya, kemudian melemparnya ke dinding. Pecahan piring berserakan, meski pecahannya tidak mengenai siapapun tapi suara itu membuat Naina yang tadinya tidur jadi terbangun dan menangis kencang.
“Ada apa, Mas? Apa salahnya makan tempe sama tahu barengan? Nggak ada aturannya kan, harus tempe aja atau tahu aja. Lagian di sini juga ada ikan sama ayam goreng. Kenapa harus dibesar-besarkan sih Mas? Kalau Mas nggak suka, aku bisa sembunyiin salah satunya. Nggak perlu kamu sampai banting-banting piring kayak gitu. Naina sampai bangun dan nangis gara-gara kamu,” ucapku kesal. Sudah lelah sepagian ini aku berkutat dengan urusan rumah tangga. Aku bahkan belum sempat memandikan Naina.
“Mas nggak akan kayak gini, kalau kamu becus ngurus rumah! Udah, mau ke kantor. Malam ini mau lembur aja. Nggak usah nunggu Mas pulang. Kamu fokus aja belajar jadi istri yang baik, dan jadi perempuan yang bisa diandalkan di rumahnya,” ucap Mas Angga kemudian berlalu pergi.
Aku menatap sekilas kepergiannya dengan mata berkaca. Bergegas aku melangkah untuk menggendong Naina, kutimang dan ketenangan. Tangis gadis kecil itu perlahan mereda.
“Mas Angga, ternyata tak hanya tentang HP saja kamu berubah. Kamu sekarang menjelma jadi sosok yang aku nggak tau. Ada apa dibalik perubahanmu yang terlalu jelas ini? Apakah ada hati lain yang singgah dalam hidupmu, hinggap kau pun berubah begitu kasar padaku?” tanyaku dalam hati. Bersamaan dengan setetes bulir bening jatuh di pipi.
 Link

Bab 2

“Bod*h banget jadi istri, kayak gitu aja harus banget diajarin terus!” ucapan Angga masih terus terngiang di telinga Kiran.
Wanita itu tampak memasuki kamarnya, dengan air mata yang masih berlinang di sana. Sesekali ia menimang putrinya agar berhenti menangis.
Deru mobil terdengar di luar, Kiran menyaksikan kepergian suaminya dari jendela lantai atas yang ada di kamarnya. Di gendongannya ada Naina yang sudah mulai tenang dari tangis.
Ada sesak di hatinya ketika menyadari suaminya telah berubah, haruskah ia mencari tahu apa sebab suaminya berubah sangat kasar?
***
Siang ini, Kiran tidak memasak. Rasa sesak yang diberikan Angga pagi tadi belum juga hilang, itu membuatnya malas melakukan apapun. Hingga, ia pun membiarkan pembantu di rumah itu yang menyiapkan makan siang dan juga makan malam nanti.
“Bu, mau makan apa siang ini?” tanya Bi Marni lembut kala wanita itu menghampiri Kiran di kamarnya.
“Saya mau makan soup ayam aja Bi. Yang biasa Bibi bikinin tuh, Kiran suka banget,” jawab Kiran. Ia mencoba tetap ramah dan tersenyum meski hatinya saat ini berantakan melebihi kapal pecah.
“Baik Bu Kiran, Bibi siapkan makanannya sekarang yaa. Nanti kalau udah matang, mau makan di meja makan atau diantar ke kamar?” tanya Bi Mirna sopan.
“Minta tolong diantar ke kamar aja ya, Bi. Saya lagi males banget mau turun,” jawab Kiran sama sopannya.
“Baik Bu,” ucap Bi Mirna. Wanita itu pamit undur diri untuk pergi ke dapur dan menyiapkan makan siang untuk Kiran.
Seperginya Bi Mirna dari kamarnya, Kirana kembali melamun. Entah kenapa makian dan cacian yang Angga berikan tak pergi dari kepalanya meski ia sudah berkali-kali mengenyahkan dan mencoba untuk melupakannya.
Tapi, bukannya hilang. Ia justru semakin dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat batinnya semakin gelisah.
Apa sebabnya Angga menjadi galak? Apakah dia melakukan kesalahan? Apakah suaminya itu sedang banyak masalah? Atau … yang paling buruk adalah. Apakah suaminya sudah tersihir oleh bunga lain di luar sana?
Pikiran-pikiran itulah yang membuatnya tidak bersemangat menjalani hari-harinya. Kiran menatap Naina yang saat ini sedang bermain di ranjang. Gadis kecil itu sudah kembali ceria, anak sekecil Naina tak akan mengerti apa masalah yang saat ini mendera kedua orangtuanya. Jikapun tadi dia menangis, itu mungkin hanya karena rasa terkejut saja.
Entah berapa lama Kiran melamun, pintu kamarnya kembali diketuk dari luar. Bisa dipastikan itu adalah Bi Mirna.
“Masuk Bi, pintunya nggak dikunci,” kata Kiran. Bi Mirna pun masuk dengan membawa nampan berisi soup ayam yang Kiran inginkan.
Sesuai permintaan Kiran, Bi Marni meletakkannya di atas meja kecil yang terletak di samping kasur Kiran.
“Bu, nanti malam mau masak sendiri atau Bibi aja yang masak?” tanya Bi Marni sebelum pergi.
“Bibi aja ya, saya masih malas banget untuk masak,” jawab Kiran. Ia memang merasa malas untuk masak, terlebih setelah cacian suaminya pagi tadi. Baginya itu sangat tidak masuk akal.
“Baik Bu, nanti malam mau dimasakin apa untuk menu makan malam?” tanya Bi Marni. Ia paham apa yang majikannya itu rasakan. Karena pagi tadi, ia tentu mendengar dengan jelas apa yang terjadi di meja makan.
“Apapun Bi, yang penting jangan ada tahu dan tempe di atas meja secara bersamaan. Kalau mau masak tempe, jangan masak tahu. Kalau mau masak tahu, jangan masak tempe. Mas Angga nggak suka,” jawab Kirana. Bi Mirna hanya mengangguk kemudian pamit pergi.
Kiran menatap tak selera pada makanan yang tersaji di atas meja. Hanya tatapan kosong yang ia berikan saat melihat asap mengepul di atas mangkuk soup ayam.
“Aku nggak bisa kayak gini,” bisiknya kemudian. “Aku nggak boleh lemah seperti ini. Hanya dibentak sekali saja, masak aku harus kayak gini? Mas Angga nggak boleh lihat aku lemah, hingga dia bisa saja berlaku semakin semena-mena nantinya,” lanjutnya.
“Maaf Mas, aku tak akan membiarkanmu berlaku semena-mena terhadapku. Dan kamu juga tidak bisa dengan bebas meninggikan suaramu terhadapku. Aku istrimu, bukan babumu.”

Bab 3

“Aku akan temukan apa sebabnya kamu berubah, Mas,” ucap Kiran.
Wanita masuk ke dalam ruang cuci, ia harus mencuci pakaian sebelum ia mengambil waktu untuk dirinya sendiri.
Ada beberapa pasang pakaian milik suaminya, miliknya, juga milik Naina. Dengan tangan cekatan, Kiran memasukkan semua pakaian ke dalam mesin cuci. Sebelumnya ia memeriksa saku yang ada di pakaian. Terutama milik suaminya, karena seringkali ada saja barang yang tertinggal di sana.
Dan benar saja, Kiran menemukan beberapa lembar uang merah juga selembar kertas putih.
Pandangan Kiran tertuju pada secarik kertas putih itu. Dan benar saja, saat ia melihatnya. Itu adalah sebuah struk pembelian tas bermerk. Untuk sesaat tubuhnya bergetar, pikiran buruk itu kembali mendekati. Akankah dugaannya benar? Suaminya …
… pada siapa Angga memberikan tas mahal itu?
***
Kiran telah menyelesaikan aktivitas hariannya. Kini, di waktu senggang yang biasa dia gunakan untuk rebahan atau bermain dengan Naina ia gunakan untuk menekuni hobinya yang dulu.
Itu ia lakukan, agar saat ia akhirnya tau kenyataan jika suaminya mendua. Ia punya tempat kuat untuk berpijak. Yakni, dunianya sendiri.
Kirana masuk ke dalam sebuah ruang kosong yang ada di rumahnya. Itu adalah ruangan yang dulu menjadi tempatnya bekerja. Namun kini kosong dan tidak digunakan karena Angga memintanya berhenti dan fokus pada tumbuh kembang Naina saja.
Namun kini, ketika ia merasa suaminya telah berubah, dan mungkin cintanya juga sudah banyak terkikis. Hal normal jika ia merasa terancam. Dan Kiran, tak ingin ia hancur lebur saat hal itu terjadi. Jadi ia harus membangun kembali pondasinya yang dulu ia tinggalkan untuk membangun pondasi di dunia suaminya.
Saat sedang sibuk mengamati ruangan penuh debu itu, bel rumah berbunyi. Kiran tau siapa yang datang, dia adalah kurir yang mengantar pesanannya.
“Permisi, apa benar ini rumah Ibu Kirana Shabila?” tanya seorang pria muda yang sedang membawa kotak yang lumayan besar.
“Benar, dengan saya sendiri. Ini dari toko Mega ya?” tanya Kiran kemudian.
“Benar Bu, ini pesanannya mau ditaruh di mana?”
“Bisa bantu taruh di depan ruangan saya?”
“Bisa Bu, di mana ruangannya?”
“Mari ikut saya.” Kiran berjalan lebih dulu, sementara pria tampan berpakaian sangat rapih itu mengekor di belakang.
Kiran meminta kurir itu meletakkan barang-barangnya di depan ruangan kosong yang sebentar lagi akan dia bersihkan.
“Baik, yak taruh situ aja. Makasih ya,” ucap Kiran. Pria itu hanya mengangguk kemudian pamit pergi.
Ketika pria kurir itu berbalik dan pergi, Kiran mencium aroma yang tak asing baginya. Tapi, dia tidak tau dimana dia pernah mencium aroma itu sebelumnya.
Misinya yang ingin segera membersihkan ruangan itu, membuatnya mengabaikan aroma tak asing itu.
Dengan dibantu Bi Mirna, ruangan Kirana akhirnya bersih juga. Beberapa barang yang ia beli tadi pun sudah tertata rapi di sana.
Ada beberapa kertas, bolpoint, pensil, penghapus, penggaris, dan alat tulis lainnya. Tidak lupa ada papan tulis dan juga laptop di sana.
Untungnya, meski jadi ibu rumah tangga. Selama ini Kiran masih memiliki uang pribadi. Yang ia simpan ke dalam deposito, tabungan, saham, dan lain sebagainya. Jadi ia tak kesulitan membeli barang-barang yang ia perlukan itu tanpa bantuan dari Angga.
“Akhirnya, selesai juga!” seru Kiran senang. Bi Mirna tersenyum, ikut senang melihat Kiran yang memilih tetap tertawa dan membangun diri dibandingkan menangis meratapi nasib.
“Makasih ya, Bi. Bibi bisa istirahat, Naina biar ada dalam satu ruangan sama saya,” ucap Kiran.
“Iya Bu. Ya udah, Bu Kiran semangat yaa. Nanti kalau butuh Bibi, panggil aja. Kalau misal Non Naina agak rewel, biar Bibi bantu kalau suster udah pulang,” kata Bi Marni.
Kiran memang memiliki Suster yang membantu menjaga Naina. Hanya saja, perawat itu tidak dua puluh empat jam di sana. Hanya dari pukul sembilan sampai pukul lima sore aja.
“Iya Bi, makasih yaa. Udah bantu dan semangatin saya.”
“Sama-sama Bu Kiran.”
Bi Marni pun pergi, tinggallah Kiran di ruangan itu bersama Naina. Dalam sekejap Kiran mulai larut dalam dunia yang dulu pernah ia tinggalkan. Ia sudah beberapa langkah di depan untuk tidak jatuh.

Bab 4

Angga keluar dari pintu kantor, langkahnya sedikit terburu menuju tempat parkir.

Sudah ada banyak sekali panggilan tak terjawab dari Melati. Ia harus segera sampai ke tempat yang dijanjikan jika tak mau gadis itu semakin merajuk nantinya.

Gesit sekali Angga mengemudikan mobil, kendaraan roda empat yang dikendarainya itu kini telah meninggal area parkir kantornya. Berjalan cepat menuju sebuah halte yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor.

Angga menekan klakson, seorang gadis turun dari kursi halte untuk kemudian masuk ke dalam mobil Angga.

“Maaf ya Sayang, kerjaan di kantor tadi banyak banget. Jadi agak telat deh, jemput kamunya,” ucap Angga. Sebagai antisipasi ia sengaja minta maaf lebih dulu. Agar kalau Melati ngambek, nggak akan semakin parah.

“Nggak apa-apa, Mas. Lagian aku kan juga ngerti lah, gimana sibuknya kamu di kantor. Makasih ya, udah tepatin janji untuk jalan-jalan malam ini,” kata Melati. Gadis cantik nan masih muda itu mendaratkan kecupan singkat di sudut bibir Angga.

Angga tersenyum, ada sesuatu yang berdenyut di hatinya. Kecupan singkat yang Melati berikan mengalirkan sesuatu dalam dirinya.

“Makasih ya Sayang, kamu dah ngertiin Mas. Sekarang, kamu mau kita jalan-jalan ke mana Sayang?” tanya Angga. Dibelainya lembut rambut Melati.

“Mau makan seafood sih Mas. Aku pengen … banget. Kalau nggak salah di deket sini ada restoran seafood yang rekomended banget loh Mas,” ujar Melati. Menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Angga.

“Oh ya, di mana?”

“Bentar, aku buka maps dulu yaa.”

Sesuai yang Melati gambarkan, restoran seafood yang kini mereka kunjungi memang sangat ramai.

Beruntung masih ada kursi kosong yang baru saja ditinggal oleh pengunjung, hingga mereka pun bisa duduk di sana.

Melati memesan cukup banyak menu, sementara Angga hanya menurut. Apapun yang Melati inginkan, ia akan memberikannya.

Ditengah kesibukan makan seafood, handphone Angga berdering nyaring. Ia melirik nama siapa yang tertera di layar. Begitu ia tau itu adalah telepon dari Kiran. Ia pun mengabaikannya.

“Ada telepon, Mas. Kenapa nggak diangkat?” tanya Melati penasaran.

“Nggak penting Sayang. Udah, kamu lanjut aja makannya,” ucap Angga.

“Oke Mas,” jawab Melati riang. Dibalik senyum dan keceriaan Melati, gadis itu sesekali menatap dalam pria di depannya.

“Teleponnya tadi pasti dari Kirana. Hmm, bagus Mas. Kamu emang nggak usah lagi angkat telepon Kiran. Biar saja, biar dia terbiasa dengan ketidakhadiran kamu. Karena nantinya, toh kalian akan bercerai,” batin Melati. Seringai tipis terukir di bibirnya. Angga tak menyadari semua itu, karena ia sedang sibuk menyantap kerang bambu di depannya.

***

Kiran terlihat sangat cemas. Wanita cantik itu kini tengah berada di rumah sakit. Di depan pintu ruang pemeriksaan dia mondar-mandir seperti orang tak waras.

Naina, putri semata wayangnya tiba-tiba panas. Dia sudah menghubungi suaminya tapi tak diangkat. Jadilah dia berangkat sendiri ke rumah sakit dengan ditemani oleh Bi Marni.

“Yang tenang, Bu. Bu Kiran harus tenang, kalau Bu Kiran panik seperti ini. Bu Kiran nggak akan bisa berpikir dengan jernih. Non Naina pasti baik-baik saja, dia anak yang kuat,” kata Bi Marni mencoba menenangkan Kiran yang sejak tadi terus mondar-mandir sambil sesekali menggigit ujung jempolnya.

Panik, ia takut terjadi sesuatu pada Naina. Setelah kepergian Angga nanti, hanya Naina yang dia punya sebagai harta paling berharga.

“Bagaimana Dokter?” tanya Kiran begitu dokter yang memeriksa Naina sudah keluar.

“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Naina hanya panas biasa, dia hanya perlu istirahat yang cukup saja. Malam ini juga sudah boleh pulang.” Jawaban Dokter sanggup melegakan hati Kiran.

Meski diijinkan untuk pulang, Kiran memilih menginap di rumah sakit. Dia membiarkan Naina dirawat di sana sampai esok pagi.

Sementara itu, Angga yang merasa gelisah memutuskan untuk pergi ke toilet.

“Aku ke toilet dulu ya Sayang,” pamitnya pada Melati.

“Iya Mas,” jawab Melati singkat. Tak lupa senyuman manis ia berikan pada Angga.

Pria itu pun pergi ke toilet. Seperginya Angga, Melati mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sambil melirik kanan kiri, ia memasukan sesuatu ke dalam minuman Angga.

Di toilet, Angga menghubungi Kiran. Menanyakan ada apa Kiran menghubunginya sampai berkali-kali.

[Naina sakit. Sekarang ada di rumah sakit.]

Begitu membaca balasan dari Kiran. Angga segera kembali, ia berniat mengajak Melati pulang dan menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk Naina.

“Kita pulang ya Sayang,” kata Angga. “Naina masuk rumah sakit. Mas harus ke sana sekarang,” ucap Angga.

“Iya Mas. Tapi, boleh nggak. Kalau pulangnya kita abisin makanan kita dulu?” tanya Melati manja.

“Emm, ya udah boleh.” Angga yang cemas pun memilih untuk tidak memakan apapun. Dia biarkan Melati memakan semuanya. Sementara dirinya hanya menghabiskan minumannya saja.

“Kena kau Angga, setelah malam ini. Kamu akan jadi milikku sepenuhnya,” ucap Melati dalam hati. “Kamu nggak akan bisa lari kemanapun,” lanjutnya.

Bab 5

Angga terbangun di dalam kamar yang tidak dia kenal. Di sampingnya ada Melati yang masih terlelap.

Pria itu mengucek matanya berkali-kali, meyakinkan bahwa pandangannya tidak salah.

“Sayang, kita ada di mana?” tanyanya sambil menggoncang tubuh Melati pelan.

“Mmggh!” Gadis itu hanya melenguh pelan. Matanya juga masih tertutup rapat.

“Sayang ….” Angga kembali menggoncang tubuh Melati. Setelah berkali-kali, akhirnya Melati membuka matanya.

“Aaaa!” pekiknya menyadari ia tak memakai sehelai benang pun.

“Sayang?” Angga mengerutkan keningnya. Menarik selimut untuk menutupi tubuh Melati.

Tatapannya berpindah pada tubuhnya sendiri. Ternyata ia juga sama saja seperti Melati. Tak memakai apapun di tubuhnya.

Matanya kini menatap sekeliling ruangan, pakaian yang mereka pakai semalam berserakan di lantai.

“Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa kita ada di sini?” tanya Angga bingung.

“Mas, kamu beneran nggak inget?” tanya Melati. Mata gadis itu berkaca-kaca. Melihat itu Angga semakin bingung. Karena seingatnya semalam, ia sedang makan seafood bersama Melati.

“Naina,” gumam Angga. Pria itu segera bangkit dan memakai semua pakaiannya.

“Mau ke mana Mas?” tanya Melati. Ia mengikuti Angga dan memakai pakaiannya juga.

“Sayang, kita obrolin ini nanti ya. Sekarang, Mas mau ke rumah sakit dulu. Oke?” Angga mengusap kepala Melati. Meninggalkan kecupan singkat di kening gadis itu kemudian beranjak pergi dari sana.

Melati tak menjawab, ia terdiam sembari menatap kepergian Angga. Begitu punggung pria itu telah pergi, ia memilih untuk kembali merebahkan dirinya di atas kasur.

“Uhh, masih ngantuk banget lagi. Apa hari ini aku nggak usah kerja aja yaa. Capekk ….” keluhnya. Tak lama setelah ia mengeluh matanya kembali terpejam. Ia kembali terlelap dalam buaian mimpi.

***

Jalanan sangat padat, Angga harus terjebak macet saat melakukan perjalanan menuju rumah sakit.

Sejak tadi ia menghubungi nomor Kiran, tapi nomor istrinya itu tidak bisa dihubungi. Hal itu membuat Angga sangat kesal.

“Benar-benar istri yang nggak bisa diandalkan,” gerutunya.

“Awas aja nanti kalau ketemu, akan aku beri pelajaran dia,” lanjut lagi. Wajahnya merah padam karena marah.

Setelah perjuangan yang cukup panjang melawan macet, akhirnya Angga sampai juga di rumah sakit. Pria itu langsung menuju ke kamar yang dikirimkan istrinya semalam.

Sesampainya di sana, ia tak menemukan apapun selain brankar kosong. Panik Angga berlari menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan kamarnya.

“Pagi, Mbak. Ada pasien atas nama Naina?” tanya Angga. “Tadinya dirawat di kamar mawar nomor 30,” lanjutnya.

“Sebentar ya Pak, saya cek dulu.”

“Oke.”

“Maaf Pak, pasien atas nama Naina sudah dibawa pulang sama keluarganya setengah jam yang lalu,” jelas gadis yang duduk di balik meja resepsionis.

“Pulang?”

“Iya Pak betul,” jawab gadis itu lagi.

“Oh ya udah, terima kasih ya Mbak.”

“Sama-sama Pak.”

Angga berjalan cepat meninggalkan rumah sakit. Amara di dadanya semakin meluap kala mengetahui Naina sudah dibawa pulang. Tapi Kiran sama sekali tidak mengabarinya.

***

“Kiran!” teriaknya begitu sampai di rumah.

“Kiran!” teriaknya lagi. Kiran yang saat itu sedang menyiapkan sarapan untuk Naina pun kaget dan bergegas berjalan menuju arah suara.

“Ada apa Mas? Pulang-pulang udah teriak-teriak?” tanya Kiran. Ada rasa kesal di hatinya, kadana khawatir Naina akan terbangun gara-gara suara keras suaminya itu.

“Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau Naina udah dibawa pulang? Tau gitu aku nggak pergi ke rumah sakit tadi,” kata Angga berang. Pria itu membanting tas kerjanya ke atas sofa.

“Aku pikir kamu di rumah Mas. Karena kalau mau ke rumah sakit itu harusnya tadi malam Mas. Lagipula HPku juga mati, jadi aku nggak bisa kasih kabar,” jawab Kiran. Wanita itu berbalik dan berjalan menuju dapur.

“Mau ke mana kamu Kirana? Aku belum selesai ngomong ya,” ucap Angga.

“Udahlah Mas, aku sibuk. Yang penting sekarang kamu udah tau kan. Kalau Naina udah pulang, dan sekarang aku mau buatin sarapan untuk dia,” jawab Kiran.

“Aku belum selesai ngomong, nggak sopan kamu ya. Main nyelonong pergi gitu aja disaat suami lagi ngomong?”

“Maaf Mas, aku capek. Kamu juga pasti capek kan, nggak pulang semalaman. Kamu istirahat aja Mas. Jangan teriak-teriak, nanti Naina kebangun,” ucap Kirana. Wanita itu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mengabaikan Angga yang masih sangat kesal padanya.

“Makin hari makin menyebalkan saja si Kiran ini. Lebih baik aku siap-siap pergi ke kantor saja,” kata Angga. Ia pun bergegas pergi juga dari sana. Tidak peduli pada putrinya, juga istrinya.

Tanpa Angga sadari, Kiran yang belum benar-benar pergi dari sana mendengar semua yang keluar dari mulutnya.

“Semenyebalkan itukah aku di matamu, Mas? Sampai-sampai ….” Kiran tak melanjutkan ucapannya. Wanita itu memilih untuk menelan perasaan pahit yang dia rasakan.

3 Tanggapan

  1. I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Esana Gulpinar

Bab 1

“Jangan sentuh HP-ku! Sudah berapa kali aku bilang, setiap orang selalu punya ruang privasi. Dan HP adalah salah satunya, hanya karena kamu adalah istriku. Bukan berarti kamu bisa nyentuh dan buka HP-ku dengan bebas!! Paham?!” bentaknya suatu ketika.

Aku yang sedang mengangkat HP-nya dari atas bantal pun seketika langsung meletakkannya kembali.

“Ada apa, Mas? Kenapa kamu semarah itu? Nggak biasanya kamu marah-marah hanya karena aku nyentuh HP kamu, lagian aku pegang HP kamu tadi itu hanya untuk memindahkannya ke laci saja,” ucapku membela diri. Selama menikah, tak sekalipun aku penasaran dengan apa isi HP miliknya. Bagiku, selama ia bersikap baik dan bertanggungjawab, rasanya tak pantas jika aku masih curiga dan sibuk memeriksa HPnya.

Tapi, kemarahannya kali ini justru memantik rasa curigaku. Ada apa sebenarnya di HP itu? Sampai-sampai ia begitu marah hanya karena aku tak sengaja menyentuhnya saat ingin merapikan tempat tidur.

“Nggak ada apa-apa, sekedar mengingatkan. Barangkali kamu lupa, di mana batas ruang pribadi di antara kita,” jawabnya. Mengambil HP kemudian pergi meninggalkanku di kamar.

Wanita cenderung lebih gampang peka jika ada sedikit saja perubahan dari pasangannya. Itu juga yang aku rasakan saat ini, selama ini aku memang tak pernah membuka HPnya jadi rasanya sangat aneh jika ia tiba-tiba memintaku untuk tidak membuka HPnya. Seperti, ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan dari sana.

Aku tak menghiraukannya lagi, kulanjutkan aksi beres-beres dan menganggap mungkin Mas Angga hanya sedang banyak pikiran saja. Mungkin, ada masalah di pekerjaan yang ia simpan di HP itu dan tidak ingin membuatku terbebani, jika sampai aku tak sengaja membukanya.

Berpikir positif, itulah yang aku gunakan untuk mendamaikan hatiku.

***

“Makanan apa sih ini, Dek? Mas kan nggak suka kalau ada menu tempe dan tahu ada di atas meja yang sama. Kalau tempe ya tempe aja, kalau tahu ya tahu aja!” serunya. Membanting sendok di atas piring yang menimbulkan bunyi tak enak di telinga.

“Ada apa, Mas? Aku masak sayur bening, sama sambal terasi. Jadi enak kan kalau ada tempe dan tahu goreng? Pas banget sama menunya, cocok buat sarapan,” jawabku. Namun, reaksi tak terduga justru diberikannya.

“Berapa kali harus aku bilang sama kamu, kalau jangan pernah ada tempe dan tahu di saat bersamaan. Bisa kan, tempe aja. Terus sama ayam goreng kek, ikan goreng kek, atau apa kek. Asal jangan tahu. Atau bisa kan, tahu goreng sama ikan atau ayam goreng?! Bod*h banget kamu jadi istri. Kayak gitu aja mesti diajarin terus-menerus!” Mas Angga mengambil piring miliknya, kemudian melemparnya ke dinding. Pecahan piring berserakan, meski pecahannya tidak mengenai siapapun tapi suara itu membuat Naina yang tadinya tidur jadi terbangun dan menangis kencang.

“Ada apa, Mas? Apa salahnya makan tempe sama tahu barengan? Nggak ada aturannya kan, harus tempe aja atau tahu aja. Lagian di sini juga ada ikan sama ayam goreng. Kenapa harus dibesar-besarkan sih Mas? Kalau Mas nggak suka, aku bisa sembunyiin salah satunya. Nggak perlu kamu sampai banting-banting piring kayak gitu. Naina sampai bangun dan nangis gara-gara kamu,” ucapku kesal. Sudah lelah sepagian ini aku berkutat dengan urusan rumah tangga. Aku bahkan belum sempat memandikan Naina.

“Mas nggak akan kayak gini, kalau kamu becus ngurus rumah! Udah, mau ke kantor. Malam ini mau lembur aja. Nggak usah nunggu Mas pulang. Kamu fokus aja belajar jadi istri yang baik, dan jadi perempuan yang bisa diandalkan di rumahnya,” ucap Mas Angga kemudian berlalu pergi.

Aku menatap sekilas kepergiannya dengan mata berkaca. Bergegas aku melangkah untuk menggendong Naina, kutimang dan ketenangan. Tangis gadis kecil itu perlahan mereda.

“Mas Angga, ternyata tak hanya tentang HP saja kamu berubah. Kamu sekarang menjelma jadi sosok yang aku nggak tau. Ada apa dibalik perubahanmu yang terlalu jelas ini? Apakah ada hati lain yang singgah dalam hidupmu, hinggap kau pun berubah begitu kasar padaku?” tanyaku dalam hati. Bersamaan dengan setetes bulir bening jatuh di pipi.

Bab 2

“Bod*h banget jadi istri, kayak gitu aja harus banget diajarin terus!” ucapan Angga masih terus terngiang di telinga Kiran.
Wanita itu tampak memasuki kamarnya, dengan air mata yang masih berlinang di sana. Sesekali ia menimang putrinya agar berhenti menangis.
Deru mobil terdengar di luar, Kiran menyaksikan kepergian suaminya dari jendela lantai atas yang ada di kamarnya. Di gendongannya ada Naina yang sudah mulai tenang dari tangis.
Ada sesak di hatinya ketika menyadari suaminya telah berubah, haruskah ia mencari tahu apa sebab suaminya berubah sangat kasar?
***
Siang ini, Kiran tidak memasak. Rasa sesak yang diberikan Angga pagi tadi belum juga hilang, itu membuatnya malas melakukan apapun. Hingga, ia pun membiarkan pembantu di rumah itu yang menyiapkan makan siang dan juga makan malam nanti.
“Bu, mau makan apa siang ini?” tanya Bi Marni lembut kala wanita itu menghampiri Kiran di kamarnya.
“Saya mau makan soup ayam aja Bi. Yang biasa Bibi bikinin tuh, Kiran suka banget,” jawab Kiran. Ia mencoba tetap ramah dan tersenyum meski hatinya saat ini berantakan melebihi kapal pecah.
“Baik Bu Kiran, Bibi siapkan makanannya sekarang yaa. Nanti kalau udah matang, mau makan di meja makan atau diantar ke kamar?” tanya Bi Mirna sopan.
“Minta tolong diantar ke kamar aja ya, Bi. Saya lagi males banget mau turun,” jawab Kiran sama sopannya.
“Baik Bu,” ucap Bi Mirna. Wanita itu pamit undur diri untuk pergi ke dapur dan menyiapkan makan siang untuk Kiran.
Seperginya Bi Mirna dari kamarnya, Kirana kembali melamun. Entah kenapa makian dan cacian yang Angga berikan tak pergi dari kepalanya meski ia sudah berkali-kali mengenyahkan dan mencoba untuk melupakannya.
Tapi, bukannya hilang. Ia justru semakin dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat batinnya semakin gelisah.
Apa sebabnya Angga menjadi galak? Apakah dia melakukan kesalahan? Apakah suaminya itu sedang banyak masalah? Atau … yang paling buruk adalah. Apakah suaminya sudah tersihir oleh bunga lain di luar sana?
Pikiran-pikiran itulah yang membuatnya tidak bersemangat menjalani hari-harinya. Kiran menatap Naina yang saat ini sedang bermain di ranjang. Gadis kecil itu sudah kembali ceria, anak sekecil Naina tak akan mengerti apa masalah yang saat ini mendera kedua orangtuanya. Jikapun tadi dia menangis, itu mungkin hanya karena rasa terkejut saja.
Entah berapa lama Kiran melamun, pintu kamarnya kembali diketuk dari luar. Bisa dipastikan itu adalah Bi Mirna.
“Masuk Bi, pintunya nggak dikunci,” kata Kiran. Bi Mirna pun masuk dengan membawa nampan berisi soup ayam yang Kiran inginkan.
Sesuai permintaan Kiran, Bi Marni meletakkannya di atas meja kecil yang terletak di samping kasur Kiran.
“Bu, nanti malam mau masak sendiri atau Bibi aja yang masak?” tanya Bi Marni sebelum pergi.
“Bibi aja ya, saya masih malas banget untuk masak,” jawab Kiran. Ia memang merasa malas untuk masak, terlebih setelah cacian suaminya pagi tadi. Baginya itu sangat tidak masuk akal.
“Baik Bu, nanti malam mau dimasakin apa untuk menu makan malam?” tanya Bi Marni. Ia paham apa yang majikannya itu rasakan. Karena pagi tadi, ia tentu mendengar dengan jelas apa yang terjadi di meja makan.
“Apapun Bi, yang penting jangan ada tahu dan tempe di atas meja secara bersamaan. Kalau mau masak tempe, jangan masak tahu. Kalau mau masak tahu, jangan masak tempe. Mas Angga nggak suka,” jawab Kirana. Bi Mirna hanya mengangguk kemudian pamit pergi.
Kiran menatap tak selera pada makanan yang tersaji di atas meja. Hanya tatapan kosong yang ia berikan saat melihat asap mengepul di atas mangkuk soup ayam.
“Aku nggak bisa kayak gini,” bisiknya kemudian. “Aku nggak boleh lemah seperti ini. Hanya dibentak sekali saja, masak aku harus kayak gini? Mas Angga nggak boleh lihat aku lemah, hingga dia bisa saja berlaku semakin semena-mena nantinya,” lanjutnya.
“Maaf Mas, aku tak akan membiarkanmu berlaku semena-mena terhadapku. Dan kamu juga tidak bisa dengan bebas meninggikan suaramu terhadapku. Aku istrimu, bukan babumu.”

Bab 3

“Aku akan temukan apa sebabnya kamu berubah, Mas,” ucap Kiran.
Wanita masuk ke dalam ruang cuci, ia harus mencuci pakaian sebelum ia mengambil waktu untuk dirinya sendiri.
Ada beberapa pasang pakaian milik suaminya, miliknya, juga milik Naina. Dengan tangan cekatan, Kiran memasukkan semua pakaian ke dalam mesin cuci. Sebelumnya ia memeriksa saku yang ada di pakaian. Terutama milik suaminya, karena seringkali ada saja barang yang tertinggal di sana.
Dan benar saja, Kiran menemukan beberapa lembar uang merah juga selembar kertas putih.
Pandangan Kiran tertuju pada secarik kertas putih itu. Dan benar saja, saat ia melihatnya. Itu adalah sebuah struk pembelian tas bermerk. Untuk sesaat tubuhnya bergetar, pikiran buruk itu kembali mendekati. Akankah dugaannya benar? Suaminya …
… pada siapa Angga memberikan tas mahal itu?
***
Kiran telah menyelesaikan aktivitas hariannya. Kini, di waktu senggang yang biasa dia gunakan untuk rebahan atau bermain dengan Naina ia gunakan untuk menekuni hobinya yang dulu.
Itu ia lakukan, agar saat ia akhirnya tau kenyataan jika suaminya mendua. Ia punya tempat kuat untuk berpijak. Yakni, dunianya sendiri.
Kirana masuk ke dalam sebuah ruang kosong yang ada di rumahnya. Itu adalah ruangan yang dulu menjadi tempatnya bekerja. Namun kini kosong dan tidak digunakan karena Angga memintanya berhenti dan fokus pada tumbuh kembang Naina saja.
Namun kini, ketika ia merasa suaminya telah berubah, dan mungkin cintanya juga sudah banyak terkikis. Hal normal jika ia merasa terancam. Dan Kiran, tak ingin ia hancur lebur saat hal itu terjadi. Jadi ia harus membangun kembali pondasinya yang dulu ia tinggalkan untuk membangun pondasi di dunia suaminya.
Saat sedang sibuk mengamati ruangan penuh debu itu, bel rumah berbunyi. Kiran tau siapa yang datang, dia adalah kurir yang mengantar pesanannya.
“Permisi, apa benar ini rumah Ibu Kirana Shabila?” tanya seorang pria muda yang sedang membawa kotak yang lumayan besar.
“Benar, dengan saya sendiri. Ini dari toko Mega ya?” tanya Kiran kemudian.
“Benar Bu, ini pesanannya mau ditaruh di mana?”
“Bisa bantu taruh di depan ruangan saya?”
“Bisa Bu, di mana ruangannya?”
“Mari ikut saya.” Kiran berjalan lebih dulu, sementara pria tampan berpakaian sangat rapih itu mengekor di belakang.
Kiran meminta kurir itu meletakkan barang-barangnya di depan ruangan kosong yang sebentar lagi akan dia bersihkan.
“Baik, yak taruh situ aja. Makasih ya,” ucap Kiran. Pria itu hanya mengangguk kemudian pamit pergi.
Ketika pria kurir itu berbalik dan pergi, Kiran mencium aroma yang tak asing baginya. Tapi, dia tidak tau dimana dia pernah mencium aroma itu sebelumnya.
Misinya yang ingin segera membersihkan ruangan itu, membuatnya mengabaikan aroma tak asing itu.
Dengan dibantu Bi Mirna, ruangan Kirana akhirnya bersih juga. Beberapa barang yang ia beli tadi pun sudah tertata rapi di sana.
Ada beberapa kertas, bolpoint, pensil, penghapus, penggaris, dan alat tulis lainnya. Tidak lupa ada papan tulis dan juga laptop di sana.
Untungnya, meski jadi ibu rumah tangga. Selama ini Kiran masih memiliki uang pribadi. Yang ia simpan ke dalam deposito, tabungan, saham, dan lain sebagainya. Jadi ia tak kesulitan membeli barang-barang yang ia perlukan itu tanpa bantuan dari Angga.
“Akhirnya, selesai juga!” seru Kiran senang. Bi Mirna tersenyum, ikut senang melihat Kiran yang memilih tetap tertawa dan membangun diri dibandingkan menangis meratapi nasib.
“Makasih ya, Bi. Bibi bisa istirahat, Naina biar ada dalam satu ruangan sama saya,” ucap Kiran.
“Iya Bu. Ya udah, Bu Kiran semangat yaa. Nanti kalau butuh Bibi, panggil aja. Kalau misal Non Naina agak rewel, biar Bibi bantu kalau suster udah pulang,” kata Bi Marni.
Kiran memang memiliki Suster yang membantu menjaga Naina. Hanya saja, perawat itu tidak dua puluh empat jam di sana. Hanya dari pukul sembilan sampai pukul lima sore aja.
“Iya Bi, makasih yaa. Udah bantu dan semangatin saya.”
“Sama-sama Bu Kiran.”
Bi Marni pun pergi, tinggallah Kiran di ruangan itu bersama Naina. Dalam sekejap Kiran mulai larut dalam dunia yang dulu pernah ia tinggalkan. Ia sudah beberapa langkah di depan untuk tidak jatuh.

Bab 4

Angga keluar dari pintu kantor, langkahnya sedikit terburu menuju tempat parkir.

Sudah ada banyak sekali panggilan tak terjawab dari Melati. Ia harus segera sampai ke tempat yang dijanjikan jika tak mau gadis itu semakin merajuk nantinya.

Gesit sekali Angga mengemudikan mobil, kendaraan roda empat yang dikendarainya itu kini telah meninggal area parkir kantornya. Berjalan cepat menuju sebuah halte yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor.

Angga menekan klakson, seorang gadis turun dari kursi halte untuk kemudian masuk ke dalam mobil Angga.

“Maaf ya Sayang, kerjaan di kantor tadi banyak banget. Jadi agak telat deh, jemput kamunya,” ucap Angga. Sebagai antisipasi ia sengaja minta maaf lebih dulu. Agar kalau Melati ngambek, nggak akan semakin parah.

“Nggak apa-apa, Mas. Lagian aku kan juga ngerti lah, gimana sibuknya kamu di kantor. Makasih ya, udah tepatin janji untuk jalan-jalan malam ini,” kata Melati. Gadis cantik nan masih muda itu mendaratkan kecupan singkat di sudut bibir Angga.

Angga tersenyum, ada sesuatu yang berdenyut di hatinya. Kecupan singkat yang Melati berikan mengalirkan sesuatu dalam dirinya.

“Makasih ya Sayang, kamu dah ngertiin Mas. Sekarang, kamu mau kita jalan-jalan ke mana Sayang?” tanya Angga. Dibelainya lembut rambut Melati.

“Mau makan seafood sih Mas. Aku pengen … banget. Kalau nggak salah di deket sini ada restoran seafood yang rekomended banget loh Mas,” ujar Melati. Menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Angga.

“Oh ya, di mana?”

“Bentar, aku buka maps dulu yaa.”

Sesuai yang Melati gambarkan, restoran seafood yang kini mereka kunjungi memang sangat ramai.

Beruntung masih ada kursi kosong yang baru saja ditinggal oleh pengunjung, hingga mereka pun bisa duduk di sana.

Melati memesan cukup banyak menu, sementara Angga hanya menurut. Apapun yang Melati inginkan, ia akan memberikannya.

Ditengah kesibukan makan seafood, handphone Angga berdering nyaring. Ia melirik nama siapa yang tertera di layar. Begitu ia tau itu adalah telepon dari Kiran. Ia pun mengabaikannya.

“Ada telepon, Mas. Kenapa nggak diangkat?” tanya Melati penasaran.

“Nggak penting Sayang. Udah, kamu lanjut aja makannya,” ucap Angga.

“Oke Mas,” jawab Melati riang. Dibalik senyum dan keceriaan Melati, gadis itu sesekali menatap dalam pria di depannya.

“Teleponnya tadi pasti dari Kirana. Hmm, bagus Mas. Kamu emang nggak usah lagi angkat telepon Kiran. Biar saja, biar dia terbiasa dengan ketidakhadiran kamu. Karena nantinya, toh kalian akan bercerai,” batin Melati. Seringai tipis terukir di bibirnya. Angga tak menyadari semua itu, karena ia sedang sibuk menyantap kerang bambu di depannya.

***

Kiran terlihat sangat cemas. Wanita cantik itu kini tengah berada di rumah sakit. Di depan pintu ruang pemeriksaan dia mondar-mandir seperti orang tak waras.

Naina, putri semata wayangnya tiba-tiba panas. Dia sudah menghubungi suaminya tapi tak diangkat. Jadilah dia berangkat sendiri ke rumah sakit dengan ditemani oleh Bi Marni.

“Yang tenang, Bu. Bu Kiran harus tenang, kalau Bu Kiran panik seperti ini. Bu Kiran nggak akan bisa berpikir dengan jernih. Non Naina pasti baik-baik saja, dia anak yang kuat,” kata Bi Marni mencoba menenangkan Kiran yang sejak tadi terus mondar-mandir sambil sesekali menggigit ujung jempolnya.

Panik, ia takut terjadi sesuatu pada Naina. Setelah kepergian Angga nanti, hanya Naina yang dia punya sebagai harta paling berharga.

“Bagaimana Dokter?” tanya Kiran begitu dokter yang memeriksa Naina sudah keluar.

“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Naina hanya panas biasa, dia hanya perlu istirahat yang cukup saja. Malam ini juga sudah boleh pulang.” Jawaban Dokter sanggup melegakan hati Kiran.

Meski diijinkan untuk pulang, Kiran memilih menginap di rumah sakit. Dia membiarkan Naina dirawat di sana sampai esok pagi.

Sementara itu, Angga yang merasa gelisah memutuskan untuk pergi ke toilet.

“Aku ke toilet dulu ya Sayang,” pamitnya pada Melati.

“Iya Mas,” jawab Melati singkat. Tak lupa senyuman manis ia berikan pada Angga.

Pria itu pun pergi ke toilet. Seperginya Angga, Melati mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sambil melirik kanan kiri, ia memasukan sesuatu ke dalam minuman Angga.

Di toilet, Angga menghubungi Kiran. Menanyakan ada apa Kiran menghubunginya sampai berkali-kali.

[Naina sakit. Sekarang ada di rumah sakit.]

Begitu membaca balasan dari Kiran. Angga segera kembali, ia berniat mengajak Melati pulang dan menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk Naina.

“Kita pulang ya Sayang,” kata Angga. “Naina masuk rumah sakit. Mas harus ke sana sekarang,” ucap Angga.

“Iya Mas. Tapi, boleh nggak. Kalau pulangnya kita abisin makanan kita dulu?” tanya Melati manja.

“Emm, ya udah boleh.” Angga yang cemas pun memilih untuk tidak memakan apapun. Dia biarkan Melati memakan semuanya. Sementara dirinya hanya menghabiskan minumannya saja.

“Kena kau Angga, setelah malam ini. Kamu akan jadi milikku sepenuhnya,” ucap Melati dalam hati. “Kamu nggak akan bisa lari kemanapun,” lanjutnya.

Bab 5

Angga terbangun di dalam kamar yang tidak dia kenal. Di sampingnya ada Melati yang masih terlelap.

Pria itu mengucek matanya berkali-kali, meyakinkan bahwa pandangannya tidak salah.

“Sayang, kita ada di mana?” tanyanya sambil menggoncang tubuh Melati pelan.

“Mmggh!” Gadis itu hanya melenguh pelan. Matanya juga masih tertutup rapat.

“Sayang ….” Angga kembali menggoncang tubuh Melati. Setelah berkali-kali, akhirnya Melati membuka matanya.

“Aaaa!” pekiknya menyadari ia tak memakai sehelai benang pun.

“Sayang?” Angga mengerutkan keningnya. Menarik selimut untuk menutupi tubuh Melati.

Tatapannya berpindah pada tubuhnya sendiri. Ternyata ia juga sama saja seperti Melati. Tak memakai apapun di tubuhnya.

Matanya kini menatap sekeliling ruangan, pakaian yang mereka pakai semalam berserakan di lantai.

“Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa kita ada di sini?” tanya Angga bingung.

“Mas, kamu beneran nggak inget?” tanya Melati. Mata gadis itu berkaca-kaca. Melihat itu Angga semakin bingung. Karena seingatnya semalam, ia sedang makan seafood bersama Melati.

“Naina,” gumam Angga. Pria itu segera bangkit dan memakai semua pakaiannya.

“Mau ke mana Mas?” tanya Melati. Ia mengikuti Angga dan memakai pakaiannya juga.

“Sayang, kita obrolin ini nanti ya. Sekarang, Mas mau ke rumah sakit dulu. Oke?” Angga mengusap kepala Melati. Meninggalkan kecupan singkat di kening gadis itu kemudian beranjak pergi dari sana.

Melati tak menjawab, ia terdiam sembari menatap kepergian Angga. Begitu punggung pria itu telah pergi, ia memilih untuk kembali merebahkan dirinya di atas kasur.

“Uhh, masih ngantuk banget lagi. Apa hari ini aku nggak usah kerja aja yaa. Capekk ….” keluhnya. Tak lama setelah ia mengeluh matanya kembali terpejam. Ia kembali terlelap dalam buaian mimpi.

***

Jalanan sangat padat, Angga harus terjebak macet saat melakukan perjalanan menuju rumah sakit.

Sejak tadi ia menghubungi nomor Kiran, tapi nomor istrinya itu tidak bisa dihubungi. Hal itu membuat Angga sangat kesal.

“Benar-benar istri yang nggak bisa diandalkan,” gerutunya.

“Awas aja nanti kalau ketemu, akan aku beri pelajaran dia,” lanjut lagi. Wajahnya merah padam karena marah.

Setelah perjuangan yang cukup panjang melawan macet, akhirnya Angga sampai juga di rumah sakit. Pria itu langsung menuju ke kamar yang dikirimkan istrinya semalam.

Sesampainya di sana, ia tak menemukan apapun selain brankar kosong. Panik Angga berlari menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan kamarnya.

“Pagi, Mbak. Ada pasien atas nama Naina?” tanya Angga. “Tadinya dirawat di kamar mawar nomor 30,” lanjutnya.

“Sebentar ya Pak, saya cek dulu.”

“Oke.”

“Maaf Pak, pasien atas nama Naina sudah dibawa pulang sama keluarganya setengah jam yang lalu,” jelas gadis yang duduk di balik meja resepsionis.

“Pulang?”

“Iya Pak betul,” jawab gadis itu lagi.

“Oh ya udah, terima kasih ya Mbak.”

“Sama-sama Pak.”

Angga berjalan cepat meninggalkan rumah sakit. Amara di dadanya semakin meluap kala mengetahui Naina sudah dibawa pulang. Tapi Kiran sama sekali tidak mengabarinya.

***

“Kiran!” teriaknya begitu sampai di rumah.

“Kiran!” teriaknya lagi. Kiran yang saat itu sedang menyiapkan sarapan untuk Naina pun kaget dan bergegas berjalan menuju arah suara.

“Ada apa Mas? Pulang-pulang udah teriak-teriak?” tanya Kiran. Ada rasa kesal di hatinya, kadana khawatir Naina akan terbangun gara-gara suara keras suaminya itu.

“Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau Naina udah dibawa pulang? Tau gitu aku nggak pergi ke rumah sakit tadi,” kata Angga berang. Pria itu membanting tas kerjanya ke atas sofa.

“Aku pikir kamu di rumah Mas. Karena kalau mau ke rumah sakit itu harusnya tadi malam Mas. Lagipula HPku juga mati, jadi aku nggak bisa kasih kabar,” jawab Kiran. Wanita itu berbalik dan berjalan menuju dapur.

“Mau ke mana kamu Kirana? Aku belum selesai ngomong ya,” ucap Angga.

“Udahlah Mas, aku sibuk. Yang penting sekarang kamu udah tau kan. Kalau Naina udah pulang, dan sekarang aku mau buatin sarapan untuk dia,” jawab Kiran.

“Aku belum selesai ngomong, nggak sopan kamu ya. Main nyelonong pergi gitu aja disaat suami lagi ngomong?”

“Maaf Mas, aku capek. Kamu juga pasti capek kan, nggak pulang semalaman. Kamu istirahat aja Mas. Jangan teriak-teriak, nanti Naina kebangun,” ucap Kirana. Wanita itu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mengabaikan Angga yang masih sangat kesal padanya.

“Makin hari makin menyebalkan saja si Kiran ini. Lebih baik aku siap-siap pergi ke kantor saja,” kata Angga. Ia pun bergegas pergi juga dari sana. Tidak peduli pada putrinya, juga istrinya.

Tanpa Angga sadari, Kiran yang belum benar-benar pergi dari sana mendengar semua yang keluar dari mulutnya.

“Semenyebalkan itukah aku di matamu, Mas? Sampai-sampai ….” Kiran tak melanjutkan ucapannya. Wanita itu memilih untuk menelan perasaan pahit yang dia rasakan.

Tertarik Dengan Buku : Chat Rahasia di E Wallet Suamiku ?

Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Chat Rahasia di E Wallet Suamiku

Esana Gulpinar