Bekas Lipstik

Esana Gulpinar
Sinopsis Delapan tahun pacaran dan tiga tahun menikah. Sebelas tahun sudah aku bersamanya. Ternyata kebersamaan selama itu tidak menjamin dia akan setia. Sedangkan diriku, bodoh sekali tidak mampu mengenalinya. Sepuluh tahu sudah menjadi waktu terbodoh yang aku jalani. Tapi tidak mulai sekarang. Yuhuuu! Follow dan Subscribe agar tidak ketinggalan bab terbaru dari cerita ini.

Bagikan Cerita ini :

BAB 1 : Noda Merah

“Hari ini masak apa Dik?” tanya Mas Arman yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Biasa Mas, aku masak nasi goreng kesukaanmu. Ngomong-ngomong, kamu kok keramas Mas? tadi malam kan, kita tidak ….” Tidak aku lanjutkan kata-kataku, karena Mas Arman tiba-tiba saja ….

“Kalau keramas enggak harus seperti itu dulu, kan?”

“Iya juga sih, Mas.” Aku menjawab sambil membenarkan lipstikku yang tadi sempat terhapus karenanya.

“Ya udah, makan yuk. Mas udah laper, nih.”

“Iya, Mas.”

Di meja makan kuamati wajah tampan suamiku. Ia tampak begitu menikmati masakan kesukaannya. Kami hanya makan berdua, karena memang belum memiliki momongan, dan tinggal terpisah dari orangtua kami.

“Mas berangkat dulu, ya. Takut telat.” Mas Arman melesat ke arah pintu.

“Iya Mas. Aku nggak di ini?”

“Maaf Dik. Mas buru-buru!” serunya sambil melambaikan tangan.

“T-tapi Mas!”

Deru mobil terdengar di telingaku. Aku mengernyit heran, saat kulirik jam di dinding, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Jarak antara rumah dengan kantor Mas Arman hanya memerlukan waktu satu jam, sedangkan Mas Arman akan bekerja pukul delapan. Lalu apa yang dilakukan Mas Arman selama satu jam?

“Mungkin, Mas Arman takut macet,” ucapku menepis bayangan buruk yang tiba-tiba datang.

Aku akan bereskan meja makan, tapi suara di luar pintu membuatku urung dan berjalan ke depan.

“Di mana Arman!” bentak wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.

“Mas Arman, baru saja berangkat.”

“Apa!”

“Iya, Bu.”

“Jam segini? Kamu ini istri macam apa? Pagi buta suami sudah diusir dari rumah. Mau nyuruh Arman kerja paksa kamu!” bentaknya kasar. Aku berulangkali menghela napas panjang demi meningkatkan kesabaran menghadapinya.

“Tadi Mas Arman bilang dia buru-buru, Bu. Jadi berangkat sepagi ini.”

“Alah! Alasan saja kamu!”

Aku diam. Menata hati yang hampir meledak. Sudah tiga tahun pernikahan ini aku jalani, wanita paruh baya yang tidak lain ibu mertuaku ini tidak pernah menerima keberadaanku.

“Minggir!” Ia menabrak tubuhku begitu saja.

Aku meringis, mengawasi dirinya yang pergi ke arah kulkas, tempat persediaan makanan kami disimpan.

“Arini, Arini!”

“Huffft.” Kuhembuskan napas lelah. Jujur aku bosan harus menghadapi drama ini setiap ia datang.

“Ada apa Bu?”

“Kulkas isinya hanya telur sama kecap. Kamu kasih makan apa anakku itu?”

“Itu hanya stok untuk sarapan saja, Bu. Karena Mas Arman selalu minta nasi goreng setiap sarapan. Siangnya Mas Arman makan di kantor. Saat malam ia akan membelikan makanan untuk kami berdua,” jelasku dengan sabar. Meski aku tahu penjelasan ini tidak akan berpengaruh penting untuk Ibu mertuaku ini.

“Arman bisa-bisa mati kalau hidup sama istri seperti kamu. Masak bisanya cuma nasi goreng. Makan siang dan malam njajan. Allahuakbar! Dia bisa bangkrut kalau begitu terus.”

“Maaf Bu. Tapi semua itu keinginan Mas Arman. Bukan keinginanku.”

“Halah! Ngeles saja kamu. Aku kasih tahu sama kamu Arini, lebih baik kamu tinggalkan Arman sekarang, daripada nanti kamu nyesel. Arman akan aku jodohkan dengan wanita pilihanku.”

“Aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Arman, Bu. Maaf, bagiku pernihakan adalah sesuatu yang sakral. Aku tidak akan pernah membiarkan biduk pernikahanku hancur.”

“Hah! Percaya diri sekali kamu, kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih benar mengenai Arman. Yang jelas, wanita rendahan seperti kamu, samasekali bukan selera Arman. Camkan itu baik-baik.”

Brugh!

‘Astaga, sudah tua tapi kuat sekali tenaganya.’ batinku sambil bangkit. Ibu dari Mas Arman itu pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

“Ya Allah, punya ibu mertua kok seperti jailangkung. Datang nggak diundang, pulangnya juga nggak diantar. Selalu saja tiba-tiba muncul, dan menghilang. Bikin jantungku meloncat-loncat saja.” Segera aku lanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena kedatangannya.

Sakit mendengar ucapannya. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Terkadang seseorang itu tidak akan bisa berubah, karena memang sudah karakternya seperti itu.

Selesai mencuci piring, aku bersiap mandi. Hari ini udara sedikit dingin, jadi aku memilih mandi setelah Mar Arman pergi bekerja.

“Astaga!” pekikku. Jorok sekali Mas Arman. Tidak biasanya dia seperti ini. Meninggalkan pakaian semalam di gantungan begitu saja, biasanya dia akan menaruhnya ke dalam keranjang pakaian kotor seperti yang sering aku instruksikan.

Meski sedikit kesal, aku tetap berpikir positif. Mungkin tadi malam dia sangat kelelahan, sehingga lupa menaruhnya ke dalam keranjang.

“Astagfirullah hal adzim!” Kali ini aku sungguh terkejut. Ada noda merah di kerah baju yang Mas Arman pakai kemarin.

“Noda apa ini? Seperti bekas lipstik.” Ingatanku berputar pada kejadian semalam, dan memang tidak terjadi apa-apa antara aku dengan Mas Arman. Seingatku aku juga tidak menciumnya, karena Mas Arman langsung masuk ke kamar mandi tanpa menyapaku.

Seingatku, aku juga tidak memiliki lipstik dengan warna merah terang yang terlalu mencolok seperti ini, lipstrik yang aku gunakan juga bukan yang meninggalkan bekas. Lipstik ini jelas lipstik murahan.

Lalu, bekas lipstik siapa ini?

Apa mungkin kalau Mas Arman ….

“Tidak!”

***

Bersambung ….

Bab 2 : Sesuatu Dalam Kantong

 

“Selamat malam Arini Sayang.”

“Malam, Mas,” jawabku sedikit ketus.

“Jutek banget. Ada apa?” tanyanya sambil menatapku lembut.

“Enggak.” Aku merajuk. Hatiku masih penuh dengan prasangka buruk terhadapnya.

“Sayang ….”

“Aku capek, Mas. Aku istirahat dulu ya,” ucapku sambil berjalan ke kamar.

Semalaman aku tidak berbicara padanya. Pagi ini pun aku tidak memasakkan nasi goreng kesukaannya. Hanya sepotong roti dan selai kacang yang aku hidangkan. Kupikir dia akan marah, tapi dugaanku salah. Ia memakan roti itu dengan sangat lahap. Seolah itu adalah makanan terenak yang pernah dia makan.

“Aku pergi dulu ya Arini! Terimakasih untuk kuenya, lezat sekali!” Teriakan di luar pintu membuatku tersadar dari lamunan.

Ternyata Mas Arman sudah selesai makan. Ia pergi bekerja dan … ini untuk kedua kalinya dia tidak mengecup keningku sebelum pergi.

“Mungkin dia lupa,” ujarku pada diri sendiri.

Sudah dua hari aku tidak mencuci baju, sepertinya sudah agak menumpuk. Jika aku biarkan dalam seminggu, aku pasti tidak akan sanggup mencucinya.

Noda lipstik kemarin kembali tertangkap oleh mataku. Aku menghela napas, kemudian memasukkannya ke dalam mesin cuci.

Bau parfum wanita tercium oleh indera penciumanku saat mengangkat kemeja yang dipakai Mas Arman semalam.

“Parfum Mas Arman Aneh banget. Ini seperti bukan bau parfum miliknya.”

“Uhuk uhuk!” Aku terbatuk ketika menempelkan hidungku di sana. Pusing juga aku rasakan, bau ini sangat menyengat, dan aku tidak menyukainya.

“Kondom?”

***

“Halo Sayang. Mas sudah pulang.”

“Iya Mas. Sini.” Kurentangkan kedua tangan untuk memeluknya.

“Uhuk-uhuk!”

“Sayang kamu kenapa?”

“Mas, kamu ganti parfum ya? Tapi kok nggak ada parfum yang baunya sama seperti ini di koleksi parfum kamu?” tanyaku curiga. Ini adalah bagian dari misiku setelah menemukan kond*m dan bekas lipstik di pakaian kerjanya.

“Oh, ini itu di tempat kerjaku ada seorang wanita yang kerjaannya semprot-semprot parfum begitu. Jadinya mas kena deh, mana baunya parah banget lagi.”

“Oh begitu. Ya udah mas istirahat gih.”

“Iya Arini, kamu sudah makan?”

“Sudah Mas. Kamu pasti juga sudah makan malam di luar, kan?”

“Hehe iya. Ya udah, Mas mandi dulu. Kamu istirahat saja duluan ya.”

“Oke kapten!” jawabku mengacungkan jempol mantap.

Seperti kemarin, malam ini tidak ada pembicaraan antara aku dan Mas Arman. Aku pura-pura tertidur saat ia menyapaku.

Mataku perih saat membuka mata. Baru beberapa jam saja aku terlelap, tapi harus terbangun karena suara berisik dari dalam kamar mandi.

“Nyari apa Mas?” tanyaku cepat. Tubuh Mas Arman berjengkit kaget.

“Eng … enggak. Tadi sabunnya jatuh.”

“Memangnya Mas mau mandi jam segini?” Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi.

“I-iya. Gerah banget.”

“Ya udah, ambil saja sabun di lemari.” Aku berkata sambil kembali tidur di ranjang.

Aku tahu apa yang dicari Mas Arman. Dia pasti sibuk mencari kond*m yang aku temukan.

‘Mas Arman, aku tidak akan membiarkanmu lepas jika dugaanku benar.’ batinku kembali memejamkan mata.

***

“Arini! Mas pergi dulu ya!”

Suara itu kembali aku dengar, dan ini adalah untuk ketiga kalinya ia pergi tanpa mengecup keningku.

“Aku akan menangkapmu hari ini, mas,” ucapku meraih jaket tebal lengkap dengan topi yang baru saja aku beli kemarin. Aku yakin dengan penampilanku seperti ini Mas Arman tidak akan mengenaliku.

Pukul enam pagi, aku menaiki taksi online yang sudah kupesan sejak pukul lima tadi. Aku sengaja memesannya lebih cepat, takut kalau gagal mengajak si supir bernegosiasi.

Tapi ternyata Tuhan sedang berbaik hati padaku, supir ini bersedia menungguku di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang. Tentu dengan imbalan bayaran yang lebih besar.

“Jalan, Pak. Ikuti mobil itu ya,” titahku tidak sabar.

“Baik, Mbak.”

Taksi berjalan mengikuti mobil Mas Arman. Mobil itu melaju pelan membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Biasanya jalanan di sini akan mulai ramai saat pukul setengah tujuh.

Di ujung jalan Mas Arman berbelok ke kiri. “Cepat, Pak. Jangan sampai ketinggalan.” Aku berkata geram. Aku tahu, seharusnya Mas Arman belok ke kiri jika ingin pergi ke kantor.

Kenapa dia justru belok ke kanan? Aku yakin aku akan menemukan jawaban dari bekas lipstik dan kond*m yang aku temukan.

Mobil hitam miliknya berhenti di sebuah hunian minimalis. Pekarangannya indah dan dipenuhi bunga-bunga.

“Ayah!” seorang bocah kecil keluar dari dalam. Menghambur ke dalam pelukan suamiku.

“Mas Arman ….”

“Astaga ….”

***

Bersambung ….

Bab 3 : Bocah Kecil Itu

Bulir air yang mengalir kuseka dengan kasar. Mas Arman bisa begitu tega mengkhianatiku, dan bocah kecil itu … bocah yang jika kutaksir masih berumur lima tahun.

Bocah usia lima tahun, ia bahkan lebih tua dari usia pernikahanku. Bagaimana bisa, apakah Mas Arman selingkuh dengan seorang janda beranak?

Tuhan, ini benar-benar kejutan. Aku tidak hanya menemukan wanita simpanannya, tapi juga anak simpanannya.

“Kita pergi, Pak.”

***

Selesai sudah aku meraung sepulang membuntuti Mas Arman. Sebentar lagi Mas Arman pulang. Bukan jam pulang kantornya, melainkan jam biasa ia pulang ke rumah. Mungkin yang kulihat tadi pagi adalah alasan kenapa ia selalu pulang terlambat.

Ting tung!

Bel rumah dibunyikan. Hari ini, Rida yang merupakan asisten rumah tangga kami sedang ijin. Jadi tidak ada yang membukakan pintu untuk Mas Arman, selain aku.

Berkali-kali kupatut wajahku di depan cermin. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Mas Arman.

“Mas, sudah pulang?” tanyaku bersikap sebiasa mungkin.

“Sudah. Kamu masak apa malam ini?” tanya setelah memberikan kecupan singkat di keningku.

“A-aku tidak masak, Mas. Apa kamu belum makan tadi?”

“Hehe, aku sudah makan Arini.”

Entah kenapa hatiku sakit mendengar jawabannya, aku justru berharap ia belum makan, dan apa yang kulihat tadi pagi hanya ilusi belaka. Tapi ini benar, suamiku memiliki wanita lain.

“Arini, ayo masuk. Kenapa malah berdiri di pintu saja.”

“I-iya.” Tanganku sedikit gemetar saat menutup pintu.

“Arini, aku sangat merindukanmu hari ini. Ayo kita mandi.” Mas Arman tersenyum, memamerkan gigi putihnya yang rapih.

“Aku sudah mandi, Mas.”

“Oh iya ya. Mas yang belum mandi. Ya udah Mas mandi dulu ya. Kamu tunggu Mas di kamar.”

Sikap lembut ini sangat aku rindukan. Jika saja tadi pagi aku tidak nekad membuntutinya, aku tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini. Aku pasti akan senang diperlakukan selembut ini.

Krieet.

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Arman keluar hanya dengan mengenakan handuk menutupi bagian bawahnya saja.

“Airini ….”

“Iya, Mas?”

“Aku_”

“Aku lagi haid, Mas,” jawabku cepat memotong perkatannya.

“Emm, ya udah istirahat gih. Mas nyusul nanti.”

“Iya, Mas.” Aku terpaksa berbohong pada Mas Arman. Aku tidak sanggup bersentuhan dengannya. Aku bahkan merasa jijik dengan sikap lembutnya.

***

“Mas berangkat bekerja dulu ya.”

“Iya Mas.”

“Jaga diri di rumah ya.” Ia tersenyum setelah memberikan kecupan ringan di keningku.

“Kenapa empat kali, Mas?”

“Karena kemarin, sudah tiga hari Mas lupa enggak mencium kening kamu. Maafin Mas ya, sayang.”

“Iya, Mas.”

Satu jam berlalu setelah Mas Arman pergi ke kantor. Aku sudah siap dengan atribut yang aku pakai. Hari ini akan aku datangi wanita simpanan Mas Arman.

“Arini!”

“Ya.”

“Arini!”

“Iya sebentar!” seruku dari dalam. Sepertinya Ibu yang ada di luar. Di mana Rida, kenapa ia tidak membukakan pintu untuk mertuaku itu.

“Iya, Bu. Silahkan masuk.”

“Lama sekali sih buka pintunya! Mau jadi mantu durhaka kamu? Menjengkelkan sekali. Buatkan ibu teh manis. Cepat!”

“Iya, Bu.” Aku melangkah ke dapur.

Anaknya tukang selingkuh, sudah begitu Ibunya juga amit-amit. Tuhan, karma apa sampai aku harus berurusan dengan keluarga seperti mereka.

“Aku kerjain aja sekalian,” kataku gemas. Mengambil cangkir putih, memasukan satu kantong teh, kemudian menuangkan sedikit air hangat.

“Selesai! Eh, tinggal gulanya.” Aku mencari kotak gula yang berjajar dengan kotak lainnya. Seperti garam, merica, penyedap rasa, dan lain-lain.

“Satu, dua, tiga, empat … nah, ini sudah sangat manis.” Segera kuantar teh yang aku buat dengan penuh kasih sayang ke ruang tamu.

Sampai di ruang tamu, tidak kutemukan ibu mertuaku yang galak bin sinis itu di sana. Aku tidak heran, wanita itu memang suka kelayapan kalau datang ke sini. Ada saja ruangan yang ia masuki.

Prang!

Suara benda terjatuh terdengar nyaring di telingaku. Sepertinya aku tahu, di mana dia berada saat ini.

“Sedang apa, Bu? Apa tadi yang jatuh?” tanyaku sambil mengedarkan ke seluruh ruangan.

‘Astaga! Itu vas bunga kesayanganku. Rencananya akan aku letakkan di ruang pribadiku’ batinku kesal. Tapi aku menahannya.

“Lihat-lihat saja. Ingin tahu apa isi ruang koleksi mantuku, itu saja.”

“Oh. Ini tehnya di minum.”

“Mana. Ternyata selera kamu itu rendah juga ya. Vas jelek begitu dipajang di lemari kaca. Mending aku banting saja.”

“Oh, jadi Ibu bating? Nggak apa, nanti aku bisa beli lagi. Ibu tau vas itu harga berapa? Dua belas juta.” Ucapakan sukses membuatnya terbelalak. Kemudian terbatuk-batuk kaget.

“Duh, jangan kaget dong Bu. Diminum tehnya, kasihan Ibu batuk-batuk terus. Lagipula aku membelinya juga dengan uang Mas Arman.”

Kulihat ia langsung menenggak teh manis yang aku buatkan. Tapi air itu tidak bertahan lama berada dalam mulutnya. Karena mertuaku itu langsung menyemburkan isinya sembarangan.

“Kenapa Bu?”

“Mantu sial*n! Mau meracuniku kamu? Di suruh bikin teh manis, malah asin begini. Kalau sampai aku mati, aku seret kamu ke neraka!”

“Maaf Bu. Aku nggak bermaksud.”

“Alah! Omong kosong saja kamu bisanya! Minggir!”

***

Bersambung ….

Bab 4 : Mau Bercerai Denganku?

“Hahaha!”
Tawaku pecah, puas sekali rasanya mengerjai si nenek lampir itu. Ah, maaf. Ibu mertuaku maksudnya.
“Maafkan aku ya Bu. Aku memang tidak berguna,” ucapku sambil menutup pintu depan. Aku masih sempat melihat ibu mertuaku yang lari terbirit-birit ke arah gerbang.
“Ibu, itu hanya sebatas garam yang aku masukkan ke dalam teh. Bukan garam yang aku taburkan dalam luka. Tunggu saja pembalasanku.”
Gara-gara ibu datang, aku jadi terlambat satu jam pergi ke rumah wanita sial*n itu. Mungkin besok saja aku pergi ke sana. Kerjaan rumah juga sudah numpuk. Biar aku selesaikan pekerjaan rumah hari ini, besok aku akan punya waktu lebih lama untuk menemui wanita itu.
“Assalamualaikum ….”
“Rida, kamu baru datang?” tanyaku melihat pembantuku yang datang dari pintu.
“Iya, Bu. Maaf saya terlambat. Tadi anak saya rewel.”
“Oh, ya udah. Kamu beresin aja bagian depan, sama buang sampah di dalam. Setelah itu, kalau nggak ada pekerjaan. Kamu boleh pulang.” Rida dulunya adalah pembantu yang tinggal di sini. Namun setelah dua bulan pernikahanku, ia ijin untuk menjadi pembantu paruh waktu yang datang setiap pagi dan pulang sore hari.
Aku tidak bisa bercerita banyak tentang Rida, wanita itu adalah pembantu bawaan Mas Arman. Ia sudah lama bekerja pada Mas Arman, dan dia adalah wanita pekerja keras. Aku suka cara kerjanya selama ini.
“Aku harus mencuci pakain Mas Arman,” ucapku pelan. Aku bergegas pergi ke belakang dan mulai mencuci. Setelah mencuci pakaian, aku kembali ke kamar.
***
Ting tung.
“Airini! Arini!”
“Ya!”
“Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak begitu?”
“Kunci pintunya, aku tunggu kamu di kamar.”
“I-iya, Mas.”
“Jangan lama-lama.”
“Iya.”
Aku langsung mengunci pintu cepat. Sepertinya Mas Arman sedang marah. Entah karena apa. Sesaat kemudian aku teringat, mungkin Ibu mengadu pada Mas Arman.
Cklek.
Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Mas Arman sedang melepas jas hitam yang ia kenakan, kemudian disusul dengan menggulung lengan kemejanya. Andai aku tidak tahu dia selingkuh, pemandangan ini sungguh menggoda.
“Ada apa, Mas?” tanyaku hati-hati. Kemudian duduk di salah satu sisi ranjang.
“Mas mau bicara sama kamu.”
“Iya, Mas. Ada apa?” Aku mencoba bersabar, dari tadi cuma bilang mau bicara tapi nggak bicara-bicara.
“Hemmm.” Ia duduk di sampingku. Wajah kami berhadap-hadapan.
“Apa yang kamu lakukan sama Ibu tadi pagi?” tanyanya disertai helaan napas panjang.
“Enggak ada,” jawabku ketus. Dugaanku benar mengenai Ibu.
“Jangan bohong, Arini. Ibu sudah memberitahuku.”
“Oh, ya? Apa ibu memberitahumu semuanya? Aku yakin tidak.”
“Apa maksudmu? Jangan kurang ajar Arini. Dia Ibuku, surgaku di bawah telapak kakinya, jadi kamu jangan sekali-kali bicara buruk tentangnya!” Mas Arman naik pitam. Tapi aku tidak ingin gentar.
“Apa kamu mau bercerai denganku, Mas?” tanyaku pelan. Namun berhasil memukulnya telak.
Mas Arman diam. Tatapannya padaku tidak segarang tadi. “Apa maksudmu?” Matanya memicing.
“Aku tanya sama kamu Mas. Apa kamu mau bercerai denganku? Karena itu yang ibumu inginkan dariku.”
“Apa? jangan fitnah kamu Arini.”
“Silahkan kalau kamu nggak percaya, Mas. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Ibu sering datang dan memintaku melepaskanmu. Ia bilang kamu bukan laki-laki yang baik, apa itu benar?”
“Apa maksudmu, Ibu bilang aku bukan laki-laki baik?” Ia terkejut.
Aku mengangguk. Memasang wajah sesedih mungkin. Kasihan sekali Mas Arman, jika ibunya saja bisa berkata seperti itu. Apakah mungkin selingkuhannya itu orang baik. Bodoh sekali kamu Mas. Kamu menyia-nyiakan aku demi sesuatu yang belum tentu berpihak padamu.
“Apa saja yang ibu katakan padamu?”
“Hanya itu.”
“Kamu jangan dengerin Ibu ya. Tapi kamu juga nggak boleh kurang ajar sama beliau. Biar bagaimanapun ia tetap ibuku. Jangan pernah menaruh garam dalam minumannya lagi ya?” ujarnya pelan. Ia meraihku ke dalam pelukannya.
“Aku sayang sama kamu Arini. Sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkanmu.”
Aku hanya tersenyum miris mendengar perkataannya. Kali ini ucapan itu terasa hambar, tidak lagi membuat dadaku menggebu-gebu.
“Oh iya, ada satu lagi yang mau Mas omongin.” Mas Arman melepaskan pelukannya.
“Apa?”
“Mulai besok, adikku Sindy akan tinggal bersama kita.”
“Apa?!”
“Ya, Sindy, adik ipar kamu akan ikut tinggal bersama kita. Kamu tahu kan, di rumah ibu nggak ada kamar yang bagus. Di sini, Sindy yang baru pulang kuliah dari Jerman pasti akan betah. Kalian, kan sama-sama lulusan hukum. Kamu mantan pengacara, dan dia bercita-cita jadi pengacara. Aku pikir kalian akan cocok satu sama lain.”
“Tapi, Mas.”
“Ssssst. Udah, Sindy anaknya baik. Mas jamin, dia juga akan bersikap baik sama kamu.”
“Kamu yakin, Mas?” tanyaku ragu. Aku tidak terlalu mengenal Sindy.
“Sangat yakin.”
“Hmm.” Bagaimana mungkin aku bisa percaya sama kamu, Mas. Orang kamu aja bisa selingkuhin aku.
“Iya Sayang, ya udah aku mandi dulu ya. Besok pagi Sindy akan datang ke sini.”
“Iya, Mas.”
Aku hanya menatap kosong tubuh Mas Arman. Aku harus punya rencana khusus untuk iparku itu, kali aja dia juga menyebalkan.
Kadang aku menyesal meninggalkan pekerjaanku sebagai pengacara, dan menjadi ibu rumah tangga yang hanya bergantung pada Mas Arman. Tabungan masih lumayan banyak, sih. Tapi kalau aku nggak merampok keluarga menyebalkan ini, kan aku yang rugi.
***
Bersambung ….

Bab 5 : Kedatangan Adik Ipar

 

Sesuai ucapan Mas Arman semalam, adiknya itu datang ke rumah. Lengkap dengan tiga koper besar bersamanya.

‘Astaga, dia kek mau pindahan aja. Apa dia bakal tinggal di sini selamanya.’ batinku terkejut melihat tiga koper. Belum lagi yang terbungkus dalam beberapa kardus.

Kamar tamu di rumah ini memang besar, tapi untuk meletakkan barang sebanyak itu, entahlah. Biar itu jadi urusan dia sendiri.

“Eh Sindy, ayo masuk. Ibu mana?” tanya Mas Arman begitu antusias.

“Ibu masih di mobil, Mas. Lagi debat sama supir taksi.”

“Ohh. Arini, ayo bantuin Sindy. Kasihan dia angkat barang sebanyak ini sendirian.” Mas Arman beralih memandangku. Aku hanya mengangguk dan mulai membantu mengangkat barang-barang Sindy.

“Arman! Sindy! Ibu datang ….”

Suara Ibu membuatku menghentikan aktivitas, menoleh, melihat tiga orang itu berpelukan mesra. Khas sekali keharmonisannya. Tapi sayang, itu tidak membuatku tertarik. Aku harus bertahan di rumah ini, dan membuat perhitungan dengan mereka.

“Arini! Ngapain kamu masih di situ? Mantu kurang asem aja lihat-lihat. Sana pergi! Angkatin itu barang-barang Sindy.”

Malas meladeni Ibu, aku mengangkat barang-barang Sindy ke dalam kamarnya. Bukan apa-apa, aku belum sarapan jadi sayang aja kalau dipake cuma buat debat sama Ibu.

“Sindy, bagaimana kabar kamu di Jerman selama ini? Kok kamu jarang sekali telepon ke Ibu. Ibu kangen sekali.”

“Sindy baik-baik saja, Bu. Maaf, Sindy jarang telepon karena Sindy sibuk sekali dengan skripsi.”

“Oalah, kamu pasti capek, kan. Kamu lapar? Mau makan apa?” tanya Ibu lagi.

Kurang asem memang. Dia yang pindahan, eh, aku yang disuruh angkat-angkat. Sikap Ibu manis sekali dengan Sindy, tidap pernah semanis itu padaku. Meskipun aku hanya menantunya, tapi aku juga bisa jadi anaknya, kan.

“Arini! Masakin telur rebus setengah matang untuk Sindy ya!” seru Ibu dari ruang tamu.

“Kalau aku masak, siapa yang angkat barang-barang sebanyak ini?” tanyaku kesal.

“Bisa, kan kamu berhenti sebentar. Masak telur. Paling juga lima menit itu telurnya matang.”

“Tapi, Bu.”

“Arini … kamu denger apa yang dikatakan Ibu, kan?” Mas Arman menatapku tajam. Seolah mengatakan agar aku menurut saja.

Mas Arman memang sudah tidak mencintaiku, buktinya ia sama sekali tidak membela saat aku diperlakukan seperti pembantu. Ia juga tidak membantuku mengangkat barang-barang Sindy.

Perasaanku kesal. Aku meraih handphone di dalam saku, kemudian menelpon Rida agar cepat datang.

“Halo, Bu.” Kudengar suara halus Rida di seberang.

“Rida, kamu lagi apa? Cepat datang ke rumah saya.”

“Anak saya lagi rewel, Bu. Tapi saya usahakan untuk segera datang ke sana. Maafin saya ya, Bu.”

“Ya udah Rida, tidak masalah. Kalau anak kamu sudah bisa ditinggal, cepat datang ke sini.”

“Baik, Bu.”

Klik.

Aku pergi ke dapur. Memasakkan telur setengah matang untuk Sindy. Tidak lama, telur aku angkat dan membawanya ke ruang tamu.

“Ini telurnya.”

“Terimakasih ya, Mbak. Maaf sudah merepotkan.”

“Sama-sama.”

“Mbak, duduk saja dulu. Kita ngobrol sebentar, nanti biar aku angkat sendiri barang-barangku,” ajak Sindy sopan.

“Halah. Ngapain juga mesti di suruh duduk. Biarkan saja dia angkatin barang kamu!” seloroh Ibu.

“Tapi, Bu.”

“Sudahlah Sindy! Biarkan saja dia yang angkat. Kamu pasti capek, jadi setelah makan kamu bisa langsung istirahat di kamar!”

“Arini ….” Kali ini Mas Arman yang bicara.

“Ada apa Mas?”

“Kamu angkatin barang-barang Sindy nggak papa, kan?”

“Iya, Mas.”

‘Sabar, sabar, sabar. Kamu harus kuat Arini. Jangan gegabah. Jangan sampai mereka membuangmu seperti sampah, sebelum kamu mendapatkan sesuatu yang berharga dari mereka.’ batinku menguatkan.

“Mas bantuin kamu, ya,” tambahnya. Aku hanya mengangguk.

“Nggak usah Arman. Sebentar lagi kamu kan harus berangkat kerja. Mending kamu mandi saja deh, daripada telat kerjanya.” Ibu melarang. Mas Arman menatapku, tatapan yang meminta agar aku mengijinkannya untuk mandi.

“Ibu bener, Mas. Kamu mandi saja. Aku bisa kok angkat semua ini.”

“Ya udah, kamu pelan-pelan saja ya angkatnya. Kalau capek istirahat.”

Mas Arman pergi ke dalam. Aku mulai memindahkan koper ke dalam kamar tamu. Baru satu koper yang aku pindahkan, terdengar ucapan salam dari luar.

“Assalamualaikum ….”

“Waalaikumsalam.”

“Rida, kamu sudah datang? Ayo bangun saya.” Rida mengangguk, kemudian mulai membantuku memindahkan barang.

“Mbak Rida!” seru Sindy. Sontak aku dan Rida berhenti.

Rida menunduk, dari wajahnya bisa aku lihat dia sedang cemas.

“Mbak Rida sini, Sindy kangen banget sama Mbak. Fadil apa kabar, Mbak?” Sindy menyerbu Rida dengan banyak pertanyaan.

“Fadil b-baik Mbak Sindy.”

“Mbak Rida kok manggil aku Mbak, sih. Aku ini kan_”

“Iya Mbak. Mbak memang lebih muda dari aku, tapi di sini aku kan jadi pembantu. Jadi harus sopan sama majikan.” Rida memotong ucapan Sindy.

“Sindy, kamu kok bisa kenal sama Rida?” tanyaku heran.

“Iya kenal dong, Mbak Arini … Mbak Rida ini, kan_”

“Pembantuku sejak lama,” sahut Mas Arman yang muncul dari belakang.

Aku menatap Rida, Sindy, dan Mas Arman bergantian. Aku merasa ada yang sedang di tutup-tutupi di sini. Ada apa ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

***

Bersambung ….

13 Tanggapan

  1. Hi there!
    We’re interested in working with companies like yours for the long term. Could you send us your product list and prices? You can reach me on WhatsApp: +44 744 022 2905

  2. Hello,

    I hope this email finds you well. I wanted to reach out and offer you the opportunity to contribute a guest post to Time Bulletin, a Google News-approved website with a domain authority (DA) of 53.

    TimeBulletin.com covers many topics, including business, technology, lifestyle, and more. So, whether you are an entrepreneur, a blogger, or a freelancer, you have a niche to promote your brand and expertise.

    If you’re interested in guest posting on Time Bulletin, please don’t hesitate to contact us for further details. We promise you a top-notch service that will exceed your expectations, including link insertion if needed.

    Thank you for considering our offer, and we look forward to hearing from you soon.

  3. Hello,

    Publish your article on Entertainmentpaper.com to expand your reach and visibility through featured articles and guest posts.

    Thanks,
    Shivaani

  4. Hello,

    Get your article or press release published on yahoo.com, Business Insider and 300+ websites to boost your online reputation and website’s authority. Let me know if you’re interested, and I’ll share pricing and sample links.

    Thanks,
    Raeesa

  5. Hello,

    Its opportunity to get featured on digitaljournal.com with your press release content. Publish your press release announcement on Digital Journal. For more details please get me back at priiyapateel@gmail.com

    Thanks,
    Priyanka Patil

  6. Hello,

    Get your article published on 100+ websites to boost your online reputation and website’s authority. Let me know if you’re interested, and I’ll share sample links.

    Thanks,
    Archana

  7. Hi. We run a YouTube growth service, which increases your number of subscribers both safety and practically.

    – We guarantee to gain you new 700+ subscribers per month
    – People subscribe because they are interested in your videos/channel, increasing video likes, comments and interaction.
    – All actions are made manually by our team. We do not use any bots.

    The price is just $60 (USD) per month, and we can start immediately. If you are interested and would like to see some of our previous work, let me know and we can discuss further.

    Kind Regards,

    To Unsubscribe, reply with the word unsubscribe in the subject.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bekas Lipstik

Esana Gulpinar

BAB 1 : Noda Merah

“Hari ini masak apa Dik?” tanya Mas Arman yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Biasa Mas, aku masak nasi goreng kesukaanmu. Ngomong-ngomong, kamu kok keramas Mas? tadi malam kan, kita tidak ….” Tidak aku lanjutkan kata-kataku, karena Mas Arman tiba-tiba saja ….

“Kalau keramas enggak harus seperti itu dulu, kan?”

“Iya juga sih, Mas.” Aku menjawab sambil membenarkan lipstikku yang tadi sempat terhapus karenanya.

“Ya udah, makan yuk. Mas udah laper, nih.”

“Iya, Mas.”

Di meja makan kuamati wajah tampan suamiku. Ia tampak begitu menikmati masakan kesukaannya. Kami hanya makan berdua, karena memang belum memiliki momongan, dan tinggal terpisah dari orangtua kami.

“Mas berangkat dulu, ya. Takut telat.” Mas Arman melesat ke arah pintu.

“Iya Mas. Aku nggak di ini?”

“Maaf Dik. Mas buru-buru!” serunya sambil melambaikan tangan.

“T-tapi Mas!”

Deru mobil terdengar di telingaku. Aku mengernyit heran, saat kulirik jam di dinding, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Jarak antara rumah dengan kantor Mas Arman hanya memerlukan waktu satu jam, sedangkan Mas Arman akan bekerja pukul delapan. Lalu apa yang dilakukan Mas Arman selama satu jam?

“Mungkin, Mas Arman takut macet,” ucapku menepis bayangan buruk yang tiba-tiba datang.

Aku akan bereskan meja makan, tapi suara di luar pintu membuatku urung dan berjalan ke depan.

“Di mana Arman!” bentak wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.

“Mas Arman, baru saja berangkat.”

“Apa!”

“Iya, Bu.”

“Jam segini? Kamu ini istri macam apa? Pagi buta suami sudah diusir dari rumah. Mau nyuruh Arman kerja paksa kamu!” bentaknya kasar. Aku berulangkali menghela napas panjang demi meningkatkan kesabaran menghadapinya.

“Tadi Mas Arman bilang dia buru-buru, Bu. Jadi berangkat sepagi ini.”

“Alah! Alasan saja kamu!”

Aku diam. Menata hati yang hampir meledak. Sudah tiga tahun pernikahan ini aku jalani, wanita paruh baya yang tidak lain ibu mertuaku ini tidak pernah menerima keberadaanku.

“Minggir!” Ia menabrak tubuhku begitu saja.

Aku meringis, mengawasi dirinya yang pergi ke arah kulkas, tempat persediaan makanan kami disimpan.

“Arini, Arini!”

“Huffft.” Kuhembuskan napas lelah. Jujur aku bosan harus menghadapi drama ini setiap ia datang.

“Ada apa Bu?”

“Kulkas isinya hanya telur sama kecap. Kamu kasih makan apa anakku itu?”

“Itu hanya stok untuk sarapan saja, Bu. Karena Mas Arman selalu minta nasi goreng setiap sarapan. Siangnya Mas Arman makan di kantor. Saat malam ia akan membelikan makanan untuk kami berdua,” jelasku dengan sabar. Meski aku tahu penjelasan ini tidak akan berpengaruh penting untuk Ibu mertuaku ini.

“Arman bisa-bisa mati kalau hidup sama istri seperti kamu. Masak bisanya cuma nasi goreng. Makan siang dan malam njajan. Allahuakbar! Dia bisa bangkrut kalau begitu terus.”

“Maaf Bu. Tapi semua itu keinginan Mas Arman. Bukan keinginanku.”

“Halah! Ngeles saja kamu. Aku kasih tahu sama kamu Arini, lebih baik kamu tinggalkan Arman sekarang, daripada nanti kamu nyesel. Arman akan aku jodohkan dengan wanita pilihanku.”

“Aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Arman, Bu. Maaf, bagiku pernihakan adalah sesuatu yang sakral. Aku tidak akan pernah membiarkan biduk pernikahanku hancur.”

“Hah! Percaya diri sekali kamu, kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih benar mengenai Arman. Yang jelas, wanita rendahan seperti kamu, samasekali bukan selera Arman. Camkan itu baik-baik.”

Brugh!

‘Astaga, sudah tua tapi kuat sekali tenaganya.’ batinku sambil bangkit. Ibu dari Mas Arman itu pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

“Ya Allah, punya ibu mertua kok seperti jailangkung. Datang nggak diundang, pulangnya juga nggak diantar. Selalu saja tiba-tiba muncul, dan menghilang. Bikin jantungku meloncat-loncat saja.” Segera aku lanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena kedatangannya.

Sakit mendengar ucapannya. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Terkadang seseorang itu tidak akan bisa berubah, karena memang sudah karakternya seperti itu.

Selesai mencuci piring, aku bersiap mandi. Hari ini udara sedikit dingin, jadi aku memilih mandi setelah Mar Arman pergi bekerja.

“Astaga!” pekikku. Jorok sekali Mas Arman. Tidak biasanya dia seperti ini. Meninggalkan pakaian semalam di gantungan begitu saja, biasanya dia akan menaruhnya ke dalam keranjang pakaian kotor seperti yang sering aku instruksikan.

Meski sedikit kesal, aku tetap berpikir positif. Mungkin tadi malam dia sangat kelelahan, sehingga lupa menaruhnya ke dalam keranjang.

“Astagfirullah hal adzim!” Kali ini aku sungguh terkejut. Ada noda merah di kerah baju yang Mas Arman pakai kemarin.

“Noda apa ini? Seperti bekas lipstik.” Ingatanku berputar pada kejadian semalam, dan memang tidak terjadi apa-apa antara aku dengan Mas Arman. Seingatku aku juga tidak menciumnya, karena Mas Arman langsung masuk ke kamar mandi tanpa menyapaku.

Seingatku, aku juga tidak memiliki lipstik dengan warna merah terang yang terlalu mencolok seperti ini, lipstrik yang aku gunakan juga bukan yang meninggalkan bekas. Lipstik ini jelas lipstik murahan.

Lalu, bekas lipstik siapa ini?

Apa mungkin kalau Mas Arman ….

“Tidak!”

***

Bersambung ….

Bab 2 : Sesuatu Dalam Kantong

 

“Selamat malam Arini Sayang.”

“Malam, Mas,” jawabku sedikit ketus.

“Jutek banget. Ada apa?” tanyanya sambil menatapku lembut.

“Enggak.” Aku merajuk. Hatiku masih penuh dengan prasangka buruk terhadapnya.

“Sayang ….”

“Aku capek, Mas. Aku istirahat dulu ya,” ucapku sambil berjalan ke kamar.

Semalaman aku tidak berbicara padanya. Pagi ini pun aku tidak memasakkan nasi goreng kesukaannya. Hanya sepotong roti dan selai kacang yang aku hidangkan. Kupikir dia akan marah, tapi dugaanku salah. Ia memakan roti itu dengan sangat lahap. Seolah itu adalah makanan terenak yang pernah dia makan.

“Aku pergi dulu ya Arini! Terimakasih untuk kuenya, lezat sekali!” Teriakan di luar pintu membuatku tersadar dari lamunan.

Ternyata Mas Arman sudah selesai makan. Ia pergi bekerja dan … ini untuk kedua kalinya dia tidak mengecup keningku sebelum pergi.

“Mungkin dia lupa,” ujarku pada diri sendiri.

Sudah dua hari aku tidak mencuci baju, sepertinya sudah agak menumpuk. Jika aku biarkan dalam seminggu, aku pasti tidak akan sanggup mencucinya.

Noda lipstik kemarin kembali tertangkap oleh mataku. Aku menghela napas, kemudian memasukkannya ke dalam mesin cuci.

Bau parfum wanita tercium oleh indera penciumanku saat mengangkat kemeja yang dipakai Mas Arman semalam.

“Parfum Mas Arman Aneh banget. Ini seperti bukan bau parfum miliknya.”

“Uhuk uhuk!” Aku terbatuk ketika menempelkan hidungku di sana. Pusing juga aku rasakan, bau ini sangat menyengat, dan aku tidak menyukainya.

“Kondom?”

***

“Halo Sayang. Mas sudah pulang.”

“Iya Mas. Sini.” Kurentangkan kedua tangan untuk memeluknya.

“Uhuk-uhuk!”

“Sayang kamu kenapa?”

“Mas, kamu ganti parfum ya? Tapi kok nggak ada parfum yang baunya sama seperti ini di koleksi parfum kamu?” tanyaku curiga. Ini adalah bagian dari misiku setelah menemukan kond*m dan bekas lipstik di pakaian kerjanya.

“Oh, ini itu di tempat kerjaku ada seorang wanita yang kerjaannya semprot-semprot parfum begitu. Jadinya mas kena deh, mana baunya parah banget lagi.”

“Oh begitu. Ya udah mas istirahat gih.”

“Iya Arini, kamu sudah makan?”

“Sudah Mas. Kamu pasti juga sudah makan malam di luar, kan?”

“Hehe iya. Ya udah, Mas mandi dulu. Kamu istirahat saja duluan ya.”

“Oke kapten!” jawabku mengacungkan jempol mantap.

Seperti kemarin, malam ini tidak ada pembicaraan antara aku dan Mas Arman. Aku pura-pura tertidur saat ia menyapaku.

Mataku perih saat membuka mata. Baru beberapa jam saja aku terlelap, tapi harus terbangun karena suara berisik dari dalam kamar mandi.

“Nyari apa Mas?” tanyaku cepat. Tubuh Mas Arman berjengkit kaget.

“Eng … enggak. Tadi sabunnya jatuh.”

“Memangnya Mas mau mandi jam segini?” Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi.

“I-iya. Gerah banget.”

“Ya udah, ambil saja sabun di lemari.” Aku berkata sambil kembali tidur di ranjang.

Aku tahu apa yang dicari Mas Arman. Dia pasti sibuk mencari kond*m yang aku temukan.

‘Mas Arman, aku tidak akan membiarkanmu lepas jika dugaanku benar.’ batinku kembali memejamkan mata.

***

“Arini! Mas pergi dulu ya!”

Suara itu kembali aku dengar, dan ini adalah untuk ketiga kalinya ia pergi tanpa mengecup keningku.

“Aku akan menangkapmu hari ini, mas,” ucapku meraih jaket tebal lengkap dengan topi yang baru saja aku beli kemarin. Aku yakin dengan penampilanku seperti ini Mas Arman tidak akan mengenaliku.

Pukul enam pagi, aku menaiki taksi online yang sudah kupesan sejak pukul lima tadi. Aku sengaja memesannya lebih cepat, takut kalau gagal mengajak si supir bernegosiasi.

Tapi ternyata Tuhan sedang berbaik hati padaku, supir ini bersedia menungguku di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang. Tentu dengan imbalan bayaran yang lebih besar.

“Jalan, Pak. Ikuti mobil itu ya,” titahku tidak sabar.

“Baik, Mbak.”

Taksi berjalan mengikuti mobil Mas Arman. Mobil itu melaju pelan membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Biasanya jalanan di sini akan mulai ramai saat pukul setengah tujuh.

Di ujung jalan Mas Arman berbelok ke kiri. “Cepat, Pak. Jangan sampai ketinggalan.” Aku berkata geram. Aku tahu, seharusnya Mas Arman belok ke kiri jika ingin pergi ke kantor.

Kenapa dia justru belok ke kanan? Aku yakin aku akan menemukan jawaban dari bekas lipstik dan kond*m yang aku temukan.

Mobil hitam miliknya berhenti di sebuah hunian minimalis. Pekarangannya indah dan dipenuhi bunga-bunga.

“Ayah!” seorang bocah kecil keluar dari dalam. Menghambur ke dalam pelukan suamiku.

“Mas Arman ….”

“Astaga ….”

***

Bersambung ….

Bab 3 : Bocah Kecil Itu

Bulir air yang mengalir kuseka dengan kasar. Mas Arman bisa begitu tega mengkhianatiku, dan bocah kecil itu … bocah yang jika kutaksir masih berumur lima tahun.

Bocah usia lima tahun, ia bahkan lebih tua dari usia pernikahanku. Bagaimana bisa, apakah Mas Arman selingkuh dengan seorang janda beranak?

Tuhan, ini benar-benar kejutan. Aku tidak hanya menemukan wanita simpanannya, tapi juga anak simpanannya.

“Kita pergi, Pak.”

***

Selesai sudah aku meraung sepulang membuntuti Mas Arman. Sebentar lagi Mas Arman pulang. Bukan jam pulang kantornya, melainkan jam biasa ia pulang ke rumah. Mungkin yang kulihat tadi pagi adalah alasan kenapa ia selalu pulang terlambat.

Ting tung!

Bel rumah dibunyikan. Hari ini, Rida yang merupakan asisten rumah tangga kami sedang ijin. Jadi tidak ada yang membukakan pintu untuk Mas Arman, selain aku.

Berkali-kali kupatut wajahku di depan cermin. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Mas Arman.

“Mas, sudah pulang?” tanyaku bersikap sebiasa mungkin.

“Sudah. Kamu masak apa malam ini?” tanya setelah memberikan kecupan singkat di keningku.

“A-aku tidak masak, Mas. Apa kamu belum makan tadi?”

“Hehe, aku sudah makan Arini.”

Entah kenapa hatiku sakit mendengar jawabannya, aku justru berharap ia belum makan, dan apa yang kulihat tadi pagi hanya ilusi belaka. Tapi ini benar, suamiku memiliki wanita lain.

“Arini, ayo masuk. Kenapa malah berdiri di pintu saja.”

“I-iya.” Tanganku sedikit gemetar saat menutup pintu.

“Arini, aku sangat merindukanmu hari ini. Ayo kita mandi.” Mas Arman tersenyum, memamerkan gigi putihnya yang rapih.

“Aku sudah mandi, Mas.”

“Oh iya ya. Mas yang belum mandi. Ya udah Mas mandi dulu ya. Kamu tunggu Mas di kamar.”

Sikap lembut ini sangat aku rindukan. Jika saja tadi pagi aku tidak nekad membuntutinya, aku tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini. Aku pasti akan senang diperlakukan selembut ini.

Krieet.

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Arman keluar hanya dengan mengenakan handuk menutupi bagian bawahnya saja.

“Airini ….”

“Iya, Mas?”

“Aku_”

“Aku lagi haid, Mas,” jawabku cepat memotong perkatannya.

“Emm, ya udah istirahat gih. Mas nyusul nanti.”

“Iya, Mas.” Aku terpaksa berbohong pada Mas Arman. Aku tidak sanggup bersentuhan dengannya. Aku bahkan merasa jijik dengan sikap lembutnya.

***

“Mas berangkat bekerja dulu ya.”

“Iya Mas.”

“Jaga diri di rumah ya.” Ia tersenyum setelah memberikan kecupan ringan di keningku.

“Kenapa empat kali, Mas?”

“Karena kemarin, sudah tiga hari Mas lupa enggak mencium kening kamu. Maafin Mas ya, sayang.”

“Iya, Mas.”

Satu jam berlalu setelah Mas Arman pergi ke kantor. Aku sudah siap dengan atribut yang aku pakai. Hari ini akan aku datangi wanita simpanan Mas Arman.

“Arini!”

“Ya.”

“Arini!”

“Iya sebentar!” seruku dari dalam. Sepertinya Ibu yang ada di luar. Di mana Rida, kenapa ia tidak membukakan pintu untuk mertuaku itu.

“Iya, Bu. Silahkan masuk.”

“Lama sekali sih buka pintunya! Mau jadi mantu durhaka kamu? Menjengkelkan sekali. Buatkan ibu teh manis. Cepat!”

“Iya, Bu.” Aku melangkah ke dapur.

Anaknya tukang selingkuh, sudah begitu Ibunya juga amit-amit. Tuhan, karma apa sampai aku harus berurusan dengan keluarga seperti mereka.

“Aku kerjain aja sekalian,” kataku gemas. Mengambil cangkir putih, memasukan satu kantong teh, kemudian menuangkan sedikit air hangat.

“Selesai! Eh, tinggal gulanya.” Aku mencari kotak gula yang berjajar dengan kotak lainnya. Seperti garam, merica, penyedap rasa, dan lain-lain.

“Satu, dua, tiga, empat … nah, ini sudah sangat manis.” Segera kuantar teh yang aku buat dengan penuh kasih sayang ke ruang tamu.

Sampai di ruang tamu, tidak kutemukan ibu mertuaku yang galak bin sinis itu di sana. Aku tidak heran, wanita itu memang suka kelayapan kalau datang ke sini. Ada saja ruangan yang ia masuki.

Prang!

Suara benda terjatuh terdengar nyaring di telingaku. Sepertinya aku tahu, di mana dia berada saat ini.

“Sedang apa, Bu? Apa tadi yang jatuh?” tanyaku sambil mengedarkan ke seluruh ruangan.

‘Astaga! Itu vas bunga kesayanganku. Rencananya akan aku letakkan di ruang pribadiku’ batinku kesal. Tapi aku menahannya.

“Lihat-lihat saja. Ingin tahu apa isi ruang koleksi mantuku, itu saja.”

“Oh. Ini tehnya di minum.”

“Mana. Ternyata selera kamu itu rendah juga ya. Vas jelek begitu dipajang di lemari kaca. Mending aku banting saja.”

“Oh, jadi Ibu bating? Nggak apa, nanti aku bisa beli lagi. Ibu tau vas itu harga berapa? Dua belas juta.” Ucapakan sukses membuatnya terbelalak. Kemudian terbatuk-batuk kaget.

“Duh, jangan kaget dong Bu. Diminum tehnya, kasihan Ibu batuk-batuk terus. Lagipula aku membelinya juga dengan uang Mas Arman.”

Kulihat ia langsung menenggak teh manis yang aku buatkan. Tapi air itu tidak bertahan lama berada dalam mulutnya. Karena mertuaku itu langsung menyemburkan isinya sembarangan.

“Kenapa Bu?”

“Mantu sial*n! Mau meracuniku kamu? Di suruh bikin teh manis, malah asin begini. Kalau sampai aku mati, aku seret kamu ke neraka!”

“Maaf Bu. Aku nggak bermaksud.”

“Alah! Omong kosong saja kamu bisanya! Minggir!”

***

Bersambung ….

Bab 4 : Mau Bercerai Denganku?

“Hahaha!”
Tawaku pecah, puas sekali rasanya mengerjai si nenek lampir itu. Ah, maaf. Ibu mertuaku maksudnya.
“Maafkan aku ya Bu. Aku memang tidak berguna,” ucapku sambil menutup pintu depan. Aku masih sempat melihat ibu mertuaku yang lari terbirit-birit ke arah gerbang.
“Ibu, itu hanya sebatas garam yang aku masukkan ke dalam teh. Bukan garam yang aku taburkan dalam luka. Tunggu saja pembalasanku.”
Gara-gara ibu datang, aku jadi terlambat satu jam pergi ke rumah wanita sial*n itu. Mungkin besok saja aku pergi ke sana. Kerjaan rumah juga sudah numpuk. Biar aku selesaikan pekerjaan rumah hari ini, besok aku akan punya waktu lebih lama untuk menemui wanita itu.
“Assalamualaikum ….”
“Rida, kamu baru datang?” tanyaku melihat pembantuku yang datang dari pintu.
“Iya, Bu. Maaf saya terlambat. Tadi anak saya rewel.”
“Oh, ya udah. Kamu beresin aja bagian depan, sama buang sampah di dalam. Setelah itu, kalau nggak ada pekerjaan. Kamu boleh pulang.” Rida dulunya adalah pembantu yang tinggal di sini. Namun setelah dua bulan pernikahanku, ia ijin untuk menjadi pembantu paruh waktu yang datang setiap pagi dan pulang sore hari.
Aku tidak bisa bercerita banyak tentang Rida, wanita itu adalah pembantu bawaan Mas Arman. Ia sudah lama bekerja pada Mas Arman, dan dia adalah wanita pekerja keras. Aku suka cara kerjanya selama ini.
“Aku harus mencuci pakain Mas Arman,” ucapku pelan. Aku bergegas pergi ke belakang dan mulai mencuci. Setelah mencuci pakaian, aku kembali ke kamar.
***
Ting tung.
“Airini! Arini!”
“Ya!”
“Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak begitu?”
“Kunci pintunya, aku tunggu kamu di kamar.”
“I-iya, Mas.”
“Jangan lama-lama.”
“Iya.”
Aku langsung mengunci pintu cepat. Sepertinya Mas Arman sedang marah. Entah karena apa. Sesaat kemudian aku teringat, mungkin Ibu mengadu pada Mas Arman.
Cklek.
Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Mas Arman sedang melepas jas hitam yang ia kenakan, kemudian disusul dengan menggulung lengan kemejanya. Andai aku tidak tahu dia selingkuh, pemandangan ini sungguh menggoda.
“Ada apa, Mas?” tanyaku hati-hati. Kemudian duduk di salah satu sisi ranjang.
“Mas mau bicara sama kamu.”
“Iya, Mas. Ada apa?” Aku mencoba bersabar, dari tadi cuma bilang mau bicara tapi nggak bicara-bicara.
“Hemmm.” Ia duduk di sampingku. Wajah kami berhadap-hadapan.
“Apa yang kamu lakukan sama Ibu tadi pagi?” tanyanya disertai helaan napas panjang.
“Enggak ada,” jawabku ketus. Dugaanku benar mengenai Ibu.
“Jangan bohong, Arini. Ibu sudah memberitahuku.”
“Oh, ya? Apa ibu memberitahumu semuanya? Aku yakin tidak.”
“Apa maksudmu? Jangan kurang ajar Arini. Dia Ibuku, surgaku di bawah telapak kakinya, jadi kamu jangan sekali-kali bicara buruk tentangnya!” Mas Arman naik pitam. Tapi aku tidak ingin gentar.
“Apa kamu mau bercerai denganku, Mas?” tanyaku pelan. Namun berhasil memukulnya telak.
Mas Arman diam. Tatapannya padaku tidak segarang tadi. “Apa maksudmu?” Matanya memicing.
“Aku tanya sama kamu Mas. Apa kamu mau bercerai denganku? Karena itu yang ibumu inginkan dariku.”
“Apa? jangan fitnah kamu Arini.”
“Silahkan kalau kamu nggak percaya, Mas. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Ibu sering datang dan memintaku melepaskanmu. Ia bilang kamu bukan laki-laki yang baik, apa itu benar?”
“Apa maksudmu, Ibu bilang aku bukan laki-laki baik?” Ia terkejut.
Aku mengangguk. Memasang wajah sesedih mungkin. Kasihan sekali Mas Arman, jika ibunya saja bisa berkata seperti itu. Apakah mungkin selingkuhannya itu orang baik. Bodoh sekali kamu Mas. Kamu menyia-nyiakan aku demi sesuatu yang belum tentu berpihak padamu.
“Apa saja yang ibu katakan padamu?”
“Hanya itu.”
“Kamu jangan dengerin Ibu ya. Tapi kamu juga nggak boleh kurang ajar sama beliau. Biar bagaimanapun ia tetap ibuku. Jangan pernah menaruh garam dalam minumannya lagi ya?” ujarnya pelan. Ia meraihku ke dalam pelukannya.
“Aku sayang sama kamu Arini. Sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkanmu.”
Aku hanya tersenyum miris mendengar perkataannya. Kali ini ucapan itu terasa hambar, tidak lagi membuat dadaku menggebu-gebu.
“Oh iya, ada satu lagi yang mau Mas omongin.” Mas Arman melepaskan pelukannya.
“Apa?”
“Mulai besok, adikku Sindy akan tinggal bersama kita.”
“Apa?!”
“Ya, Sindy, adik ipar kamu akan ikut tinggal bersama kita. Kamu tahu kan, di rumah ibu nggak ada kamar yang bagus. Di sini, Sindy yang baru pulang kuliah dari Jerman pasti akan betah. Kalian, kan sama-sama lulusan hukum. Kamu mantan pengacara, dan dia bercita-cita jadi pengacara. Aku pikir kalian akan cocok satu sama lain.”
“Tapi, Mas.”
“Ssssst. Udah, Sindy anaknya baik. Mas jamin, dia juga akan bersikap baik sama kamu.”
“Kamu yakin, Mas?” tanyaku ragu. Aku tidak terlalu mengenal Sindy.
“Sangat yakin.”
“Hmm.” Bagaimana mungkin aku bisa percaya sama kamu, Mas. Orang kamu aja bisa selingkuhin aku.
“Iya Sayang, ya udah aku mandi dulu ya. Besok pagi Sindy akan datang ke sini.”
“Iya, Mas.”
Aku hanya menatap kosong tubuh Mas Arman. Aku harus punya rencana khusus untuk iparku itu, kali aja dia juga menyebalkan.
Kadang aku menyesal meninggalkan pekerjaanku sebagai pengacara, dan menjadi ibu rumah tangga yang hanya bergantung pada Mas Arman. Tabungan masih lumayan banyak, sih. Tapi kalau aku nggak merampok keluarga menyebalkan ini, kan aku yang rugi.
***
Bersambung ….

Bab 5 : Kedatangan Adik Ipar

 

Sesuai ucapan Mas Arman semalam, adiknya itu datang ke rumah. Lengkap dengan tiga koper besar bersamanya.

‘Astaga, dia kek mau pindahan aja. Apa dia bakal tinggal di sini selamanya.’ batinku terkejut melihat tiga koper. Belum lagi yang terbungkus dalam beberapa kardus.

Kamar tamu di rumah ini memang besar, tapi untuk meletakkan barang sebanyak itu, entahlah. Biar itu jadi urusan dia sendiri.

“Eh Sindy, ayo masuk. Ibu mana?” tanya Mas Arman begitu antusias.

“Ibu masih di mobil, Mas. Lagi debat sama supir taksi.”

“Ohh. Arini, ayo bantuin Sindy. Kasihan dia angkat barang sebanyak ini sendirian.” Mas Arman beralih memandangku. Aku hanya mengangguk dan mulai membantu mengangkat barang-barang Sindy.

“Arman! Sindy! Ibu datang ….”

Suara Ibu membuatku menghentikan aktivitas, menoleh, melihat tiga orang itu berpelukan mesra. Khas sekali keharmonisannya. Tapi sayang, itu tidak membuatku tertarik. Aku harus bertahan di rumah ini, dan membuat perhitungan dengan mereka.

“Arini! Ngapain kamu masih di situ? Mantu kurang asem aja lihat-lihat. Sana pergi! Angkatin itu barang-barang Sindy.”

Malas meladeni Ibu, aku mengangkat barang-barang Sindy ke dalam kamarnya. Bukan apa-apa, aku belum sarapan jadi sayang aja kalau dipake cuma buat debat sama Ibu.

“Sindy, bagaimana kabar kamu di Jerman selama ini? Kok kamu jarang sekali telepon ke Ibu. Ibu kangen sekali.”

“Sindy baik-baik saja, Bu. Maaf, Sindy jarang telepon karena Sindy sibuk sekali dengan skripsi.”

“Oalah, kamu pasti capek, kan. Kamu lapar? Mau makan apa?” tanya Ibu lagi.

Kurang asem memang. Dia yang pindahan, eh, aku yang disuruh angkat-angkat. Sikap Ibu manis sekali dengan Sindy, tidap pernah semanis itu padaku. Meskipun aku hanya menantunya, tapi aku juga bisa jadi anaknya, kan.

“Arini! Masakin telur rebus setengah matang untuk Sindy ya!” seru Ibu dari ruang tamu.

“Kalau aku masak, siapa yang angkat barang-barang sebanyak ini?” tanyaku kesal.

“Bisa, kan kamu berhenti sebentar. Masak telur. Paling juga lima menit itu telurnya matang.”

“Tapi, Bu.”

“Arini … kamu denger apa yang dikatakan Ibu, kan?” Mas Arman menatapku tajam. Seolah mengatakan agar aku menurut saja.

Mas Arman memang sudah tidak mencintaiku, buktinya ia sama sekali tidak membela saat aku diperlakukan seperti pembantu. Ia juga tidak membantuku mengangkat barang-barang Sindy.

Perasaanku kesal. Aku meraih handphone di dalam saku, kemudian menelpon Rida agar cepat datang.

“Halo, Bu.” Kudengar suara halus Rida di seberang.

“Rida, kamu lagi apa? Cepat datang ke rumah saya.”

“Anak saya lagi rewel, Bu. Tapi saya usahakan untuk segera datang ke sana. Maafin saya ya, Bu.”

“Ya udah Rida, tidak masalah. Kalau anak kamu sudah bisa ditinggal, cepat datang ke sini.”

“Baik, Bu.”

Klik.

Aku pergi ke dapur. Memasakkan telur setengah matang untuk Sindy. Tidak lama, telur aku angkat dan membawanya ke ruang tamu.

“Ini telurnya.”

“Terimakasih ya, Mbak. Maaf sudah merepotkan.”

“Sama-sama.”

“Mbak, duduk saja dulu. Kita ngobrol sebentar, nanti biar aku angkat sendiri barang-barangku,” ajak Sindy sopan.

“Halah. Ngapain juga mesti di suruh duduk. Biarkan saja dia angkatin barang kamu!” seloroh Ibu.

“Tapi, Bu.”

“Sudahlah Sindy! Biarkan saja dia yang angkat. Kamu pasti capek, jadi setelah makan kamu bisa langsung istirahat di kamar!”

“Arini ….” Kali ini Mas Arman yang bicara.

“Ada apa Mas?”

“Kamu angkatin barang-barang Sindy nggak papa, kan?”

“Iya, Mas.”

‘Sabar, sabar, sabar. Kamu harus kuat Arini. Jangan gegabah. Jangan sampai mereka membuangmu seperti sampah, sebelum kamu mendapatkan sesuatu yang berharga dari mereka.’ batinku menguatkan.

“Mas bantuin kamu, ya,” tambahnya. Aku hanya mengangguk.

“Nggak usah Arman. Sebentar lagi kamu kan harus berangkat kerja. Mending kamu mandi saja deh, daripada telat kerjanya.” Ibu melarang. Mas Arman menatapku, tatapan yang meminta agar aku mengijinkannya untuk mandi.

“Ibu bener, Mas. Kamu mandi saja. Aku bisa kok angkat semua ini.”

“Ya udah, kamu pelan-pelan saja ya angkatnya. Kalau capek istirahat.”

Mas Arman pergi ke dalam. Aku mulai memindahkan koper ke dalam kamar tamu. Baru satu koper yang aku pindahkan, terdengar ucapan salam dari luar.

“Assalamualaikum ….”

“Waalaikumsalam.”

“Rida, kamu sudah datang? Ayo bangun saya.” Rida mengangguk, kemudian mulai membantuku memindahkan barang.

“Mbak Rida!” seru Sindy. Sontak aku dan Rida berhenti.

Rida menunduk, dari wajahnya bisa aku lihat dia sedang cemas.

“Mbak Rida sini, Sindy kangen banget sama Mbak. Fadil apa kabar, Mbak?” Sindy menyerbu Rida dengan banyak pertanyaan.

“Fadil b-baik Mbak Sindy.”

“Mbak Rida kok manggil aku Mbak, sih. Aku ini kan_”

“Iya Mbak. Mbak memang lebih muda dari aku, tapi di sini aku kan jadi pembantu. Jadi harus sopan sama majikan.” Rida memotong ucapan Sindy.

“Sindy, kamu kok bisa kenal sama Rida?” tanyaku heran.

“Iya kenal dong, Mbak Arini … Mbak Rida ini, kan_”

“Pembantuku sejak lama,” sahut Mas Arman yang muncul dari belakang.

Aku menatap Rida, Sindy, dan Mas Arman bergantian. Aku merasa ada yang sedang di tutup-tutupi di sini. Ada apa ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

***

Bersambung ….

Tertarik Dengan Buku : Bekas Lipstik ?

Bekas Lipstik

Esana Gulpinar